Pages

Senin, 22 November 2010

penipuan & penggelapan

Jilid 1
Tinjauan Juridis Penggelapan Dana Calon Haji Menurut UU NO.13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji

Jilid 1
Tinjauan Juridis Penggelapan Dana Calon Haji Menurut UU NO.13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji


BAB I
P E N D A H U L U A N

A. Latar Belakang
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dibagi dalam tiga buku yaitu Buku Kesatu, dengan judul “Peraturan Umum”, yaitu peraturan-peraturan untuk semua tindak pidana (perbuatan yang pembuatannya dapat dikenakan hukuman pidana), Buku Kedua “Kejahatan” sedangkan Buku Ketiga “Pelanggaran” yang menyebutkan tindak-tindak pidana.
KUHP tentang peraturan umum terdapat dalam pasal-pasal yang hanya berlaku untuk kejahatan misalnya tentang percobaan dan kejahatan dalam Buku Kedua yang pada umumnya diancam dengan hukuman atau pidana yang berat, dan penyertaan lain-lain tidak berlaku bagi Buku ketiga “Pelanggaran” yang ancaman hukumannya lebih ringan. Namun ringan dan beratnya setiap ancaman hukuman tidak menjadi penghalang seseorang untuk tidak melakukan kejahatan atau pun pelanggaran. Hal ini menjadi masalah dimana arti sebuah aturan hukum jika kejahatan yang dilakukan masyarakat tidak dapat diikuti oleh aturan hukum, seperti kejahatan dengan cara penggelapan adalah salah satu dari jenis kejahatan terhadap harta kekayaan manusia yang diatur di dalam Pasal 372 KUHP, yang merupakan kejahatan yang tidak ada habis-habisnya dan dapat terjadi di segala bidang tidak terkecuali dalam bidang agama bahkan pelakunya di berbagai lapisan masyarakat, baik dari lapisan bawah sampai masyarakat lapisan atas pun dapat melakukan tindak pidana penggelapan yang merupakan kejahatan yang berawal dari adanya suatu kepercayaan pada orang lain, dan kepercayaan tersebut hilang karena lemahnya suatu kejujuran. Hal ini yang menyatakan bahwa tindak pidana penggelapan memiliki masalah yang berhubungan erat dengan sikap, moral, mental, kejujuran dan kepercayaan manusia sebagai individu, seperti halnya kasus penggelapan dana calon haji di Indonesia yang merupakan suatu problema masyarakat yang tidak dapat dipercaya untuk diperbuat seseorang. Niat yang suci untuk melaksanakan perintah Allah swt dengan mempergunakan ongkos sebagai langkah awal untuk memenuhi panggilan-Nya, tidak menjadi hambatan seseorang untuk melakukan kejahatan dan ongkos naik haji yang barangkali didapat seseorang dengan cara harus menjual rumah, tanah, peternakan dan barang-barang lainnya harus berakhir menjadi tindak penggelapan.
Melaksanakan ibadah haji merupakan suatu kewajiban yang mutlak harus dipenuhi oleh setiap muslim yang telah mampu (istitha’ah). Tidak dibenarkan menunda melaksanakan ibadah haji kecuali dikarenakan ada hal-hal yang dibenarkan oleh syariat (‘udzur), seperti sakit atau sebab-sebab lain yang menghalangi seseorang untuk melaksanakan ibadah haji.
Seseorang yang telah memenuhi syarat istitha’ah harus melaksanakan ibadah haji tahun itu juga dan tidak boleh menundanya tahun depan. Dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas, Nabi Saw. Mengingatkan: “Cepat-cepatlah kalian melaksanakan haji, karena sesungguhnya siapa pun diantara kalian tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi padanya” (HR Imam Ahmad ibn Hanbal). Hal ini juga ditegaskan dalam salah satu khotbah beliau: “Wahai manusia, sesungguhnya Allah mewajibkan haji atas kalian, maka laksanakanlah” (HR Muslim). Dalam hal ini Sayyidina‘Ali r.a memberikan peringatan yang cukup keras: “Barang siapa telah mampu melaksanakan haji lalu ia tidak melaksanakannya, maka tiada pilihan lain baginya kecuali mati sebagai Yahudi atau Nasrani”. Baik sabda Nabi Saw maupun peringatan Sayyidina ‘Ali r.a ini tentunya menguatkan perintah melaksanakan ibadah haji sebagaimana Allah firmankan dalam QS Ali ‘Imran: 97.
Artinya: “Melaksanakan haji merupakan kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang mampu melakukan perjalanan menuju Baitullah, dan barang siapa mengingkarinya (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha kaya (tidak membutuhkan sesuatu pun) dari semesta alam.”
Penyelenggaraan ibadah haji merupakan tugas nasional karena jumlah jemaah haji Indonesia yang sangat besar, melibatkan berbagai instansi dan lembaga, baik dalam negeri maupun luar negeri, dan berkaitan dengan berbagai aspek, antara lain bimbingan, transportasi, kesehatan, akomodasi, dan keamanan. Untuk meningkatkan tugas nasional tersebut maka diperlukan adanya peningkatan kualitas dalam penyelenggaraan ibadah haji yang merupakan suatu tuntutan reformasi untuk mencapai pemerintahan yang bersih dan tata kelola pemerintahan yang baik. Untuk itu diperlukan adanya lembaga pengawas yang bertugas melakukan pengawasan dan pemantauan terhadap penyelenggaraan ibadah haji serta memberikan pertimbangan untuk penyempurnaan penyelenggaraan ibadah haji Indonesia. Namun, pada kenyataannya upaya-upaya yang ditempuh untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan ibadah haji tersebut belum berjalan dengan baik. Hal ini dikarenakan ada pihak yang terkait pada penyelenggaraan ibadah haji tersebut melakukan kecurangan dengan melanggar kewenangan atau menyalahgunakan hak, walaupun pemerintah sudah mengeluarkan Undang-Undang No. 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji yang telah berlangsung kurang lebih 1 tahun diberlakukannya. Contohnya, penggelapan dana calon haji yang dilakukan oleh NL yang merupakan petugas Badan Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) dan MF yang merupakan Pegawai Dinas Sosial (DINSOS) Pemprov Sumut.
Kaedah seperti inilah yang mendorong timbulnya niat bagi penulis untuk membahas dan menganalisa serta ingin mengungkap kasus atau masalah tersebut dalam skripsi ini. Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis melakukan penelitian dengan judul “Tinjauan Yuridis Terhadap Penggelapan Dana Calon Haji Menurut KUHP Dan Undang-Undang No. 13 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji”.
1. Rumusan Masalah
Untuk dapat menguraikan suatu pembahasan dengan jelas haruslah terlebih dahulu diketahui apa yang menjadi permasalahannya, kegunaannya untuk mengetahui pembatasan dari pelaksanaan penelitian, dan yang menjadi permasalahan adalah sebagai berikut:
a. Bagaimana pengaturan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH), menurut Undang- Undang No.13 Tahun 2008 tentang penyelenggaraan ibadah haji?
b. Bagaimana bentuk penggelapan dana calon haji?
c. Bagaimana pertanggungjawaban pidana bagi pelaku penggelapan dana calon haji?
2. Faedah Penelitian
Sedangkan yang menjadi faedah penelitian dalam hal ini adalah :
a. Secara teoretis penelitian ini dimaksudkan untuk menambah literatur tentang perkembangan hukum pidana tentang penggelapan dana calon haji untuk melakukan perlindungan kepada masyarakat khususnya kepada calon jemaah haji Indonesia.
b. Secara praktis penelitian ini juga diharapkan kepada masyarakat dapat memberikan manfaat terutama dalam hal mengetahui tentang hak- hak calon jemaah haji Indonesia dan Undang-Undang No. 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji.
B. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian dalam Skripsi ini adalah untuk :
a. Untuk mengetahui pengaturan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) Menurut Undang-Undang No.13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji.
b. Untuk mengetahui bentuk penggelapan dana calon haji.
c. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana bagi pelaku penggelapan dana calon haji.
C. Metode Penelitian
Metode penelitian ini yang diperguanakan dalam penelitian ini terdiri dari:
1. Materi / Bahan penelitian
Materi / bahan penelitian yang dipergunakan dalam menyelesaikan skripsi ini bersumber dari data sekunder. Data sekunder didapatkan melalui:
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni Undang-undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan KUHP.
b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti : hasil penelitian, karya dari kalangan hukum dan sebagainya.
c. Bahan hukum tertier atau bahan hukum penunjang mencakup :
1. Bahan-bahan yang memberikan petunjuk-petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan sekunder.
2. Bahan-bahan primer, sekunder dan tertier (penunjang) di luar bidang hukum seperti kamus besar bahasa Indonesia, Ensklopedia, majalah, koran, makalah, dan sebagainya yang berkaitan dengan permasalahan.
2. Alat Pengumpul Data
Alat yang dipergunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah melalui studi dokumen yang berasal dari literatur atau tulisan ilmiah sesuai objek yang diteliti.
3. Analisis Hasil penelitian
Untuk mengolah data yang didapatkan dari penelusuran kepustakaan, maka hasil penelitian ini menggunakan analisa kualitatif. Analisis kualitatif ini pada dasarnya merupakan pemaparan tentang teori-teori yang dikemukakan, sehingga dari teori-teori tersebut dapat ditarik beberapa hal yang dapat dijadikan kesimpulan dan pembahasan skripsi ini.
BAB II
T I N J A U A N P U S T A K A

