Jilid 1
PERBANDINGAN KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG KdRT DENGAN KETENTUAN PASAL 352 KUHP
DALAM RANGKA PENANGGULANGAN KdRT
Oleh
Pipit Yuniarti Sari
Kekerasan dalam rumah tangga (KdRT) merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan kejahatan terhadap harkat dan martabat manusia. Dikatakan demikian, karena beberapa instrument internasional di bidang HAM, seperti Pernyataan Sedunia Tentang HAM (Declaration of Human Right) (UDHR), Perjanjian Internasional Civil dan Politik (The International Covenant on Civil and Political Right) (ICCPR), dan Konferensi Tentang Penghapusan Kekerasan dan Human Yang merendahkan Martabat Manusia (Convention Againts Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment) (CAT) dengan tegas menyatakan, bahwa segala bentuk kekerasan, baik fisik maupun mental adalah dilarang dan bertentangan dengan HAM.
Kekerasan dalam rumah tangga sering terjadi dalam masyarakat, dan ini adalah bentuk ketidak adilan gender yang biasa terjadi. Pada mulanya, kekerasan terhadap perempuan hanya dimaknai sebagai bentuk kekerasan seksual secara fisik oleh laki-laki terhadap perempuan sebagai perwujudan budaya patriarkhi yang memposisikan laki-laki sebagai pihak yang dominan terhadap perempuan yang subordinan. Namun, seiring dengan dinamika perkembangan gerakan feminis yang menyuarakan pengaruh utama gender. Pemahaman Kekerasan dalam Rumah tangga (KdRT) tidak hanya dipahami sebagai kekerasan seksual, tetapi juga dipahami sebagai kekerasan mental psikologis dan social pelaku maupun korban.
Ketentuan KUHP Bab XIV tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Bab XX tentang Penganiayaan, kemudian membandingkannya dengan ketentuan pidana dalam UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, ternyata, kecuali tindak pidana yang ditentukan dalam Pasal 45 dan Pasal 49, semua tindak pidana yang diatur dalam UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT telah ditentukan sebagai tindak pidana dalam KUHP.
Tindak pidana berupa kekerasan fisik yang ditentukan dalam Pasal 44 UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, telah diatur dalam KUHP Bab XX tentang Penganiayaan. Sedangkan tindak pidana berupa kekerasan seksual yang ditentukan dalam Pasal 46, Pasal 47, dan Pasal 48 UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, telah diatur dalam KUHP Bab XIV tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan. Adapun tindak pidana penelantaran rumah tangga yang ditentukan dalam Pasal 49 UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, sekalipun tidak ditentukan sebagai tindak pidana, tetapi di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disingkat UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan), hal tersebut telah diatur sebagai perbuatan yang tidak melaksanakan kewajiban.
Penelusuran lebih dalam terhadap ketentuan pidana dalam UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, khususnya ketentuan Pasal 44 ayat(1) dan ayat(4) juncto Pasal 51 dibandingkan dengan ketentuan Pasal 352 ayat(1) KUHP, maka pengesahan UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, justru membebaskan pelaku tindak pidana kekerasan fisik dari pertanggungjawaban pidana, yang oleh KUHP dituntut pertanggungjawabannya., Pasal 352 ayat (1) KUHP menentukan semua perbuatan kekerasan fisik adalah tindak pidana penganiayaan, yang merupakan tindak pidana biasa, tetapi Pasal 44 ayat (1) dan ayat (4) juncto Pasal 51 Pasal 44 ayat (1) dan ayat (4) juncto Pasal 51 UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT justru menjadikannya sebagai delik aduan apabila dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menitikberatkan pada kebijakan hukum pidana dan pendapat kalangan hukum mengenai perbedaan kontradiksi tentang penghapusan KdRT. Hal inilah yang coba penulis angkat sebagai pokok permasalahan dalam penulisan skripsi ini.
Jilid 2
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Kekerasan dalam rumah tangga telah menjadi wacana tersendiri dalam
keseharian. Perempuan dan juga anak sebagai korban utama dalam kekerasan dalam
rumah tangga, mutlak memerlukan perlindungan hukum. Saat ini RUU mengenai
kekerasan dalam rumah tangga sedang dalam tahap penggodokan. Lahirnya RUU ini
berawal dari inisiatif LBH Advokasi untuk Perempuan Indonesia dan Keadilan
(APIK) bersama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lainnya yang
tergabung dalam Jaringan Kerja Advokasi Anti Kekerasan Terhadap Perempuan
(Jangka PKTP) untuk menyiapkan RUU anti KDRT. RUU anti KDRT ini telah
disiapkan oleh LBH APIK dan Jangka PKTP sejak tahun 1998 melalui dialog publik.
Persiapan ini memang termasuk lama mengingat isu KDRT masih kurang dikenal
oleh masyarakat dan diragukan oleh kalangan tertentu.
Menurut LBH APIK tujuan dari RUU ini adalah untuk menghilangkan atau
meminimalis tindak pidana KDRT. Dari fakta yang terjadi di lapangan, pihak yang
sering menjadi korban dalam persoalan KDRT berjenis kelamin perempuan dan
anak-anak. Jumlah korban KDRT mengalami peningkatan dari hari ke hari. Namun
ironisnya penegakan hukum untuk pencapaian keadilan bagi si korban juga
menunjukan angka yang berbanding terbalik dengan jumlah angka korban tersebut.
Selain itu RUU anti KDRT juga bertujuan menjaga keutuhan rumah tangga,
dimana keutuhan rumah tangga dapat terjadi jika setiap anggota keluarga menyadari
hak dan kewajibannya masing-masing/tidak ada satu anggota keluarga yang bisa
melakukan kesewenang-wenangan. Keutuhan yang dimaksudkan disini artinya
posisi yang sama antara sesama anggota keluarga, posisi yang seimbang antara istri
dengan suami dan anak dengan orang tua dan tidak ada satu pihak yang merasa
tersubordinat dengan pihak yang lain.
Adalah hal yang tidak benar jika keberadaan RUU ini diartikan untuk
mencabik-cabik atau meruntuhkan keluarga sehingga bercerai-berai. LBH APIK
menganggap bahwa isu RUU anti KDRT merupakan satu hal/kondisi yang perlu
dicermati dan dikritisi, karena salah satu fungsi UU adalah menjadi satu pagar
anggota masyarakat agar tidak semena-mena terhadap orang lain. Tidak dapat
dibayangkan jika Indonesia tidak memiliki RUU anti KDRT, mungkin akan semakin
banyak orang terluka atau bahkan meninggal karena dianiaya dalam keluarganya
dan akhirnya melahirkan generasi-generasi bangsa yang tidak sehat. RUU anti
KDRT mempunyai tujuan untuk membentuk keluarga dan bangsa yang sehat.
Keberadaan RUU ini merupakan bentuk antisipasi yang sebenarnya agar masyarakat
mengetahui bahwa negara tidak menginginkan, tidak menyetujui dan menghukum
orang yang melakukan kekerasan.
Konsep KDRT mungkin belum dikenal oleh masyarakat secara luas.
Pengertian KDRT menurut RUU anti KDRT adalah segala bentuk, baik kekerasan
secara fisik, secara psikis, kekerasan seksual maupun ekonomi yang pada intinya
mengakibatkan penderitaan, baik penderitaan yang secara kemudian memberikan
dampak kepada korban, seperti misalnya mengalami kerugian secara fisik atau bisa
juga memberikan dampak korban menjadi sangat trauma atau mengalami
penderitaan secara psikis.
KDRT juga diistilahkan dengan kekerasan domestik. Dengan pengertian
domestik ini diharapkan memang tidak melulu konotasinya dalam satu hubungan
suami istri saja, tetapi juga setiap pihak yang ada di dalam keluarga itu. Jadi bisa saja
tidak hanya hubungan suami istri, tapi juga hubungan darah atau bahkan seorang
pekerja rumah tangga menjadi pihak yang perlu dilindungi. Selama ini seringkali
kita mendengar atau membaca di koran, tv atau radio bahwa pembantu sering
menjadi korban kekerasan. Kasus kekerasan terhadap pembantu rumah tangga
tersebut seringkali diselesaikan dengan menggunakan pasal-pasal dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Namun pada prakteknya hal itu menjadi
tidak terlihat karena memang status mereka yang rentan mendapatkan perlakuan-
perlakuan kekerasan. Oleh karena itu RUU anti KDRT atau anti kekerasan domestik dibuat agar dapat menjangkau pihak-pihak yang tidak hanya dalam hubungan suami
istri, tapi juga pihak lain.
Persoalan KDRT merupakan fenomena gunung es yang hanya kelihatan
puncaknya sedikit tetapi sebetulnya tidak menunjukan fakta yang valid. Persoalan
KDRT banyak terjadi di keluarga, namun umumnya keluarga korban tidak
mempunyai ruang atau informasi yang jelas apakah persoalan keluarga mereka layak
untuk dibawa ke pengadilan, karena selama ini masyarakat menganggap bahwa
persoalan-persoalan KDRT adalah persoalan yang sifatnya sangat pribadi dan hanya
diselesaikan dalam lingkup rumah tangga saja.
Salah satu konsekuensi meningkatnya jumlah korban KDRT (khususnya dari
kelompok korban yang berstatus istri) sebenarnya sangat berakibat terhadap
persoalan rumah tangga mereka sendiri. Jika kasus-kasus KDRT pada akhirnya
menimbulkan dampak traumatic pada anggota keluarga yang lain dan meningkatkan
angka kriminalitas maka hal itu akan semakin menguatkan perlunya intervensi
negara melalui produk UU agar kelompok korban bisa mendapatkan keadilan dan
pelaku ataupun calon pelaku tidak semakin merajalela.
Selama ini KDRT selalu diindikasikan sebagai salah satu bentuk delik aduan.
Padahal sebenarnya apabila dilihat dalam Pasal 351 KUHP (tentang penganiayaan)
dan Pasal 356 KUHP (pemberatan) sama sekali tidak mensyaratkan adanya satu delik
aduan. Hanya saja masyarakat (khususnya aparat penegak hukum) selalu
menganggap jika suatu kasus berkaitan dengan keluarga maka selalu dinyatakan
sebagai delik aduan, padahal kasus itu sebenarnya adalah sebuah kejahatan murni.