A. Penggelapan
Penegakan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia “Penggelapan diartikan sebagai proses, cara dan perbuatan menggelapkan (penyelewengan) yang menggunakan barang secara tidak sah. Dapat diuraikan selanjutnya bahwa penggelapan dapat dikatakan perbuatan merusak kepercayaan orang lain dengan mengingkari janji tanpa perilaku yang baik.
Sedangkan Lamintang dan Djisman Samosir mengatakan akan lebih tepat jika istilah Penggelapan diartikan sebagai “penyalahgunaan hak” atau “penyalahgunaan kekuasaan”. Akan tetapi para sarjana ahli hukum lebih banyak menggunakan kata “Penggelapan“. Penggelapan adalah kejahatan yang hampir sama dengan pencurian yang dijelaskan dalam Pasal 362. Hanya saja pada pencurian barang yang dimiliki itu masih belum berada di tangan pelaku dan masih harus diambilnya, sedang pada penggelapan waktu dimilikinya barang itu sudah ada di tangan pelaku tidak dengan jalan kejahatan.
Penggelapan merupakan salah satu dari tindak pidana terhadap harta kekayaan yang berupa penyerangan terhadap kepentingan hukum orang atas harta benda milik orang lain (bukan milik petindak). Adapun penggelapan telah memenuhi unsur-unsur dari pada tindak pidana terhadap harta kekayaan, dikarenakan unsur-unsur tersebut, ialah:
1. Unsur - Unsur Objektif berupa:
a. Unsur perbuatan materiil, seperti perbuatan memiliki pada penggelapan;
b. Unsur benda atau barang.
c. Unsur keadaan yang menyertai terhadap objek benda, yakni unsur milik orang lain yang menyertai/melekat pada unsur objek benda tersebut.
d. Unsur upaya-upaya yang digunakan dalam melakukan perbuatan dengan kedudukan palsu.
2. Unsur - Unsur Subjektif berupa:
a. Unsur kesalahan, yang dirumuskan dengan kata-kata seperti: dengan sengaja pada kejahatan penggelapan.
b. Unsur melawan hukum, yang dirumuskan secara tegas dengan perkataan melawan hukum dalam kejahatan-kejahatan penggelapan.
Pada buku II KUHP mengatur tentang penggelapan yang terdiri dari 6 pasal (372-377), adapun jenis-jenis tindak pidana penggelapan tersebut, adalah:
1. Penggelapan dalam bentuk pokok (Pasal 372);
2. Penggelapan ringan (Pasal 373);
3. Penggelapan dalam bentuk-bentuk yang diperberat (Pasal 374-375), dan
4. Penggelapan dalam kalangan keluarga (Pasal 376).
Selain macam-macam penggelapan yang telah disebutkan di atas masih ada tindak pidana lain yang yang masih mengenai penggelapan, yaitu Pasal 415 dan 417, yang mana tindak pidana ini merupakan kejahatan jabatan, yang kini ditarik ke dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 dan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Korupsi, oleh karenanya tidak termuat dalam Bab XXIV, melaikan dalam Bab XXVIII yaitu tentang kejahatan yang dilakukan dalam jabatan.
Berikut adalah penjelasan dari pada jenis-jenis penggelapan yang tertuang dalam Bab XXIV Buku II KUHP, yaitu;
a. Pasal 372
Pengertian yuridis mengenai penggelapan dimuat dalam pasal 372 yang dirumuskan sebagai berikut:
Barangsiapa dengan sengaja menguasai secara melawan hukum, sesuatu benda yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, yang berada padanya bukan karena kejahatan, karena salah telah melakukan penggelapan, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun atau dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp.900,- (sembilan ratus rupiah).
“Rumusan itu disebut/diberi kualifikasi penggelapan. Rumusan di atas tidak memberi arti sebagai membuat sesuatu menjadi gelap atau tidak terang, seperti arti kata yang sebenarnya. Perkataan verduistering yang ke dalam bahasa kita diterjemahkan dengan penggelapan, bagi masyarakat Belanda diberikan arti secara luas (figurlijk), bukan diartikan seperti arti kata yang sebenarnya sebagai membikin sesuatu menjadi tidak terang atau gelap”.

Contohnya seseorang dititipi sebuah sepeda oleh temannya, karena memerlukan uang, sepeda itu dijualnya. Dengan menjual barang yang dititipi berarti menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan temannya itu dan tidak berarti sepeda itu menjadi gelap atau tidak terang. Lebih mendekati pengertian penggelapan bahwa tindakan tersebut menyalahgunakan haknya sebagai yang menguasai benda dan keberadaannya terhadap benda tersebut adalah fiktif yang man hak tersebut tidak boleh melampaui dari haknya sebagai seorang yang diberi kepercayaan untuk menguasai atau memegang sepeda itu.
a. Pasal 373 KUHP
Pada Pasal 373 KUHP tentang penggelapan yang dikualifikasikan sebagai penggelapan ringan (gepriviligeerde verduistering) dirumuskan dalam Pasal 373 yang berbunyi: “Perbuatan yang dirumuskan dalam Pasal 372 apabila yang digelapkan bukan ternak dan harganya tidak lebih dari Rp.250,00 (dua ratus lima puluh rupiah) dikenai sebagai penggelapan ringan dengan pidana penjara paling lama 3 bulan atau denda paling banyak Rp.900,-“
Dikatakan penggelapan ringan, tertelak pada objek kejahatan bukan dari hewan atau benda itu berharga tidak lebih dari Rp.250,00 (dua ratus lima puluh rupiah), tentunya harga itu tidak sesuai lagi dengan keadaan sekarang ini. Namun demikian dalam praktek disesuikan dengan keadaan sekarang ini dan tergantung pada pertimbangan hakim.
Rumusan penggelapan ringan tersebut di atas terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut:
a. Semua unsur-unsur penggelapan dalam bentuk pokoknya (pasal 372);
b. Unsur-unsur khusus, yakni:
1. Objeknya benda bukan ternak;
2. Nilai benda tidak lebih dari Rp. 250,00 (dua ratus lima puluh rupiah).
b. Pasal 374 KUHP
Penggelapan diperberat pertama, ialah dalam Pasal 374 KUHP merumuskan sebagai berikut: “Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap benda disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena suatu pencaharian atau karena mendapat upah untuk itu, diancam pidana paling lama 5 tahun”.
Unsur-unsur penggelapan Pasal 374 dirumuskan sebagai berikut:
a. Semua unsur-unsur penggelapan dalam bentuk pokoknya (pasal 372);
b. Unsur-unsur khusus yang memberat yakni beradanya benda dalam kekuasaan petindak disebabkan oleh:
1. Karena adanya hubungan kerja,
2. Karena mata pencaharian, dan
3. Karena mendapatkan upah.
Beradanya benda ditangan seseorang yang disebabkan oleh ketiga hal tersebut, adalah hubungan yang sedemikian rupa antara orang yang menguasai dengan benda, menunjukkan kepada kepercayaan yang lebih besar pada orang itu, yang lebih memperhatikan keselamatan dan pengurusannya bukan menyalahgunakan kepercayaan yang lebih besar itu.
c. Pasal 375 KUHP
Penggelapan dengan pemberatan yang dilakukan oleh orang yang karena terpaksa disuruh menyimpan barang itu. Misalnya, karena ada kebakaran, banjir, kekacauan, malapetaka dan kemudian oleh orang yang menyimpan barang tersebut digelapkannya, atau uang serta surat yang berharga yang disimpan karena jabatannya yang dapat dilakukan oleh wali, pengampu, seorang kuasa, orang yang menjalankan wasiat, pengurus lembaga sosial atau yayasan terhadap sesuatu barang yang ada dalam tangannya karena jabatannya atau barang bukti atau keterangan yang dipakai untuk kekuasaan yang berhak, atau surat akte, surat keterangan atau daftar yang disimpan karena jabatannya, diancam dengan pidana selama 6 tahun.
Rumusan penggelapan diberatkan tersebut di atas terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut:
a. Unsur-unsur penggelapan bentuk pokoknya (372),
b. Unsur-unsur khusus yang sifatnya memberatkan, yakni beradanya benda objek penggelapan di dalam kekuasaan petindak disebabkan oleh:
1. Suatu keadaan yang terpaksa untuk dititipkan;
2. Kedudukan sebagai seorang wali;
3. Kedudukan sebagai pengampu;
4. Kedudukan sebagai seorang kuasa;
5. Kedudukan sebagai pelaksana surat wasiat; dan
6. Kedudukan sebagai pengurus dari lembaga sosial atau yayasan.
Sebagaimana ternyata di atas, subjek hukum (petindak) penggelapan ini adalah orang-orang tertentu menguasai benda dalam kekuasaannya disebabkan oleh kedudukannya yang menunjukkan adanya kepercayaan lebih besar yang diberiakan kepadanya. Sifat diperberatnya penggelapan ini, diletakkan pada kepercayaan yang sangat besar itu.
d. Pasal 376 KUHP
Dalam kejahatan terhadap harta benda, pencurian, pengancaman, pemerasan, penggelapan, penipuan apabila dilakukan dalam kalangan keluarga maka dapat menjadi:
1. Tidak dapat dilakukan penuntutan baik terhadap petindaknya maupun terhadap pelaku pembantunya (pasal 367 ayat 1);
2. Tindak pidana aduan, tanpa ada pengaduan tentunya baik terhadap petindaknya maupun pelaku pembantunya tidak dapat dilakukan penuntutan (pasal 367 ayat 2).
Penggelapan dikalangan keluarga dijabarkan dalam Pasal 367 KUHP yang menyatakan:
“Pencurian atau membantu para pencuri atas kerugian suami atau isrti tidak dihukum, oleh karena kedua suami istri sama-sama memiliki harta benda”.
Baik bagi tindak pidana pemerasan, pengancaman, penggelapan, penipuan, perusakan barang, berlaku pasal 367. Ketentuan ini berlaku bagi mereka yang tunduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Selanjutnya dibaca: KUHPerdata) dalam pasal 119 KUHPerdata “Apabila suami atau istri atau ia pelaku pembantunya melakukan pencurian terhadap harta benda yang demikian ini, maka terhadap mereka itu tidak dapat dilakukan penuntutan pidana, hal ini disebabkan dalam hukum perdata dikenal lembaga harta bersama, sedangkan dalam Hukum Adat, suami istri di samping memiliki harta benda sendiri-sendiri yang disebut dengan harta bawaan, ada juga harta bersama yang harta bendanya diperoleh selama menjalani perkawinan, dengan tidak melihat siapa yang memperoleh atau atas hasil kerja siapa. Ketentuan hukum adat ini sesuai dengan ketenruan Pasal 35 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta benda bersama”. Jika dilakukan pencurian oleh suami atau istri atau ia menjadi pelaku pembantunya terhadap harta benda bersama ini maka terhadap suami atau istri atau pelaku pembantunya itu tidak dapat dilakukan penuntutan pidana. Namun apabila mereka belum bercerai tetapi tidak satu tempat tinggal lagi, maka apabila penggelapan ini terjadi dapat dituntut berdasarkan pengaduan.
e. Pasal 377 KUHP.
Pada waktu menjatuhkan hukuman karena salah satu kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 372, 374, dan 375, maka hakim dapat memerintahkan supaya keputusannya diumumkan dan menjatuhkan hukuman pencabutan hak dan kepada si tersalah yang telah melakukan kejahatan dalam jabatannya, ia dapat dipecat dari jabatannya, keadaan ini tercantum dalam pasal 35 KUHP.
Berikut adalah penjelasan dari pada jenis-jenis penggelapan yang tertuang dalam KUHP Bab XXVIII, yaitu;
a. Pasal 415 dan 417.
Pada Pasal 415 KUHP, menyatakan bahwa seorang pejabat atau orang lain yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum terus-menerus atau untuk sementara, yang dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpannya karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga itu diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu orang lain itu dalam melakukan perbuatan tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Sedangkan pada Pasal 417 menyatakan, bahwa seorang pejabat atau orang lain yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum terus-menerus atau untuk sementara, yang dengan sengaja menggelapkan, menghancurkan, merusakkan atau membuat tak dapat dipakai barangbarang yang diperuntukkan guna meyakinkan atau membuktikan di muka penguasa yang berwenang, akta-akta, surat-surat atau daftar-daftar yang dikuasainya karena jabatannya, atau membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan atau membuat tak dapat dipakai barang-barang itu, atau membantu dalam melakukan perbuatan itu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
Berdasarkan Pasal 415 dan 417 maka dalam pasal ini terdapat ketentuan yang menyangkut perihal penggelapan. Rumusan Pasal 415 dan 417 diadopsi oleh Undang-Undang No. 31 tahun 1999 yang kemudian diperbaiki oleh Undang-Undang No. 20 tahun 2001. Dua penggelapan yang dimaksud disini adalah berupa penggelapan yang berdiri sendiri. Letak kekhususannya terdapat unsur kualitas tertentu yang melekat pada subjek hukumnya, yaitu sebagai pegawai negeri. Berdasarkan pertimbangan bahwa penggelapan yang dilakukan pegawai negeri dalam kedudukannya dapat ditarik menjadi tindak pidana korupsi, keadaan ini dapat ditarik dengan adanya unsur kepentingan hukum atas hak kebendaan pribadi, tetapi ada kepentingan hukum mengenai hak atas kebendaan publik dari perbuatan yang bersifat melawan hukum seorang pegawai negeri.
Mengenai kualitas tertentu sebagai pegawai negeri, ada persoalan yang berhubungan dengan masalah penyertaan, yakni terhadap orang yang bukan pegawai negeri yang terlibat bersama pegawai negeri. Menurut Adami Chazawi, kepada orang yang bukan pegawai negeri yang ikut terlibat dalam kejahatan jabatan dengan pegawai negeri maka orang lain tersebut dapat dihukum sebagai orang yang menyuruh melakukan peristiwa pidana, unsur ini terdapat dalam Bab V Pasal 55 KUHP yang menyatakan bahwa kepada orang yang dengan sengaja membujuk untuk melakukan sesuatu perbuatan dapat dikenakan sanksi pidana berdasarkan Pasal 163 KUHP yaitu dihukum pidana penjara selama-lamanya 4 tahun penjara dan denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,-.
Rumusan penggelapan pegawai negeri tersebut di atas terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut:
a. Unsur-unsur objektif
1. Mengenai Petindaknya, ialah:
a. Pegawai negeri;
b. Bukan pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan jabatan umum, baik
sementara waktu maupun terus menerus.
2. Perbuatan yang dilarang:
a. menggelapkan;
b. membantu terhadap orang lain melakukan perbuatan tersebut;
c. membiarkan orang lain menggelapkan;
3. Objeknya:
a. uang;
b. surat berharga.
4. Benda tersebut disimpan karena jabatannya.
b. Unsur subjektif:
1. dengan sengaja.