Kalaupun misalnya di belakang hari nanti korban melakukan pencabutan aduan,
seharusnya polisi bersikap tegas dengan menganggap bahwa apa yang dilaporkan itu
memang sebagai suatu bentuk kejahatan dan harus ditindaklanjuti ke pengadilan.
Hal ini memang menjadi kendala yang sangat umum sekali dalam persoalan
KDRT, karena kelompok korban memang tidak bisa menyatakan secara berani
bahwa ini adalah sebuah kejahatan yang harus ditindaklanjuti dengan proses hukum. Ketidakberanian korban sangat berkaitan erat dengan budaya yang berlaku di
Indonesia, yaitu budaya patriarki yang sangat kental yang seringkali melihat bahwa
masalah KDRT bisa diselesaikan tanpa harus melalui jalur hukum. Ironisnya, pilihan
untuk menyelesaikan persoalan KDRT tanpa melalui jalur hukum selalu
disampaikan oleh aparat penegak hukum sendiri. Padahal aparat penegak hukum
sebetulnya sangat mengetahui bahwa persoalan KDRT adalah kejahatan yang harus
direspon dengan hukum.
KDRT memang tidak bisa dilepaskan secara murni sebagai satu bentuk
kejahatan tanpa harus disandingkan dengan satu bentuk hubungan keluarga. Hal itu
merupakan hal yang sangat dilematis dan hal itu juga disadari oleh korban,
khususnya oleh kelompok istri yang misalnya datang ke LBH APIK. Para istri yang
menjadi korban KDRT yang datang ke LBH APIK umumnya memang tidak bisa
kemudian secara gagah berani mengatakan bahwa dirinya akan melaporkan
suaminya. Hal itu membutuhkan satu proses konseling yang cukup lama. LBH APIK
pun tidak bisa memaksakan hal itu. Artinya LBH APIK memang akan
menyampaikan beberapa pilihan. Sebagai contoh, jika dia mau melakukan pelaporan
maka LBH APIK akan menyampaikan konsekuensi dari setiap tindakan tersebut.
Terkadang LBH APIK juga menyebutkan “jalur aman” menempuh jalur hukum
perdata yaitu dengan mengajukan gugatan. Umumnya para korban tersebut
memang memilih melakukan gugatan karena dianggapnya sebagai jalur yang tidak
berkonflik dibandingkan dengan jalur pidana yang dampaknya lebih jauh
(pelaku/suami korban kemungkinan akan dipidana penjara).
Secara umum RUU KDRT banyak mendapatkan dukungan dari masyarakat.
Sebagai contoh dengan adanya RPK di kepolisian secara tidak langsung menjadikan
polwan-polwan yang bertugas di RPK sangat mengetahui bagaimana kendala dan
langkah-langkah yang harus dilakukan untuk menindaklanjuti kasus KDRT. Dari
pihak kejaksaan maupun kehakiman persoalannya juga tidak jauh berbeda, yaitu
lebih kepada segi hukumnya. Terlebih lagi hakim, karena mempunyai kewenangan yang sangat luas untuk memutuskan hukuman apa yang tepat untuk pelaku. Hal yang menjadi kendala disini adalah budaya patrilineal seperti yang sudah dijelaskan
di atas, sehingga meskipun hukumnya sudah ada dan secara tegas melarang hal itu,
namun pada kenyataannya ketika sampai di pengadilan hukuman yang dijatuhkan
oleh hakim hanya hukuman percobaan. Artinya secara tidak langsung tidak ada
upaya dari aparat penegak hukum untuk menegakan hukum dengan maksimal,
meskipun diakui bahwa dalam RUU anti KDRT masalah sanksi atau penghukuman
tidak dilihat sebagai suatu balasan terhadap pelaku melainkan juga harus melihat
pada manfaat yang diberikan kepada korban, karena dalam RUU anti KDRT korban
tidak hanya sebagai objek tapi juga sebagai subjek pertimbangan dalam
penghukuman.
RUU anti KDRT membagi ruang lingkup KDRT menjadi 3 bagian hubungan,
yaitu pertama, hubungan garis keturunan darah (misalnya anak); kedua, hubungan
suami istri; ketiga, hubungan orang yang bekerja di dalam lingkup dalam keluarga
tersebut/tidak punya hubungan sama sekali. Dari hasil penelitian LBH APIK
ditemukan bahwa KDRT dapat terjadi di segala tingkatan ekonomi. Kelompok yang
rentan menjadi korban KDRT adalah istri, anak dan pembantu rumah tangga.
Secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa siapa saja bisa sangat rentan
mendapatkan kekerasan asalkan ia berjenis kelamin perempuan. Namun tidak
menutup kemungkinan suami mendapatkan perlakuan kekerasan dari istrinya.
KDRT juga mungkin saja dilakukan oleh ibu kandung terhadap anak kandungnya
sendiri. Hal itu juga telah diantisipasi dalam RUU KDRT, karena seperti telah
dijelaskan di atas, ruang lingkup KDRT adalah kekerasan domestik. Artinya
hubungan perkawinan yang tidak hanya dilihat dari segi hukum negara, tapi juga
dari hukum adat atau agama (termasuk nikah dibawah tangan dan hidup bersama).
Oleh karena itu yang dilindungi tidak hanya istri, tapi juga anak, pasangan hidup
dan pembantu rumah tangga
Dalam RUU anti KDRT kekerasan dibagi 4 macam, yaitu :
memukul dengan menggunakan alat tubuh atau alat bantu dan bisa dideteksi
dengan mudah dari hasil visum)
b. Kekerasan psikis;
c. Kekerasan ekonomi (dalam KUHP disebut penelantaran orang-orang yang wajib
ditolong);
d. Kekerasan seksual (dalam KUHP disebut delik kesusilaan, namun di KUHP tidak
dikenal kekerasan seksual terhadap istri);
RUU anti KDRT mengenal kekerasan seksual/marital rape terhadap istri. Hal
ini akan terlihat janggal karena kerangka yang dipakai adalah perkawinan sebagai
satu bentuk yang melegitimasi apapun bentuk interaksi antara suami istri. Sebagai
contoh “Apa benar dalam suatu hubungan suami istri itu ada perkosaan, karena
kalau yang namanya istri itu kan hukumnya wajib melayani suami, jadi tidak ada
yang namanya kekerasan, paksaan, karena memang harus”. Hal itulah yang
sebenarnya menarik untuk kemudian dilihat kembali karena ternyata menimbulkan
perbedaan-perbedaan.
Sedangkan untuk pembuktian, pembuktian dalam RUU anti KDRT tidak
hanya (mau) melihat pembuktian dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara
Piadana (KUHAP). Oleh sebab itu RUU anti KDRT tidak hanya mengatur hukum
materilnya saja, tapi juga mengatur hukum acaranya (kecuali jika ada hal hal
tertentu yang tidak diatur dalam RUU anti KDRT maka akan menggunakan
KUHAP). RUU anti KDRT memungkinkan satu alat bukti (keterangan sanksi atau
alat bukti lainnya) sebagai pembuktian yang dirasa cukup. Namun hal ini perlu
didiskusikan lebih lanjut karena masih mengundang perdebatan, terutama dari pihak
aparat penegak hukum. Untuk itu perlu segera dicari jalan keluar terhadap masalah
pembuktian ini di tengah keterbatasan alat bukti dengan tidak menghilangkan
kaedah-kaedah hukum yang ada.
Hal lainnya yang terdapat dalam RUU anti KDRT adalah adanya saksi
pendamping dan perintah perlindungan. Perintah perlindungan disini artinya
seorang korban bisa mendapatkan satu bentuk perlindungan sampai kemudian
pokok perkaranya atau laporannya ditindaklanjuti. Dalam perintah perlindungan
terdapat larangan-larangan yang harus ditaati oleh pelaku, misalnya larangan untuk
mendekati korban, larangan untuk menghubungi korban. Larangan-larangan itu
merupakan hal yang baru dalam khazanah hukum Indonesia.
Keberadaan RUU anti KDRT (yang nantinya diharapkan akan disahkan
menjadi sebuah UU) akan menjadi tidak efektif jika tidak didukung oleh aparat
penegak hukum, karena penegakan sebuah UU sangat tergantung dari perilaku
aparat penegak hukum. Harapannya, setelah RUU anti KDRT disahkan menjadi UU,
harus ada sosialisasi baik kepada masyarakat maupun kepada aparat penegak hukum.
Dan sosialisasi ini juga telah dimulai sejak digulirkannya isu KDRT oleh LBH APIK
dan Jangka PKTP. Sosialisasi yang telah dilaksanakan oleh LBH APIK dan Jangka
PKTP dimulai sejak tahun 1999. Sosialisasi dilakukan melalui seminar atau semiloka
(seminar-lokakarya) terbuka (tidak terbatas kepada jenis kelamin perempuan saja).
Dari seminar dan semiloka yang dihadiri oleh berbagai perwakilan kelompok yang
berdekatan dengan isu KDRT, misalnya kelompok agamawan (kelompok laki-laki
biasanya masuk dalam kelompok agamawan, karena biasanya pembenaran kelompok
laki-laki lahir dari dalil-dalil agama), kelompok aparat penegak hukum dan
kelompok korban akan lahir masukan-masukan terhadap RUU anti KDRT.
Sejak awal sosialisasi dan hingga saat ini kontroversi terhadap RUU anti
KDRT tetap ada, namun LBH APIK optimis bahwa kekuatan anti KDRT akan
semakin banyak dan RUU anti KDRT dapat menjadi sebuah UU. LBH APIK juga
menyadari bahwa akan ada kelompok-kelompok yang tidak setuju terhadap RUU
anti KDRT ini. Tapi hal itu tidak menyurutkan langkah LBH APIK, karena LBH
APIK bergerak atas kepentingan kelompok mayoritas yang memang membutuhkan.
Untuk kasus kekerasan terhadap perempuan, misalnya kasus perkosaan, maka
penangannya harus dilakukan dengan hati-hati, mengingat perkosaan merupakan
kasus yang sensitif. Sebelum melaporkan kasus perkosaan yang terjadi dalam rumah
tangga, maka terlebih dahulu harus ada pembicaraan dengan korban yang
bersangkutan. Artinya harus ada proses konseling lebih dulu. Apalagi jika perkosaan
itu telah berlangsung selama bertahun-tahun yang tentunya akan berdampak secara
psikologis kepada korban. Setelah perkosaan tersebut dilaporkan ke polisi tentu akan
ada yang namanya beban pembuktian. Polisi akan mengajukan surat untuk visum
agar korban diperiksa di Rumah Sakit untuk mengetahui apakah dengan perlakuan
yang sudah dialami korban telah mengakibatkan kerusakan pada alat vital vagina
korban. Dalam kasus-kasus kekerasan seksual, yang dilihat tidak hanya kerusakan
dari alat vital korban saja, tapi juga dampak traumatis yang ditimbulkan terhadap
korban.