Apabila seseorang telah memenuhi semua unsur tindak pidana penggelapan maka dia dapat disebut pelaku atau “dader”. Menguasai secara melawan hukum (bermaksud memiliki), menjelaskan maksud unsur ini adalah penguasaan secara sepihak oleh pemegang sebuah benda seolah-olah ia merupakan pemiliknya, bertentangan dengan hak yang membuat benda tersebut berada padanya. Suatu benda ialah benda yang menurut sifatnya dapat dipindah-pindahkan ataupun dalam prakteknya sering disebut “benda bergerak”. Seluruh atau sebagiannya adalah milik orang lain, sebagaimana keterangan Simons, “penggelapan atas benda yang sebagian merupakan kepunyaan orang lain itu dapat saja terjadi. Barang siapa atas biaya bersama telah melakukan suatu usaha bersama dengan orang lain, ia tidak boleh menguasai uang milik bersama itu untuk keperluan sendiri”. Benda yang ada dalam kekuasaannya tidak karena kejahatan harus ada hubungan langsung yang sifatnya nyata antara pelaku dengan suatu benda pada tindak pidana penggelapan.
2. Dana Calon Haji
Kata haji berasal dari akar kata hajja-yuhijju-hajjan, yang berarti ‘mengunjungi’. Berdasarkan pemahaman secara bahasa ini, ‘haji’ biasa diartikan ‘mengunjungi’ Tanah Suci (Baitullah, Ka’bah) dan tempat-tempat lain yang telah ditentukan untuk melaksanakan rukun islam yang kelima ini. Kata ‘haji’ juga berarti memenuhi sehingga haji juga dapat diartikan ‘memenuhi’ panggilan Allah. Karenanya orang pun biasa mengatakan bahwa seseorang yang telah melaksanakan ibadah haji berarti dia telah dipanggil oleh-Nya, dan orang ini disebut hajjun atau al-hajju-lah (orang yang memenuhi panggilan Allah). Karenanya juga orang yang melaksanakan ibadah haji sering pula disebut “tamu Allah”. Kata hajjun atau al-hajju di Indonesia menjadi “haji”, sehingga pengindonesiaan lengkapnya menjadi “haji-Allah” (dengan pemahaman bahwa orang yang telah bergelar haji berarti orang tersebut telah ‘memenuhi’ panggilang Allah, atau biasa disebut sebagai tamu Allah.
Jemaah calon haji akan menjadi tamu-tamu Allah Yang Maha Suci dan oleh karena itu sucikanlah pula diri dari dosa dengan cara bertobat kepada-Nya disertai tekad tidak akan mengulangi lagi pebuatan dosa dikemudian hari. Sucikanlah pula diri dari kesalahan yang diperbuat terhadap sesama manusia dengan cara meminta maaf kepadanya.
Menurut etimologi bahasa Arab, kata haji mempunyai arti qashd, yakni dengan tujuan menyengaja. Menyengaja disini adalah membiarkan diri, mengikhlaskan diri menuju ke Baitullah dan tempat-tempat tertentu untuk melaksanakan amalan-amalan ibadah tertentu yang telah disampaikan kepada umat Islam. Yang dimaksud dengan tempat-tempat tertentu dalam definisi diatas, selain Ka'bah dan Mas'a (tempat sa'i), juga Arafah, Muzdalifah, dan Mina.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “Calon adalah orang yang akan menjadi.......” , sedangkan haji adalah sebutan untuk orang yang sudah melakukan ziarah ke Mekah untuk menunaikan rukun Islam yang ke 5 (lima). Menunaikan rukun Islam ke 5 (lima) setelah syahadat, shalat, zakat dan puasa. Menunaikan ibadah haji adalah bentuk ritual tahunan yang dilaksanakan kaum muslim sedunia yang mampu (material, fisik, dan keilmuan) dengan berkunjung dan melaksanakan beberapa kegiatan di beberapa tempat di Arab Saudi pada suatu waktu yang dikenal sebagai musim haji (bulan Dzulhijjah). Hal ini berbeda dengan ibadah umrah yang bisa dilaksanakan sewaktu-waktu. Dari penjelasan di atas dapatlah dibedakan bahwa calon haji adalah seseorang yang bukan haji atau seseorang yang mempunyai keinginan untuk melakukan ziarah ke Mekah demi menunaikan rukun Islam ke 5 (lima). Untuk dapat menunaikan rukun Islam yang ke 5 (lima) tersebut yaitu haji maka bagi calon haji memerlukan dana untuk melengkapi administrasi dan segala keperluan dalam berhaji.
Kamus Besar Bahasa Indonesia juga menjelaskan yang dimaksud oleh dana, ”dana adalah uang yang disediakan untuk keperluan atau biaya. Jika hal ini dikaitkan dengan calon haji maka dana calon haji adalah uang yang disediakan untuk suatu keperluan, dalam hal ini haji atau biaya untuk berhaji.
Biaya untuk melakukan perjalanan ibadah haji disini menjadi tanggungjawab pemerintah, dengan adanya Undang-Undang No. 13 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, tentunya Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji, yang selanjutnya disebut BPIH, adalah sejumlah dana yang harus dibayar oleh Warga Negara yang akan menunaikan Ibadah Haji
Sementara dalam Pasal 1 butir 3 Undang-Undang No.13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji menjelaskan bahwa ”Jemaah haji adalah warga negara yang beragama Islam, memenuhi syarat dan telah mendaftarkan diri untuk menunaikan ibadah haji sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini. Sedangkan jemaah calon haji memberikan pengertian serombongan orang yang akan menyandang gelar haji.
C. Pertanggungjawaban Pidana.
Tindak pidana atau strafbaar feit merupakan suatu perbuatan yang mengandung unsur perbuatan atau tindakan yang dapat dipidanakan dan unsur pertanggungjawaban pidana kepada pelakunya. Sehingga dalam syarat hukuman pidana terhadap seseorang secara ringkas dapat dikatakan bahwa tidak akan ada hukuman pidana terhadap seseorang tanpa adanya hal-hal yang secara jelas dapat dianggap memenuhi syarat atas kedua unsur itu.
Tindak pidana hanyalah menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan itu dengan suatu pidana, kemudian apakah orang yang melakukan perbuatan itu juga dijatuhi pidana sebagaimana telah diancamkan akan sangat tergantung pada soal apakah dalam melakukan perbuatannya itu si pelaku juga mempunyai kesalahan.
Berbicara tentang pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku ada baiknya pada pembahasan ini terlebih dahulu diketahui apa yang dimaksud dengan kesalahan, sebab kemampuan mengundang untuk pertanggungjawaban pidana tentunya harus mempunyai dasar yang penting yaitu dengan adanya kesalahan. Dalam pertanggungjawaban pidana, tidak dipidana jika tidak ada kesalahan. Artinya pertanggungjawaban pidana dapat dilaksanakan ketika terdapat kesalahan pidana. Untuk itu perlu diketahui apa yang dimaksud dengan kesalahan. Kesalahan menurut Simons adalah adanya keadaan psikis yang tertentu pada orang yang melakukan perbuatan pidana dan adanya hubungan antara keadaan tersebut dengan perbuatan, dan adanya hubungan antara keadaan tersebut dengan perbuatan yang dilakukannya sehingga menyebabkan perbuatan orang itu dapat dicela karena melakukan tindak pidana.
Menghubungkan si pelaku adalah manusia, maka hubungan mengenai kesalahan yang dilakukan oleh si pelaku adalah hal kebatinan, perihal ini kesalahan si pelaku tindak pidana. Hanya dengan hukuman batin ini perbuatan yang dilarang dapar dipertanggungjawabkan pada si pelaku. Dan baru akan tercapai suatu pertanggungjawaban pidana terhadap si pelaku yang dapat dijatuhi hukuman pidana.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pertanggungjawaban ialah perbuatan yang menanggung segala sesuatu. Dan menurut E.Y Kanter, kata “pidana” mempunyai istilah yaitu derita, nestapa, dan penyeimbang. Pertanggungjawaban dalam hukum pidana atau yang disebut criminal responsibility, artinya: “Orang yang telah melakukan suatu tindak pidana di situ belum berarti ia harus dipidana, ia harus mempertanggungjawabkan atas perbuatan yang telah dilakukan.”
Mempertanggungjawabkan atas suatu perbuatan berarti untuk menentukan pelaku salah atau tidak. Di dalam hukum pidana berlaku asas “tiada hukuman tanpa kesalahan”, jadi pelaku dalam peristiwa pidana harus orang yang bertanggung jawab atas perbuatannya yang salah.
Pada pertanyaan di atas dapat ditarik persamaan yang saling terkait dimana pertanggungjawaban hukum menyatakan perlu adanya pandangan-pandangan melalui hati nurani apabila ingin menetapkan pertanggungjawab hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana, misalnya pada pernyataan diatas, “orang yang melakukan tindak pidana belum berarti dapat dipidanakan” hal ini mengingatkan pada Pasal 44 KUHP yang berbunyi, “barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau karena terganggu penyakit, maka dengan itu tidak dapat dipidana”. Namun, pada pernyataan lain dari pengertian pertanggungjawaban hukum pidana menyatakan ”Orang yang melakukan tindak pidana, harus bertanggungjawab atas perbuatan yang telah ia lakukan”, keadaan ini memberi makna bahwa atas perbuatan pidana yang dilakukan seseorang harus dipertanggungjawabkannya sebagai perbuatannya yang telah melawan hukum, untuk itu apabila adanya tindak pidana yang dilakukan dengan keadaan yang sadar akan fikirannya sebagai manusia pada umumnya dan telah terbukti kesalahan ada padanya maka seperti asas hukum yang menyatakan tiada hukuman tanpa kesalahan bermaksud bahwa hukuman yang diberikan kepada si pembuat pidana tidak mungkin tanpa kesalahannya yang dengan cara melawan hukum dan atas kesalahan tersebut maka pertanggungjawaban hukum menjadi nilai keadilan bagi masyarakat bahkan bagi si pembuat pidana.
Dalam kebanyakan rumusan tindak pidana, unsur kesengajaan atau yang disebut dengan opzet merupakan salah satu unsur yang terpenting. Dalam kaitannya dengan unsur kesengajaan ini, maka apabila didalam suatu rumusan tindak pidana terdapat perbuatan dengan sengaja, maka unsur dengan sengaja ini menguasai atau meliputi semua unsur lain yang ditempatkan dibelakangnya dan harus dibuktikan.
Sengaja berarti juga adanya kehendak yang disadari yang ditujukan untuk melakukan kejahatan tertentu. Hal ini berkaitan dengan pembuktian bahwa perbuatan yang dilakukannya itu dilakukan dengan sengaja, terkandung pengertian menghendaki dan mengetahui. Yang dimaksudkan disini adalah seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sengaja haruslah menghendaki apa yang ia perbuat dan mengetahui akibat dari apa yang ia perbuat, yang menjadi maksud dari dilakukannya perbuatan itu.
Disamping unsur kesengajaan di atas ada pula yang disebut sebagai unsur kelalaian atau culpa yang dalam hukum pidana disebut yang tidak disadari. Dan kealpaan disadari atau bewuste schuld. Dimana dalam unsur ini faktor terpentingnya adalah pelaku dapat menduga terjadinya akibat dari perbuatannya itu atau pelaku kurang berhati-hati.
Kelalaian (culpa) dipandang lebih ringan dibanding dengan sengaja. Hal ini dikarenakan sengaja berarti mempergunakan kemampuannya pada perbuatan yang salah dan dalam keadaan yang disadari, sedangkan kelalaian (culpa) melakukan perbuatan yang kurang berhati-hati dan secara kebetulan melahirkan kejahatan. Kelalaian ini dapat didefinisikan apabila seseorang melakukan sesuatu perbuatan dan perbuatan itu menimbulkan suatu akibat yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang, walaupun perbuatan itu tidak dilakukan dengan sengaja namun menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang-undang.
Dalam culpa atau kelalaian ini, unsur terpentingnya adalah pelaku mempunyai kesadaran atau pengetahuan yang mana pelaku seharusnya dapat membayangkan adanya akibat yang ditimbulkan dari perbuatannya, atau dengan kata lain bahwa pelaku dapat menduga bahwa akibat dari perbuatannya itu akan menimbulkan suatu akibat yang dapat dihukum dan dilarang oleh undang-undang. Maka dari uraian tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa jika adanya hubungan antara batin si pelaku dengan akibat yang timbul karena perbuatannya itu, atau ada hubungan lahir antara perbuatan pelaku dengan akibat yang dilarang kepadanya, dengan demikian hukuman pidana dapat dijatuhkan kepada si pelaku atas perbuatan pidana yang telah ia lakukan, oleh karena itu pertanggungjawaban pidana atas perbuatan itu secara jelas ditimpakan kepada pelakunya itu. Tetapi jika hubungan kausal tersebut tidak ada maka pertanggungjawaban pidana atas perbuatan pidananya itu tidak dapat ditimpakan kepada pelakunya itu sehingga hukuman pidana tidak dapat dijatuhkan kepada pelakunya itu.
Pertanggungjawaban pidana ini, secara sederhana dan ringkas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa pertanggungjawaban pidana ini oleh karena berkait dengan unsur subyektif pelaku maka tentunya sangat berkait erat dengan faktor ada atau tidaknya kesalahan yang mengandung unsur melanggar hukum atas tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh pelakunya. Hasil akhirnya dapat berupa pernyataan bahwa tidak diketemukan unsur melawan hukum dalam tindakannya sehingga tidak ada kesalahan dari pelakunya, namun bisa juga diketemukan unsur melawan hukum dalam tindakannya namun tidak ada kesalahan dari pelakunya.
Tinjauan awal yang dilakukan adalah menentukan apakah suatu perbuatan seseorang itu melanggar hukum atau tidak sehingga dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana atau tidak. Dalam hal ini harus dipastikan terlebih dahulu adanya unsur obyektif dari suatu tindak pidana. Jika tidak diketemukan unsur melawan hukum maka tidak lagi diperlukan pembuktian unsur kesalahannya. Tetapi jika terpenuhi unsur perbuatan melanggar hukumnya, selanjutnya dilihat apakah ada kesalahan atau tidak serta sejauh mana tingkat kesalahan yang dilakukan pelaku sebagai dasar untuk menyatakan dapat tidaknya seseorang memikul pertanggungjawaban pidana atas perbuatannya itu.

Pada pertanggungjawaban pidana disini ialah pertanggungjawaban atas perbuaat tercela dan bersalah dihadapan hukum untuk itu pertanggungjawaban yang diberikan tersebut ialah penjatuhan pidana dan tidak ada alasan pemaaf sebelum pertanggungjawabann pidana menjerat kepada si pembuat pidana.

Jilid 2
Tindak Pidana Penipuan Di Bidang Asuransi ( Studi kasus No. 3861 / Pid. B / 2007 / PN. MDN )
________________________________________
Category/Subject: Student Papers / Law / Ilmu Hukum

Keyword: Tindak Pidana Penipuan, Bidang Asuransi

Creator: Rani Daniel Aritonang


Description (Indonesia):
Masalah penipuan banyak terjadi di berbagai peristiwa hukum. Penipuan yang dilakukan sering terjadi dengan bermoduskan asuransi sebagai objek penjaminan setiap peristiwa hukum terebut. Penggunaan asuransi sebagai penjaminan untuk mencegah timbulnya kerugian, justru digunakan sebagai alat untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Kurangnya pengetahuan masyarakat dan aparat penegak hukum mengenai asuransi digunakan pihak-pihak yang ingin menguntungkan dirinya sendiri, sehigga menimbulkan ketidakjelasan kepastian hukum dalan pengaturan dan pertanggungjawaban dalam asuransi. Skripsi yang berjudul “Tindak Pidana Penipuan di Bidang asuransi (Studi putusan No. 3861/Pid. B/2007/PN. MDN)” menguraikan penjelasan tentang pengaturan dan pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana di bidang asuransi terkait dengan kasus yang ada (putusan No. 3861/Pid. B/2007/PN. MDN). Kompleksnya peraturan-peraturan yang ada tentang kejahatn penipuan di bidang asuransi ini tidak menjamin terciptanya dengan baik suatu pertanggungjawaban pidana yang sesuai dengan pengaturannya. Metode penelitia yang dilakukan dalam penulisan skripsi ini adalah metode yuridis normative. Pada tahap awal penelitian dilakukan dengan mempelajari berbagai literature dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini. Penulis melakukan analisis terhadap permasalahan melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum serta mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, dimana pengumpulan data dilakukan dengan metode library research (penelitian kepustakaan) yakni melakukan penelitian dengan menggunakan data dari berbagai sumber bacaan seperti peraturan perundang-undangan, buku-buku, majalah, dan internet yang dinilai relevan dengan permasalahan yang akan dibahas penulis dalam skripsi ini. Di tahap selanjutnya penulis melakukan penelitian terhadap putusan hakim No. 3861/Pid. B/2007/PN. MDN terhadap pengaturan serta pertanggungjawaban pidana yang terjadi dalam hukum positif Indonesia. Berdasarkan penelitian tersebut diketahui bahwa pengaturan tindak pidana di bidang asuransi berpedoman kepada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dimana secara pokok penipuan diatur dalam Pasal 378 KUHP, serta penipuan di bidang asuransi dalam Pasal 381 dan 382 KUHP. Selain itu tindak pidana penipuan di bidang asuransi juga diatur dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, dalam undang-undang ini menjelaskan kepada pelaksanaan penipuan di bidang asuransi, terkait dengan tindak pidana penggelapan premi asuransi dan tindak pidana pemalsuan dokumen asuransi. Dimana kedua tindak pidana ini sering dilakukan sebagai modus kejahatan penipuan di bidang asuransi. Hukum pidana belum berfungsi maksimal terhadap kasus tindak pidana penipuan di bidang asuransi, dengan melakukan tindak pidana penggelapan premi asuransi dan pemalsuan dokumen asuransi (Putusan No. 3861/Pid. B/2007/PN. MDN), disebabkan masiha kurangnya pegetahuan masyarakat serta aparat penegak hukum tentang tindak pidana-tindak pidana di bidang asuransi. Meningkatkan pengetahuan dan kesadaran terhadap pentingnya adanya pegaturan tindak pidana penipuan di bidang asuransi dapat mewujudkan suatu pertanggungjawaban pidana yang baik.