Selain itu perlu juga dipikirkan keselamatan korban (terutama jika korban
tinggal satu rumah dengan pelaku). Unutk itu LBH APIK menyediakan rumah aman
atau shelter kepada korban KDRT sehingga memungkinkan si korban atau saksi
untuk sementara waktu tinggal di situ sambil melakukan konseling terus menerus.
Pendirian rumah aman atau shelter ini didasari pertimbangan bahwa ketika kasus
tersebut dilaporkan dan kemudian ditindaklanjuti sampai diputus oleh pengadilan
bagi korban umumnya akan tetap meninggalkan persoalan-persoalan yang
menyangkut psikis yang harus diselesaikan. Selain rumah aman atau shelter yang
didirikan oleh LBH APIK, sejak tahun 2000 yang lalu juga kepolisian RI juga telah
membuka unit untuk kelompok perempuan dan anak korban kekerasan berupa
Ruang Pelayanan Khusus (RPK) yang sudah terdapat di setiap tingkatan kepolisian
di 5 wilayah DKI Jakarta.
Delik, 21 April 2003
Narasumber:
Vony Reynata (Direktur LBH APIK Jakarta)
Jilid 3
CERAI GUGAT AKIBAT KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
(Studi kasus di Pengadilan AgamaSurakarta)
A. Latar Belakang Masalah
BAB I
PENDAHULUAN
Perkawinan merupakan hal yang sakral bagi manusia yang menjalaninya,
tujuan perkawinan diantaranya untuk membentuk sebuah keluarga yang harmonis
yang dapat membentuk suasana bahagia menuju terwujudnya ketenangan,
kenyamanan bagi suami isteri serta anggota keluarga. Islam dengan segala
kesempurnanya memandang perkawinan adalah suatu peristiwa penting dalam
kehidupan manusia, karena Islam memandang perkawinan merupakan kebutuhan
dasar manusia, juga merupakan ikatan tali suci atau merupakan perjanjian suci
antara laki-laki dan perempuan. Di samping itu perkawinan adalah merupakan
sarana yang terbaik untuk mewujudkan rasa kasih sayang sesama manusia dari
padanya dapat diharapkan untuk melestarikan proses historis keberadaan manusia
dalam kehidupan di dunia ini yang pada akhirnya akan melahirkan keluarga
sebagai unit kecil sebagai dari kehidupan dalam masyarakat1.
Perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia tak lepas dari
kondisi lingkungan dan budaya dalam membina dan mempertahankan jalinan
hubungan antar keluarga suami isteri. Tanpa adanya kesatuan tujuan tersebut
berakibat terjadinya hambatan-hambatan pada kehidupan keluarga, yang akhirnya
dapat menjadi perselisihan dan keretakan dalam tubuh keluarga.
1 .Djamal Latief, H. M SH , Aneka Hukum Peceraian Di Indonesia, Jakarta : Ghalia Indonesia.1982, Hal 12
Di era kemajuan sekarang ini, semakin banyak persoalan-persoalan baru
yang melanda rumah tangga, semakin banyak pula tantangan yang di hadapi
sehingga bukan saja berbagai problem yang dihadapi bahkan kebutuhan rumah
tangga semakin meningkat seiring kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Akibatnya tuntutan terhadap setiap pribadi dalam rumah tangga untuk memenuhi
kebutuhan semakin jelas dirasakan. Kebutuhan hidup yang tidak terpenuhi akan
berakibat menjadi satu pokok permasalahan dalam keluarga, semakin lama
permasalahan meruncing sehingga dapat menjadikan kearah perceraian bila tidak
ada penyelesaian yang berarti bagi pasangan suami isteri. Era globalisasi
merupakan pendukung kuat yang mempengaruhi perilaku masyarakat dan kuatnya
informasi dari barat lewat film atau media massa berpengaruh terhadap alasan
pernikahan dan perceraian. Budaya semacam ini secara tidak langsung sudah
menujukan adanya sikap masyarakat Indonesia saat ini yang memandang bahwa
sebuah perkawinan bukan hal yang sakral. Dampak dari krisis ekonomi pun turut
memicu peningkatan perceraian. Dimulai dengan kondisi masyarakat yang
semakin terbebani dengan tingginya harga kebutuhan, banyaknya kasus
pemutusan hubungan kerja oleh banyak perusahan, penurunan penghasilan
keluarga, meningkatnya kebutuhan hidup dan munculah konflik keluarga.
Kemudian kondisi ini diperparah dengan maraknya tontonan perceraian di
kalangan artis dan tokoh masyarakat, pola budaya masyarakat Indonesia yang tak
pernah lepas dari sosok penuntun atau tokoh akan semakin beranggapan bahwa
perceraian bukan hal lagi hal tabu yang selayaknya dihindari.