Jilid 3


KASUS PENGGELAPAN ATAS NAMA TERDAKWA DAVID IWAN GUNAWAN
(Studi kasus Putusan P.N. Surabaya, Pengadilan Tinggi dan M.A)


MUCH. AULIA SUNARYOHADI
Pembimbing : Bambang Suheryadi, S.H., M.Hum.
LAW ENFORCEMENT ; CRIMINAL LAW
KKB KK-2 FH 71 / 09 Sun k
Copyright : @ 2009 by Airlangga University Library Surabaya


unsur unsur dalam pasal 372 tentang Penggelapan yaitu barang siapa memiliki secara
melawan hukum sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang lain berada padanya bukan
karena kejahatan kalau pengertian wanprestasi Suatu perjanjian dapat terlaksana dengan
baik apabila para pihak telah memenuhi prestasinya masing-masing seperti yang telah
diperjanjikan tanpa ada pihak yang dirugikan. Tetapi adakalanya pet janjian tersehut tidak
terlaksana dengan baik karena adanya wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu palate
atau debitur. Perbedaan penggelapan, dan wanprestasi. Perbedaan penggelapan dan
wanprestasi adalah kalau penggelapan memiliki secara melawan hukum dan berada padanya
bukan karena kejahatan dan menurut Wanprestasi Suatu perjanjian dapat terlaksana dengan
baik apabila para pihak telah memenuhi prestasinya masing-masing seperti yang telah
diperjanjikan tanpa ada pihak yang dirugikan. Tetapi adakalanya perjanjian tersebut tidak
terlaksana dengan baik karena adanya wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak atau
debitur. Menurut analis kasus yang diputus oleh MA karena bahwa alasan -alasan tersebut
dapat dibenarkan, oleh karena Pengadilan Tinggi (Judex Factie) tidak cermat serta keliru
didalam memberikan pertimbangan hukum terhadap surat bukti tentang : "Perjanjian
kerjasama" Nomor 002?PINI 2002 tar,ggal 21 Desember 2002. dimana dalam perjanjian
kerjasama tersebut telah jelas dituliskan pada bab penutup pasal 5 apabila dikemudian hari
timbul perselisihan masalah perjanjian kerja sama ini, antara kedua belah pihak, maka kedua
belah pihak sepakat dari setuju untuk menyelesaikan masalah tersebut secara musyawarah
dan mufakat. Hal- hal yang belum diatur dalam kesepakatan akan diatur dikemudian hari
oleh kedua be-rah pihak melalui addendum. Bahwa alasan tersebut dapat dibenarkan, karena
Judex Factie telah menerapkan hukum tidak sebagaimana mestinya pasal 253 (1) KUHAP ;
Perbuatan terdakwa DAVID IWAN GUNAWAN tersebut murni telah melakukan
wanprestasi bukan penggelapan maupun penipuan karena didalam bukti yang ada bahwa
terdakwa telah ber etikad baik dengan cara membayar melalui rekening BCA dan pengambilan Mobil oleh PT. YANA MURIA jadi tidak ada unsur – unsur pasal 372 sampai dengan pasal 378 KUHP yang dituduhkan oleh JPU atau Putusan dari Majelis HakimTingkat I sampai tingkat banding.

Jilid 4

Manajer terlibat kasus penggelapan dan penipuan
27 Apr 2010 DUEL CHRIS JOHN TERANCAM BATAL
JAKARTA (Pos Kota)- Hampir dua tahun tidak terdengar kasus batalnya pertandingan juara dunia WBA, Chris John melawan Jackson Asiku (Ghana) yang dipromotori Soeryo Goeritno, kini kembali ummul. Kali ini, pengacara Soeryo Goeritno, Wilmar Sitorus meminta Polda Metro Jaya yang menangani kasus ini segera mengeluarkan Daftar Pencarian Orang (DPO) terhadap manajer Chris John, Craig Christian.
"Saya akan meminta penyidik untuk memasukkan Craig dalam DPO. Bukan hanya kasusnya sudah dua tahun tidak ada penyelesaian tetapi Craig sudah dua kali tidak memenuhi panggilan polisi. Sedangkan saksi-saksi sudah diperiksa termasuk Chris John," kata Wilmar Sitorus saat mendampingi Soeryo Goeritno di Jakarta, Senin (26/4).
Tadinya, kata Wilmar, Polda Metro Jaya ingin mengelurkan DPO terhadap pria asal Australia itu. Namun, Zakaria selaku kuasa hukum Craig meminta penangguhan dengan janji akan menyelesaikan masalah tersebut."Sampai sekarang sayatidak bisa menghubungi pengacara Craig untuk menanyakan masalah penyelesaian yang dijanjikan tersebut.Telepon selulamya sih aktif tapi tidak pernah diangkat," tegas Wilmar Sitorus.
Menurut Wilmar, Craig dilaporkan melakukan penipuan dan penggelapan terhadap bayaran 45 ribu dolar AS yang telah dikeluarkan promotor Soeryo Goeritno untuk pertandingan Chris John melawan Asiku yang direncanakan di Jakarta, 27 Juli 2008.Pertandingan tinju dunia kelas bulu versi WBA dibatalkan setelah kedua petinju tidak melakukan timbang badan. Padahal, Craig sudah menerima uang senilai 65 ribu dolar AS yang berasal dari promotor 45 ribu dolar dan RCTI sebesar 20 ribu dolar AS.
"Craig jelas melanggar pasal 372 dan 378 karena pertandingan itu batal. Apalagi, seluruh persyaratan untuk pertandingan sudah dipenuhi promotor dimana Craig dan Chris John telah menandatangani kontrak pertandingan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan WBA," jelasnya."Craig jelas melakukan penggelapan karena Cris John dalam keterangannya dihadapan penyidik mengaku tidak menerima dana tersebut," timpal Goeritno.
UBM PERTANDINGAN
Selain meminta Polda Metro Jaya memasukkan Craig dalam DPO, Wilmar juga akan melayangkan surat permohonan kepada pihak kepolisian, Kemenpora dalam hal ini Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI) yang tadinya Badan Pengawasan dan Pengendalian Olahraga Profesional Indonesia (BP2OPI) untuk tidak mengeluarkan surat izin pertandingan Chris John melawan Fernando Saucedo dari Argentina di Bali, 22 Mei 2010.
Pertandingan ini dipromotori Zaenal Thayeb. "Kami meminta pihak kepolisian dan BOPI untuk tidak mengeluarkan izin pertandingan sebelum masalah ini diselesaikan.Kata Wilmar sembari meminta hal serupa dilakukan KbmisiTinju Indonesia (KTI), Komisi Tinju Profesional Indonesia (KTPI), dan Asosiasi Tinju Indonesia (ATI).Sementara itu.TourinoTi-dar yang juga hadir dalam pertemuan itu mengatakan, hanya, Craig yang belum diperiksa meski sudah dilayangkan dua kali surat panggilan, (hari/r)













Jilid 5
FRAUD (KECURANGAN) : APA DAN MENGAPA?

I. Pendahuluan
Kita sering mendengar maupun membaca artikel dan berita mengenai adanya
indikasi fraud atau kecurangan/penyimpangan pada suatu perusahaan atau instansi
pemerintah yang dilakukan oleh karyawan/pegawainya. Maraknya berita mengenai
investigasi terhadap indikasi penyimpangan (fraud) di dalam perusahaan dan juga
pengelolaan negara di surat kabar dan televisi semakin membuat sadar bahwa kita
harus melakukan sesuatu untuk membenahi ketidakberesan tersebut. Walaupun saat
ini sorotan utama sering terjadi pada manajemen puncak perusahaan, atau terlebih
lagi terhadap pejabat tinggi suatu instansi, namun sebenarnya penyimpangan
perilaku tersebut bisa juga terjadi di berbagai lapisan kerja organisasi.
Upaya penegakan hukum terhadap tindakan fraud selama ini kurang
membawa hasil. Tindakan yang dilakukan pemerintah untuk memperbaiki keadaan
secara keseluruhan belum menunjukkan tanda-tanda keberhasilan yang signifikan.
Efektivitas ketentuan hukum tidak dapat dicapai apabila tidak didukung norma dan
nilai etika dari pihak terkait. Dalam konteks suatu organisasi, nilai etika dan moral
perorangan harus muncul sebagai aturan etika organisasi yang telah terkodifikasi
sebagai kode etik dan kelengkapannya.
Fraud (kecurangan) itu sendiri secara umum merupakan suatu perbuatan
melawan hukum yang dilakukan oleh orang-orang dari dalam dan atau luar
organisasi, dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan atau
kelompoknya yang secara langsung merugikan pihak lain. Orang awam seringkali
mengasumsikan secara sempit bahwa fraud sebagai tindak pidana atau perbuatan
korupsi.


II. Permasalahan
1. Apakah yang dimaksud dengan Fraud (kecurangan)?
2. Apakah unsur-unsur dan klasifikasi dari fraud tersebut?
3. Bagaimana gejala dan pelakunya?
4. Bagaimana pula hubungan fraud dengan korupsi?




Sie Infokum – Ditama Binbangkum




1








III. Pemecahan
Pengertian Fraud (Kecurangan)
Definisi Fraud (Ing) menurut Black Law Dictionary adalah :
1. A knowing misrepresentation of the truth or concealment of a material fact to induce
another to act to his or her detriment; is usual a tort, but in some cases (esp. when the
conduct is willful) it may be a crime, 2. A misrepresentation made recklessly without
belief in its truth to induce another person to act, 3. A tort arising from knowing
misrepresentation, concealment of material fact, or reckless misrepresentation made to
induce another to act to his or her detriment.
Yang diterjemahkan (tidak resmi), kecurangan adalah :
1. Kesengajaan atas salah pernyataan terhadap suatu kebenaran atau keadaan yang
disembunyikan dari sebuah fakta material yang dapat mempengaruhi orang lain untuk
melakukan perbuatan atau tindakan yang merugikannya, biasanya merupakan kesalahan
namun dalam beberapa kasus (khususnya dilakukan secara disengaja) memungkinkan
merupakan suatu kejahatan; 2. penyajian yang salah/keliru (salah pernyataan) yang
secara ceroboh/tanpa perhitungan dan tanpa dapat dipercaya kebenarannya berakibat
dapat mempengaruhi atau menyebabkan orang lain bertindak atau berbuat; 3. Suatu
kerugian yang timbul sebagai akibat diketahui keterangan atau penyajian yang salah
(salah pernyataan), penyembunyian fakta material, atau penyajian yang ceroboh/tanpa
perhitungan yang mempengaruhi orang lain untuk berbuat atau bertindak yang
merugikannya.
Menurut Kamus Hukum, mengartikan Fraud (Ing) = Fraude (Bld) sebagai
kecurangan = Frauderen/verduisteren (Bld) : menggelapkan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 278 KUHP, Pasal 268 KUHPer. Sedangkan dalam Wikipedia
(en.wikipedia.org), memberikan definisi Fraud sebagai berikut:
a fraud is a deception made for personal gain or to damage another individual. In
criminal law, fraud is the crime or offense of deliberately deceiving another in order to
damage them – usually, to obtain property or services unjustly. Fraud can be
accomplished through the aid of forged objects. In the criminal law of common law
jurisdictions it may be called "theft by deception," "larceny by trick," "larceny by fraud
and deception" or something similar.
Yang diterjemahkan (tidak resmi) sebagai berikut:
Kecurangan merupakan penipuan yang dibuat untuk mendapatkan keuntungan pribadi
atau untuk merugikan orang lain. Dalam hukum pidana, kecurangan adalah kejahatan atau
pelanggaran yang dengan sengaja menipu orang lain dengan maksud untuk merugikan
mereka, biasanya untuk memiliki sesuatu/harta benda atau jasa ataupun keuntungan
dengan cara tidak adil/curang. Kecurangan dapat mahir melalui pemalsuan terhadap
barang atau benda. Dalam hukum pidana secara umum disebut dengan “pencurian dengan
penipuan”, “pencurian dengan tipu daya/muslihat”, “pencurian dengan penggelapan dan
penipuan” atau hal serupa lainnya.







Sie Infokum – Ditama Binbangkum







2





Ada pula yang mendefinisikan Fraud sebagai suatu tindak kesengajaan untuk
menggunakan sumber daya perusahaan secara tidak wajar dan salah menyajikan
fakta untuk memperoleh keuntungan pribadi. Dalam bahasa yang lebih sederhana,
fraud adalah penipuan yang disengaja. Hal ini termasuk berbohong, menipu,
menggelapkan dan mencuri. Yang dimaksud dengan penggelapan disini adalah
merubah asset/kekayaan perusahaan yang dipercayakan kepadanya secara tidak
wajar untuk kepentingan dirinya. Dengan demikian perbuatan yang dilakukannya
adalah untuk menyembunyikan, menutupi atau dengan cara tidak jujur lainnya
melibatkan atau meniadakan suatu perbuatan atau membuat pernyataan yang salah
dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan pribadi dibidang keuangan atau
keuntungan lainnya atau meniadakan suatu kewajiban bagi dirinya dan mengabaikan
hak orang lain1.

Unsur-unsur Fraud (Kecurangan)
Dari beberapa definisi atau pengertian Fraud (Kecurangan) di atas, maka
tergambarkan bahwa yang dimaksud dengan kecurangan (fraud) adalah sangat luas
dan dapat dilihat pada beberapa kategori kecurangan. Namun secara umum, unsur-
unsur dari kecurangan (keseluruhan unsur harus ada, jika ada yang tidak ada
maka dianggap kecurangan tidak terjadi) adalah:
• Harus terdapat salah pernyataan (misrepresentation);
• dari suatu masa lampau (past) atau sekarang (present);
• fakta bersifat material (material fact);
• dilakukan secara sengaja atau tanpa perhitungan (make-knowingly or recklessly);
• dengan maksud (intent) untuk menyebabkan suatu pihak beraksi;
• Pihak yang dirugikan harus beraksi (acted) terhadap salah pernyataan tersebut
(misrepresentation);
• yang merugikannya (detriment).
Kecurangan disini juga termasuk (namun tidak terbatas pada) manipulasi,
penyalahgunaan jabatan, penggelapan pajak, pencurian aktiva, dan tindakan buruk
lainnya yang dilakukan oleh seseorang yang dapat mengakibatkan kerugian bagi
organisasi/perusahaan.

Klasifikasi Fraud (Kecurangan)
The Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) atau Asosiasi Pemeriksa
Kecurangan Bersertifikat, merupakan organisasi professional bergerak di bidang
pemeriksaan atas kecurangan yang berkedudukan di Amerika Serikat dan
mempunyai tujuan untuk memberantas kecurangan, mengklasifikasikan fraud
(kecurangan) dalam beberapa klasifikasi, dan dikenal dengan istilah “Fraud Tree”
yaitu Sistem Klasifikasi Mengenai Hal-hal Yang Ditimbulkan Sama Oleh Kecurangan
(Uniform Occupational Fraud Classification System), dengan bagan sebagai
berikut :






1 Bambang Suhermadi; “Management Fraud”; diunduh dari http://internal.dsuc.co.id/management-fraud,
Submitted by Bambang Suhermadi on Fri, 2006-


















































Dari bagan Uniform Occupational Fraud Classification System tersebut, The ACFE
membagi Fraud (Kecurangan) dalam 3 (tiga) jenis atau tipologi berdasarkan
perbuatan yaitu:
1. Penyimpangan atas asset (Asset Misappropriation);
Asset misappropriation meliputi penyalahgunaan/pencurian aset atau harta
perusahaan atau pihak lain. Ini merupakan bentuk fraud yang paling mudah
dideteksi karena sifatnya yang tangible atau dapat diukur/dihitung (defined
value).









Sie Infokum – Ditama Binbangkum









4





2. Pernyataan palsu atau salah pernyataan (Fraudulent Statement);
Fraudulent statement meliputi tindakan yang dilakukan oleh pejabat atau
eksekutif suatu perusahaan atau instansi pemerintah untuk menutupi kondisi
keuangan yang sebenarnya dengan melakukan rekayasa keuangan (financial
engineering) dalam penyajian laporan keuangannya untuk memperoleh
keuntungan atau mungkin dapat dianalogikan dengan istilah window dressing.
3. Korupsi (Corruption).
Jenis fraud ini yang paling sulit dideteksi karena menyangkut kerja sama dengan
pihak lain seperti suap dan korupsi, di mana hal ini merupakan jenis yang
terbanyak terjadi di negara-negara berkembang yang penegakan hukumnya
lemah dan masih kurang kesadaran akan tata kelola yang baik sehingga faktor
integritasnya masih dipertanyakan. Fraud jenis ini sering kali tidak dapat dideteksi
karena para pihak yang bekerja sama menikmati keuntungan (simbiosis
mutualisma). Termasuk didalamnya adalah penyalahgunaan wewenang/konflik
kepentingan (conflict of interest), penyuapan (bribery), penerimaan yang tidak
sah/illegal (illegal gratuities), dan pemerasan secara ekonomi (economic
extortion).
Sedangkan Delf (2004) menambahkan satu lagi tipologi fraud yaitu cybercrime. Ini
jenis fraud yang paling canggih dan dilakukan oleh pihak yang mempunyai keahlian
khusus yang tidak selalu dimiliki oleh pihak lain. Cybercrime juga akan menjadi jenis
fraud yang paling ditakuti di masa depan di mana teknologi berkembang dengan
pesat dan canggih2.
Selain itu, pengklasifikasian fraud (kecurangan) dapat dilakukan dilihat dari
beberapa sisi3, yaitu :
1. Berdasarkan pencatatan
Kecurangan berupa pencurian aset dapat dikelompokkan kedalam tiga kategori:
a. Pencurian aset yang tampak secara terbuka pada buku, seperti duplikasi
pembayaran yang tercantum pada catatan akuntansi (fraud open on-the-
books, lebih mudah untuk ditemukan);
b. Pencurian aset yang tampak pada buku, namun tersembunyi diantara catatan
akuntansi yang valid, seperti: kickback (fraud hidden on the-books);
c. Pencurian aset yang tidak tampak pada buku, dan tidak akan dapat dideteksi
melalui pengujian transaksi akuntansi “yang dibukukan”, seperti: pencurian
uang pembayaran piutang dagang yang telah dihapusbukukan/di-write-off
(fraud off-the books, paling sulit untuk ditemukan).
2. Berdasarkan frekuensi
Pengklasifikasian kecurangan dapat dilakukan berdasarkan frekuensi terjadinya:
a. Tidak berulang (non-repeating fraud). Dalam kecurangan yang tidak berulang,
tindakan kecurangan — walaupun terjadi beberapa kali — pada dasarnya
bersifat tunggal. Dalam arti, hal ini terjadi disebabkan oleh adanya pelaku



2 Viraguna Bagoes Oka; Deputi Direktur Pengawasan Bank Bank Indonesia; “Bank Fraud, Apa dan Mengapa Masih
Terjadi”; diunduh dari KCM (Kompas Cyber Media) Kamis, 14 Oktober 2004, http://64.203.71.11/kompas-
cetak/0410/14/ekonomi/1325243.htm
3 Riduan Simanjuntak, Ak., MBA, CISA, CIA; “Kecurangan: Pengertian dan Pencegahan”; diunduh dari
www.asei.co.id/internal/docs/Asei-Kecurangan.doc; tanggal 14 Oktober 2008.




Sie Infokum – Ditama Binbangkum




5





setiap saat (misal: pembayaran cek mingguan karyawan memerlukan kartu
kerja mingguan untuk melakukan pembayaran cek yang tidak benar).
b. Berulang (repeating fraud). Dalam kecurangan berulang, tindakan yang
menyimpang terjadi beberapa kali dan hanya diinisiasi/diawali sekali saja.
Selanjutnya kecurangan terjadi terus-menerus sampai dihentikan. Misalnya,
cek pembayaran gaji bulanan yang dihasilkan secara otomatis tanpa harus
melakukan penginputan setiap saat. Penerbitan cek terus berlangsung sampai
diberikan perintah untuk menghentikannya.
3. Berdasarkan konspirasi
Kecurangan dapat diklasifikasikan sebagai: terjadi konspirasi atau kolusi, tidak
terdapat konspirasi, dan terdapat konspirasi parsial. Pada umumnya kecurangan
terjadi karena adanya konspirasi, baik bona fide maupun pseudo. Dalam bona
fide conspiracy, semua pihak sadar akan adanya kecurangan; sedangkan dalam
pseudo conspiracy, ada pihak-pihak yang tidak mengetahui terjadinya
kecurangan.
4. Berdasarkan keunikan
Kecurangan berdasarkan keunikannya dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a. Kecurangan khusus (specialized fraud), yang terjadi secara unik pada orang-
orang yang bekerja pada operasi bisnis tertentu. Contoh: (1) pengambilan
aset yang disimpan deposan pada lembaga-lembaga keuangan, seperti: bank,
dana pensiun, reksa dana (disebut juga custodial fraud) dan (2) klaim
asuransi yang tidak benar.
b. Kecurangan umum (garden varieties of fraud) yang semua orang mungkin
hadapi dalam operasi bisnis secara umum. Misal: kickback, penetapan harga
yang tidak benar, pesanan pembelian/kontrak yang lebih tinggi dari
kebutuhan yang sebenarnya, pembuatan kontrak ulang atas pekerjaan yang
telah selesai, pembayaran ganda, dan pengiriman barang yang tidak benar.