Perceraian pada hakekatnya adalah suatu proses dimana hubungan suami
isteri tatkala tidak ditemui lagi keharmonisan dalam perkawinan. Mengenai
definisi perceraian undang-undang perkawinan tidak mengatur secara tegas,
melainkan hanya menetukan bahwa perceraian hanyalah satu sebab dari putusnya
perkawinan, di samping sebab lain yakni kematian dan putusan pengadilan.
Soebakti SH mendefinisikan perceraian adalah
“Perceraian ialah penghapusan perkawinan karena keputusan hakim atau
tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan.”2
Dengan berlakunya UU Nomor 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum
Islam, dimana peraturan itu juga dijadikan sebagai hukum positif di Indonesia,
maka terhadap perceraian diberikan pembatasan yang ketat dan tegas baik
mengenai syarat-syarat untuk bercerai maupun tata cara mengajukan perceraian,
Hal ini di jelaskan dengan ketentuan pasal 39 UU No 1 Tahun 1974 yaitu:
1. “Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan setelah
pengadilan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak .”
2. “Untuk melakukan perceraian harus cukup alasan bahwa antara suami
isteri tidak akan dapat hidup rukun lagi sebagai suami isteri.”
3. “Tata cara di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturan sendiri.”
Ketentuan pasal 115 Kompilasi Hukum Islam yaitu :
“ Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah
Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua
belah pihak”
Jadi dari ketentuan di atas jelaslah bahwa undang-undang perkawinan
pada prinsipnya memperketat terjadinya perceraian, dimana menentukan
2 Soebekti SH. Prof, Pokok-Pokok Hukum Perdata,. Cet XX1: PT Inter Massa, 1987, hal. 247
perceraian hanya dapat dilaksanakan dihadapan sidang pengadilan, juga harus
disertai alasan-alasan tertentu untuk melakukan perceraian. Putusnya
perkawinan itu dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian
maka dari berbagi peraturan tersebut dapat di ketahui ada dua macam
perceraian yaitu cerai gugat dan cerai talak
Cerai talak hanya berlaku bagi mereka yang beragama Islam dan di ajukan
oleh pihak suami. Cerai talak adalah istilah yang khusus digunakan
dilingkungan Peradilan Agama untuk membedakan para pihak yang
mengajukan cerai. Dalam perkara talak pihak yang mengajukan adalah suami
sedangkan cerai gugat pihak yang mengajukan adalah isteri. Sebagaimana
disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 114 bahwa :
“Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi
karena talak ataupun berdasarkan gugatan perceraian.”
Sehubungan dengan latar belakang tersebut penulis berkeinginan untuk
melakukan penelitian mengenai cerai gugat akibat kekerasan dalam rumah
tangga di wilayah kota Surakarta, di mana akhir-akhir ini banyak sekali kasus
perceraian dengan alasan tersebut yang seringkali merugikan pihak dari isteri
karena tindakan dari suaminya. Pengajuan gugatan cerai dari isteri dengan
alasan kekerasan dalam rumah tangga ini di benarkan oleh Undang-undang
perkawinan yaitu di atur dalam pasal 19 huruf (d) Undang-undang No 1 Tahun
1974 Jo pasal 116 huruf (d) Kompilasi Hukum Islam dan pada dasarnya
Undang-undang perkawinan mengatur dan menentukan tentang alasan-alasan
yang dapat digunakan untuk mengajukan perceraian, yaitu :
1) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi
dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
2) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-
turut tanpa alasan yang sah atau karena alasan yang lain diluar
kemampuannya.
3) Salah satu pihak mendapat pihak mendapat hukuman penjara selama 5
(lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan
berlangsung.
4) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain.
5) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajiban sebagai suami atau istri.
6) Antara suami-istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkeran dan
tidak ada harapan lagi untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Agar penulisan ini tidak menyimpang dari skripsi maka penulis membatasi
hanya mengenai percerian yang di sebabkan karena salah satu pihak
melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak
lain. Perkawinan kadangkala tidak sesuai dengan tujuan semula, ketidak
mengertian dan kesalahpahaman masing-masing pihak tentang peran, hak dan
kewajibanya membuat perkawinan tidak harmonis lagi. Hal ini dapat memicu
pertengkaran yang terus menerus, akhirnya salah satu pihak melakukan
tindakan kekerasaan, melukai fisik atau psikis.
Korban kekerasan dalam rumah tangga umumnya adalah perempuan atau
isteri yang notabene mempunyai fisik yang lemah di bandingkan dengan
suaminya. Tetapi banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga yang tidak
melaporkan nasibnya kepada yang berwenang, salah satu sebabnya adalah
ketergantungan korban terhadap pelaku baik secara ekonomi maupun sosial.
Kekerasan dalam rumah tangga ini biasanya di sebabkan oleh faktor tidak
siapnya pasangan dalam menempuh kehidupan berumah tangga yang
kemudian di salurkan ke dalam kehidupan rumah tangga, dan seringkali yang
menjadi korban adalah dari pihak isteri dan anak-anaknya3.