Faktor Pemicu Fraud (Kecurangan)4
Terdapat empat faktor pendorong seseorang untuk melakukan kecurangan,
yang disebut juga dengan teori GONE, yaitu:
• Greed (keserakahan)
• Opportunity (kesempatan)
• Need (kebutuhan)
• Exposure (pengungkapan)
Faktor Greed dan Need merupakan faktor yang berhubungan dengan individu
pelaku kecurangan (disebut juga faktor individual). Sedangkan faktor Opportunity
dan Exposure merupakan faktor yang berhubungan dengan organisasi sebagai
korban perbuatan kecurangan (disebut juga faktor generik/umum).





4 Riduan Simanjuntak, Ak., MBA, CISA, CIA; “Kecurangan: Pengertian dan Pencegahan”; diunduh dari
www.asei.co.id/internal/docs/Asei-Kecurangan.doc; tanggal 14 Oktober 2008.




Sie Infokum – Ditama Binbangkum




6





1. Faktor generik
• Kesempatan (opportunity) untuk melakukan kecurangan tergantung pada
kedudukan pelaku terhadap objek kecurangan. Kesempatan untuk
melakukan kecurangan selalu ada pada setiap kedudukan. Namun, ada
yang mempunyai kesempatan besar dan ada yang kecil. Secara umum
manajemen suatu organisasi/perusahaan mempunyai kesempatan yang lebih
besar untuk melakukan kecurangan daripada karyawan;
• Pengungkapan (exposure) suatu kecurangan belum menjamin tidak
terulangnya kecurangan tersebut baik oleh pelaku yang sama maupun oleh
pelaku yang lain. Oleh karena itu, setiap pelaku kecurangan seharusnya
dikenakan sanksi apabila perbuatannya terungkap.
2. Faktor individu
Faktor ini melekat pada diri seseorang dan dibagi dalam dua kategori:
• Moral, faktor ini berhubungan dengan keserakahan (greed).
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan untuk mengurangi risiko tersebut
adalah:
 Misi/tujuan organisasi/perusahaan, ditetapkan dan dicapai dengan
melibatkan seluruh pihak (manajemen dan karyawan);
 Aturan perilaku pegawai, dikaitkan dengan lingkungan dan budaya
organisasi/perusahaan;
 Gaya manajemen, memberikan contoh bekerja sesuai dengan misi dan
aturan perilaku yang ditetapkan organisasi/perusahaan;
 Praktik penerimaan pegawai, dicegah diterimanya karyawan yang
bermoral tidak baik.
• Motivasi, faktor ini berhubungan dengan kebutuhan (need), yang lebih
cenderung berhubungan dengan pandangan/pikiran dan keperluan

pegawai/pejabat

yang

terkait

dengan aset yang dimiliki

perusahaan/instansi/organisasi tempat ia bekerja. Selain itu tekanan
(pressure) yang dihadapi dalam bekerja dapat menyebabkan orang yang jujur
mempunyai motif untuk melakukan kecurangan.
Beberapa kemungkinan keterlibatan dalam kecurangan:
 Lingkungan kerja yang tidak nyaman dan tidak menyenangkan, misalnya:
memperlakukan pegawai secara tidak wajar, berkomunikasi secara
tertutup, dan tidak adanya mekanisme untuk menyampaikan setiap
keluhan;
 Sistem pengukuran kinerja dan penghargaan, yang tidak wajar sehingga
karyawan merasa tidak diperlakukan secara adil;
 Tidak adanya bantuan konsultasi pegawai, untuk mengetahui masalah
secara dini;
 Proses penerimaan karyawan yang tidak fair;
 Kecerobohan atau tidak hati-hati, mengingat motivasi seseorang tidak
dapat diamati mata telanjang, sebaliknya produk motivasi tersebut tidak
dapat disembunyikan.







Sie Infokum – Ditama Binbangkum







7






Gejala Adanya Fraud
Fraud (Kecurangan) yang dilakukan oleh manajemen umumnya lebih sulit
ditemukan dibandingkan dengan yang dilakukan oleh karyawan. Oleh karena itu,
perlu diketahui gejala yang menunjukkan adanya kecurangan tersebut, adapun
gejala tersebut adalah :
1. Gejala kecurangan pada manajemen
• Ketidakcocokan diantara manajemen puncak;
• Moral dan motivasi karyawan rendah;
• Departemen akuntansi kekurangan staf;
• Tingkat komplain yang tinggi terhadap organisasi/perusahaan dari pihak
konsumen, pemasok, atau badan otoritas;
• Kekurangan kas secara tidak teratur dan tidak terantisipasi;
• Penjualan/laba menurun sementara itu utang dan piutang dagang meningkat;
• Perusahaan mengambil kredit sampai batas maksimal untuk jangka waktu
yang lama;
• Terdapat kelebihan persediaan yang signifikan;
• Terdapat peningkatan jumlah ayat jurnal penyesuaian pada akhir tahun buku.
2. Gejala kecurangan pada karyawan/pegawai
• Pembuatan ayat jurnal penyesuaian tanpa otorisasi manajemen dan tanpa
perincian/penjelasan pendukung;
• Pengeluaran tanpa dokumen pendukung;
• Pencatatan yang salah/tidak akurat pada buku jurnal/besar;
• Penghancuran, penghilangan, pengrusakan dokumen pendukung pembayaran;
• Kekurangan barang yang diterima;
• Kemahalan harga barang yang dibeli;
• Faktur ganda;
• Penggantian mutu barang.

Pelaku dari Fraud
Pelaku kecurangan di atas dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok,
yaitu manajemen dan karyawan/pegawai. Pihak manajemen melakukan kecurangan
biasanya untuk kepentingan perusahaan, yaitu salah saji yang timbul karena
kecurangan pelaporan keuangan (misstatements arising from fraudulent financial
reporting). Sedangkan Karyawan/Pegawai melakukan kecurangan bertujuan untuk
keuntungan individu, misalnya salah saji yang berupa penyalahgunaan aktiva
(misstatements arising from misappropriation of assets).
Kecurangan pelaporan keuangan biasanya dilakukan karena dorongan dan
ekspektasi terhadap prestasi kerja manajemen. Salah saji yang timbul karena
kecurangan terhadap pelaporan keuangan lebih dikenal dengan istilah irregularities
(ketidakberesan). Bentuk kecurangan seperti ini seringkali dinamakan kecurangan
manajemen (management fraud), misalnya berupa : Manipulasi, pemalsuan, atau
pengubahan terhadap catatan akuntansi atau dokumen pendukung yang merupakan
sumber penyajian laporan keuangan. Kesengajaan dalam salah menyajikan atau
sengaja menghilangkan (intentional omissions) suatu transaksi, kejadian, atau
informasi penting dari laporan keuangan.




Sie Infokum – Ditama Binbangkum




8





Kecurangan penyalahgunaan aktiva biasanya disebut kecurangan karyawan
(employee fraud). Salah saji yang berasal dari penyalahgunaan aktiva meliputi
penggelapan aktiva perusahaan yang mengakibatkan laporan keuangan tidak
disajikan sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum. Penggelapan
aktiva umumnya dilakukan oleh karyawan yang menghadapi masalah keuangan dan
dilakukan karena melihat adanya peluang kelemahan pada pengendalian internal
perusahaan serta pembenaran terhadap tindakan tersebut. Contoh salah saji jenis ini
adalah :
• Penggelapan terhadap penerimaan kas;
• Pencurian aktiva perusahaan;
• Mark-up harga;
• Transaksi “tidak resmi”.

Perilaku Pelaku Fraud
Berikut merupakan beberapa perilaku seseorang yang harus menjadi
perhatian karena dapat merupakan indikasi adanya kecurangan yang dilakukan orang
tersebut, yaitu:
• Perubahan perilaku secara signifikan, seperti: easy going, tidak seperti biasanya,
gaya hidup mewah, mobil atau pakaian mahal;
• Gaya hidup di atas rata-rata;
• Sedang mengalami trauma emosional di rumah atau tempat kerja;
• Penjudi berat;
• Peminum berat;
• Sedang dililit utang;
• Temuan audit atas kekeliruan (error) atau ketidakberesan (irregularities)
dianggap tidak material ketika ditemukan;
• Bekerja tenang, bekerja keras, bekerja melampaui jam kerja, sering bekerja
sendiri.

Fraud dan Korupsi
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, Fraud merupakan penipuan yang
dibuat untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau untuk merugikan orang lain atau
suatu tindak kesengajaan untuk menggunakan sumber daya perusahaan secara tidak
wajar dan salah menyajikan fakta untuk memperoleh keuntungan pribadi. Dalam
bahasa yang lebih sederhana, fraud adalah penipuan yang disengaja.
Sedangkan korupsi berawal dari bahasa latin corruptio atau corruptus.
Corruptio berasal dari kata corrumpere, suatu kata latin yang lebih tua. Dari bahasa
latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris yaitu corruption, corrupt;
Prancis yaitu corruption; dan Belanda yaitu corruptie, korruptie. Dari Bahasa Belanda
inilah kata itu turun ke Bahasa Indonesia yaitu korupsi.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1991 (KBBI) korupsi berarti busuk;
palsu; atau suap. Dalam Kamus Hukum, korupsi adalah buruk; rusak; suka
menerima uang sogok; menyelewengkan uang/barang milik perusahaan atau negara;
menerima uang dengan menggunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi atau
penyelewengan atau penggelapan uang negara atau perusahaan sebagai tempat

seseorang

bekerja

untuk keuntungan

pribadi atau

orang lain.





Sie Infokum – Ditama Binbangkum





9





The Lexicon Webster Dictionary, 1978 memberikan pengertian korupsi sebagai
kebejatan; ketidakjujuran; tidak bermoral; penyimpangan dari kesucian.
Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar
mencakup unsur-unsur sebagai berikut:
• perbuatan melawan hukum;
• penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana;
• memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi;
• merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
Selain itu terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain, diantaranya:
• memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan);
• penggelapan dalam jabatan;
• pemerasan dalam jabatan;
• ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara);
• menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).
Tindak pidana korupsi tidak lagi merupakan masalah lokal, melainkan
permasalahan yang bersifat antar negara (transnasional) yang juga mempengaruhi
masyarakat dan perekonomian global, sehingga kerja sama internasional untuk
penegakan dan pemberantasannya yang didukung oleh integritas, akuntabilitas, dan
manajemen pemerintahan yang baik disetiap negara sangat diperlukan. Peraturan
perundang-undangan di Indonesia yang mengatur mengenai tindak pidana korupsi,
saat ini sudah lebih baik dibandingkan sebelumnya dengan dikeluarkannya UU No. 28
Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari KKN, UU
No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, serta terakhir dengan diratifikasinya United Nations Convention Against
Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003) dengan
UU No. 7 Tahun 2006.
Menurut UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang termasuk dalam Tindak Pidana Korupsi
adalah sebagai berikut :
1. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara (Pasal 2 UU No. 31 tahun 1999).
2. Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang
ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara (Pasal 3 UU No. 31 tahun 1999).
3. Setiap orang atau pegawai negeri sipil/penyelenggara negara yang memberi atau
menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan
maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau
tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan
kewajibannya; atau memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara
negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan
kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya (Pasal 5 UU No. 20
Tahun 2001).





Sie Infokum – Ditama Binbangkum





10





4. Setiap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan
maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk
diadili; atau. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk
menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau
pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan
kepada pengadilan untuk diadili. (Pasal 6 UU No. 20 Tahun 2001).
5. Pasal 7 UU No. 20 Tahun 2001:
a. pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau
penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan,
melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang
atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang;
b. setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan
bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang yang dapat
membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara
dalam keadaan perang
c. setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara
Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan
perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam
keadaan perang; atau
d. setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara
Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan
sengaja membiarkan perbuatan curang yang dapat membahayakan
keselamatan negara dalam keadaan perang.
e. Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang
menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau
Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang
yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan
negara dalam keadaan perang atau yang dapat membahayakan keselamatan
negara dalam keadaan perang.
6. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan
suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan
sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena
jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau
digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut
(Pasal 8 UU No. 20 tahun 2001).
7. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan
suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan
sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan
administrasi (Pasal 9 UU No. 20 tahun 2001).
8. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan
suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan
sengaja (Pasal 10 UU No. 20 Tahun 2001):
a. menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat
dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan




Sie Infokum – Ditama Binbangkum




11





atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena
jabatannya; atau
b. membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau
membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut; atau
c. membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau
membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut.
9. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji
padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan
karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau
yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada
hubungan dengan jabatannya (Pasal 11 UU No. 20 Tahun 2001).
10. Pasal 12 UU No. 20 Tahun 2001 :
a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji,
padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut
diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu
dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal
diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat
atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam
jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;
c. hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga
bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan
perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;
d. seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima
hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau
janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan
diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan
untuk diadili;
e. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau
dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan
sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau
untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
f. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan
tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai
negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-
olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum
tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut
bukan merupakan utang;
g. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan
tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolah-
olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut
bukan merupakan utang;





Sie Infokum – Ditama Binbangkum





12





h. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan
tugas, telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai,
seolah-olah sesuai dengan peraturan perundangundangan, telah merugikan
orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut
bertentangan dengan peraturan perundangundangan; atau
i. pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak
langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau
persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian
ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.
11. Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap
pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan
dengan kewajiban atau tugasnya. (Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001).
12. Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan
mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau
kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada
jabatan atau kedudukan (Pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999).
13. Setiap orang yang melanggar ketentuan Undang-undang yang secara tegas
menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang tersebut
sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam Undang-
undang ini (Pasal 14 UU No. 31 Tahun 1999).
Kemudian berdasarkan United Nation Convention Againts Corruption
(UNCAC) telah diratifikasi dengan UU No 7 Tahun 2006, Pengertian Korupsi
diperluas lagi dengan :
1. Penyuapan, janji, tawaran, atau pemberian kepada pejabat publik/swasta,
permintaan atau penerimaan oleh pejabat publik/swasta/internasional, secara
langsung atau tidak langsung, manfaat yang tidak semestinya untuk pejabat itu
sendiri atau orang atau badan lain yang ditujukan agar pejabat itu bertindak atau
berhenti bertindak dalam pelaksanaan tugas-tugas resmi mereka untuk
memperoleh keuntungan dari tindakan tersebut.
2. Penggelapan, penyalahgunaan atau penyimpangan lain oleh pejabat
publik/swasta/internasional.
3. Memperkaya diri sendiri dengan tidak sah.
Terkait dengan Fraud Tree atau yang dikenal dengan Uniform Occupational
Fraud Classification System, Korupsi merupakan salah satu tipologi dari Fraud.
Sehingga dapat dianalogikan bahwa Fraud mempunyai lingkup yang lebih luas
daripada korupsi (walaupun pengertian dan lingkup korupsi saat ini berdasarkan
UNCAC semakin diperluas), dan dilihat dari sudut pandang secara umum Fraud
merupakan induk dari korupsi. Oleh karenanya, terdapat hubungan erat antara Fraud
dengan Korupsi, yaitu sebagai berikut :
1. Merupakan suatu perbuatan yang disengaja;
2. Untuk mendapatkan keuntungan pribadi;
3. Merugikan pihak lain;
4. Menimbulkan kerugian bagi organisasi/perusahaan.
Namun, hal yang mendasar adalah perbuatan Fraud tidak serta merta harus
memenuhi unsur perbuatan melawan hukum, sedangkan korupsi atau tindak pidana




Sie Infokum – Ditama Binbangkum




13





korupsi harus memenuhi salah satu unsur yaitu merupakan perbuatan melawan
hukum, yang harus dibuktikan di muka pengadilan.

IV. Penutup
1. Fraud (kecurangan) mempunyai pengertian atau definisi yang luas dan
bermacam-macam, namun pada prinsipnya adalah sama yaitu suatu tindakan
atau perbuatan yang dengan maksud disengaja dan menggunakan sumber daya
organisasi/perusahaan secara tidak wajar untuk memperoleh keuntungan pribadi
sehingga merugikan pihak organisasi/perusahaan yang bersangkutan ataupun
pihak lain.
2. Unsur-unsur Fraud antara lain terdapatnya salah pernyataan (misrepresentation);
dari suatu masa lampau (past) atau sekarang (present); fakta bersifat material
(material fact); dilakukan secara sengaja (make-knowingly or recklessly); dan
merugikan (detriment). Selain itu, Fraud diklasifikasikan dalam 3 (tiga) tipologi
yaitu penyimpangan atas asset (asset misappropriation); pernyataan palsu atau
salah pernyataan (fraudulent statement); dan Korupsi (Corruption).
3. Gejala Fraud terbagi atas gejala pada manajemen dan gejala pada
karyawan/pegawai. Pelaku kecurangan diklasifikasikan ke dalam dua kelompok,
yaitu manajemen dan karyawan/pegawai. Pihak manajemen melakukan
kecurangan biasanya untuk kepentingan perusahaan, yaitu salah saji yang timbul
karena kecurangan pelaporan keuangan (misstatements arising from fraudulent
financial reporting). Sedangkan Karyawan/Pegawai melakukan kecurangan
bertujuan untuk keuntungan individu, misalnya salah saji yang berupa
penyalahgunaan aktiva (misstatements arising from misappropriation of assets).
4. Korupsi merupakan salah satu tipologi dari Fraud, sehingga tidaklah salah apabila
dikatakan bahwa Fraud mempunyai lingkup yang lebih luas daripada korupsi, dan
Fraud merupakan induk dari korupsi. Yang jelas adalah perbuatan Fraud tidak
perlu memenuhi unsur perbuatan melawan hukum sudah dapat dikatakan Fraud
bila memenuhi unsur-unsur fraud, sedangkan korupsi atau tindak pidana korupsi
harus memenuhi salah satu unsur yaitu merupakan perbuatan melawan hukum.


Referensi :
1. Black Law Dictionary, Second Edition;
2. Wikipedia (en.wikipedia.org);
3. Kamus Hukum (Edisi Lengkap);
4. UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana;
5. United Nation Convention Againts Corruption (UNCAC) - telah diratifikasi dengan UU No. 7 Tahun
2006;
6. Amrizal, SE, Ak. MM, CFE., “Membangun Kultur Dan Etika Internal Organisasi Yang Anti Kecurangan”,
BPKP, 2004;
7. Manual Investigation, Association of Certified Fraud Examiners, 2000;
8. Amrizal, SE, Ak. MM, CFE., “Pencegahan Dan Pendeteksian Kecurangan Oleh Internal Auditor”, BPKP,
2004;
9. Riduan Simanjuntak, Ak., MBA, CISA, CIA., “Kecurangan: Pengertian dan Pencegahan”, diunduh dari
www.asei.co.id/internal/docs/Asei-Kecurangan.doc; tanggal 14 Oktober 2008;
10. Bambang Suhermadi, “Management Fraud”, diunduh dari http://internal.dsuc.co.id/management-
fraud, Submitted by Bambang Suhermadi on Fri, 2006-09-29 08:09.





Sie Infokum – Ditama Binbangkum





14





11. Viraguna Bagoes Oka, Deputi Direktur Pengawasan Bank Bank Indonesia, “Bank Fraud, Apa dan
Mengapa Masih Terjadi”, diunduh dari KCM (Kompas Cyber Media) Kamis, 14 Oktober 2004,
http://64.203.71.11/kompas-cetak/0410/14/ekonomi/1325243.htm;
12. Gregory W. Sullivan, “Guide to Developing and Implementing Fraud Prevention Programs”, Office of
The Inspector General Commonwealth of Massachusetts, 2005;
13. Association of Certified Fraud Examiners (CFE), “2004 Report to The Nation on Occupational Fraud and
Abuse”, 2004;
14. BPKP, “Laporan Hasil Penelitian Etika Dan Kewaspadaan Terhadap Fraud Dalam Pemerintahan: Suatu
Upaya Membangun Etika Untuk Mencegah Fraud Pada Pemerintah Daerah”, diunduh dari
http://www.bpkp.go.id/index.php?idunit=11&idpage=599.
























































































































0 komentar:

Posting Komentar