Kekerasan dalam rumah tangga menurut pasal 1 ayat 1 undang-undang
No. 23 tahun 2004, tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
menyatakan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah ; “setiap perbuatan
terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya
kesengsaraan, atau penderitaan secara fisik, seksual psikologis, dan/atau
penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam
lingkup rumah tangga
Adapun bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga seperti yang disebut di atas
dapat dilakukan suami terhadap anggota keluarganya dalam bentuk : 1)
Kekerasan fisik, yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat ; 2)
Kekerasan psikis, yang mengakibatkan rasa ketakutan, hilangnya rasa percaya
diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dll.
3).Kekerasan seksual, yang berupa pemaksaan seksual dengan cara tidak
wajar, baik untuk suami maupun untuk orang lain untuk tujuan komersial, atau
tujuan tertentu ; dan 4). Penelantaran rumah tangga yang terjadi dalam lingkup
rumah tangganya, yang mana menurut hukum diwajibkan atasnya. Selain itu
penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan
ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk
bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah, sehingga korban berada di
bawah kendali orang tersebut. Sehingga dengan alasan kekerasan di dalam
3 Noelle Nelson,”Bagaimana Mengenali dan Merspon Sejak Dini Gejala Kekerasan Dalam
Rumah Tangga, : Gramedia, 2006, hal : 6
rumah tangga itu maka pihak isteri mengajukan gugatan ke pengadilan Agama
untuk memutuskan ikatan tali perkawainan tersebut.
Sejak di berlakukanya UU No. 7 tahun 1989 kemudian dirubah UU No 3
tahun 2006 tentang Peradilan Agama maka ketentuan tentang tata cara
mengajukan cerai talak dan cerai gugat bagi mereka yang beragama islam
yang dilakukan di Pengadilan Agama, telah diatur dalam Undang-undang ini.
Dimana ketentuan tersebut tercantum dalam pasal 66 sampai pasal 86, dan
dengan diberlakukanya Undang-undang Peradilan Agama tersebut berarti
mencabut ketentuan dalam pasal 63 ayat 2 UU No.1 tahun 1974 dimana isinya
menyebutkan bahwa “Setiap keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan oleh
peradilan umum.”
Dengan diberlakukan Undang-undang tentang Peradilan Agama tersebut
maka Pengadilan Agama itu mempunyai Kompetensi Absolut dan Kompetensi
Relatif, untuk memberikan pelayanan hukum dan keadilaan dalam bidang
hukum keluarga dan harta pekawinan bagi orang-orang yang beragama islam
antara lain adalah mengenai perceraian.
Perceraian yang dilakukan di muka pengadilan lebih menjamin
persesuainya dengan pedoman Islam tentang perceraian, sebab sebelum ada
keputusan terlebih dulu diadakan penelitian tentang apakah alasan-alasanya
cukup kuat untuk terjadi perceraian antara suami isteri, kecuali itu
dimungkinkan pula pengadilan bertindak sebagai hakam sebelum mengambil
keputusan bercerai antara suami isteri.
Berdasarkan hal-hal tersebut maka penulis mencoba untuk menijau lebih
jauh melalui penulisan skripsi dengan Judul “CERAI GUGAT AKIBAT
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (Studi kasus di Pengadilan
Agama Surakarta)”
B. Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah dalam penelitian ini perlu dilakukan agar
pembahasanya tidak terlalu luas dan tidak menyimpang dari pokok
permasalahan disamping itu juga untuk mempermudah melaksanakan
penelitian. Oleh sebab itu maka penulis membatasi dengan membahas
permasalahan tentang pertimbangan hakim dalam memutus perkara cerai
gugat akibat kekerasan dalam rumah tangga di Pengadilan Agama Surakarta
dan factor-faktor penyebab adanya kekerasan dalam rumah tangga.
C. Perumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang masalah tersebut di atas maka terdapat beberapa
pokok permasalahan yang dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Faktor-Faktor Apasaja Yang Menyebabkan Salah Satu Pihak Melakukan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga ?
2. Bagaimanakah Pertimbangan Hakim Dalam Menyelesaikan Perkara Cerai
Gugat Akibat Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Pengadilan Agama
kota Surakarta.?
D. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.Untuk mengetahui Faktor-faktor apasaja yang menyebabkan salah satu
pihak melakukan kekerasan dalam rumah tangga
2. Untuk mendiskripsikan pertimbangan hakim dalam menyelesaikan perkara
cerai gugat akibat kekerasan dalam rumah tangga di Pengadilan Agama kota
Surakarta
E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
Diharapakan dari penulisan skripsi ini dapat menambah konstribusi
pengetahuan tentang cerai gugat akibat kekerasan dalam rumah tangga.dan
juga pertimbangan Hakim dalam memutuskan suatu perkara cerai gugat
sekaligus memperkaya teori kepustakaan hukum khususnya hukum Islam dan
Hukum Acara Peradilan Agama.
2. Manfaat Praktis
Sebagai bahan pertimbangan dalam upaya pemecahan masalah yang di hadapi
oleh Pengadilan Agama dalam penyelesaian kasus cerai gugat karena
kekerasan dalam rumah tangga khususnya di wilayah hukum Surakarta.
F. Metode Penelitian
Untuk mengetahui dan penjelasan mengenai adanya segala sesuatu yang
berhubungan dengan pokok permasalahan di perlukan suatu pedoman penelitian
yang disebut metodologi penelitian yaitu cara melukiskan sesuatu dengan
menggunakan pikiran secara seksama untuk mencapai suatu tujuan, sedangkan
penelitian adalah suatu kegiataan untuk mencari, merumuskan dan menganalisa
sampai menyusun laporan4
4 Cholid Narbuko, Abu Achmadi, Metode Penelitian, Jakarta : Bumi Pustaka, 1997.
Dengan demikian metodologi penelitian sebagai cara yang dipakai untuk
mencari, merumuskan dan menganalisa sampai menyusun laporan guna
mencapai satu tujuan.Untuk mencapai sasaran yang tepat dalam penelitian
penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut :
1. Metode pendekatan
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan yuridis normatif,
disebut juga penelitian hukum doktinal yaitu hukum dikonsepkan sebagai
apa yang tertulis dalam perundang-undangan atau hukum dikonsepkan
sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia
yang diangap pantas5Dalam penelitian ini yang dicari adalah putusan
pengadilan agama dalam memutuskan perkara cerai gugat akibat
kekerasan dalam rumah tangga
2. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian deskriptif ,
yaitu untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia
keadaan atau gejala lainya6. Metode deksriptif ini dimaksudkan untuk
memperoleh gambaran yang baik, jelas dan dapat memberikan data seteliti
mungkin tentang obyek yang diteliti. Dalam hal ini untuk mendikripsikan
cerai gugat akibat kekerasan dalam rumah tangga.
3. Lokasi Penelitian
Dalam penyusunan penelitian ini Di Pengadilan Agama Surakarta, dengan
pertimbangan lokasi yang mudah dijangkau dan sebagai salah satu pelaku
5 Amirudin Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT Rajagrapindo, 1995,
hal. 38
6 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : UI Pres, 1998: hal. 58
kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilaan yang beragama Islam
mengenai perkara tertentu sebagaimana diatur dalam UU No 3 tahun 2006
tentang perubahan atas UU No 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
4. Sumber Data
a.Data Primer
Merupakan data yang diperoleh langsung dari lapangan oleh sebagai
gejala lainya yang ada di lapangan dengan mengadakan penijuan
langsung pada obyek yang diteliti.
b.Data Sekunder
Merupakan data yang diperoleh melalui studi pustaka yang bertujuan
untuk memperoleh landasan teori yang berumber dari Al-Quran, Al-
Hadist, perundang-undangan, buku literatur, Yursiprudensi dan yang ada
hubunganya dengan materi yang di bahas.
5. Metode Pengumpulan Data
a.Penelitian kepustakaan
Yaitu suatu metode pengumpulan data dengan cara membaca atau
mempelajari buku peraturan perundang-undangan dan sumber
kepustakaan lainya yang berhubungan dengan obyek penelitian7
Metode ini di gunakan untuk mengumpulkan data sekunder mengenai
permasalahan yang ada relavansinya dengan obyek yang di teliti, dengan
cara menelaah atau membaca Al-Quran, Al-Hadist, buku-buku,
7 Hilman Hadikusuma, Pembuatan Kertas Kerja Skripsi Hukum, Bandung : Mandar Maji, 1991
hal. 80
peraturan perundang-undangan, maupun kumpulan literatur yang ada
hubunganya dengan masalah yang di bahas.
b. Penelitian Lapangan
Yaitu metode pengumpulan data dengan cara terjun langsung ke dalam
obyek penelitian.dalam pengumpulan data lapangan ini penulis
menggunakan yaitu:
1.Wawancara
Wawancara adalah suatu bentuk komunikasi verbal jadi semacam
percakapan untuk memperoleh informasi.8
Disini penulis mengumpulkan data dengan cara mengadakan tanya
jawab secara langsung dengan responden terutama informan yang
banyak mengetahui tentang masalah yang diteliti. Dengan ini penulis
mengadakan wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Surakarta
6.Metode Analisa Data
Setelah data di kumpulkan dengan lengkap, tahapan berikutnya adalah
tahap analisa data. Pada tahap ini data akan dimanfatkan sedemikian rupa
sehingga diperoleh kebenaran-kebenaran yang dapat dipakai untuk,
menjawab persoalaan yang diajukan dalam penelitian. Setelah jenis data
yang dikumpulkan maka analisa data dalam penuilsan ini bersifat kualitatif
Adapun metode analisa data yang dipilih adalah model analisa interaktif.
Didalam model analisa interaktif terdapat tiga komponen pokok berupa
a. Reduksi data
8 S.Nasution, Metode Resech, Jakarta : Bumi Aksara 2001 hal 25
Reduksi data adalah sajian analisa suatu bentuk analisis yang
mempertegas, memperpendek, membuat fokus, membuang hal yang tidak
penting dan mengatur sedemikian rupa sehinga kesimpulan akhir dapat
dilakukan
b. Sajian Data
Sajian data adalah suatu rakitan organisasi informasi yang memungkinkan
kesimpulan riset dapat dilakukan dengan melihat suatu penyajian data.
Penelitian akan mengerti apa yang terjadi dan memungkinkan untuk
mengerjakan sesuatu pada anailisis ataupun tindakan lain berdasarkan
pengertian tersebut,
c. Penarikan kesimpulan
Penarikan kesimpulan yaitu kesimpulan yang ditarik dari semua hal yang
terdapat dalam reduksi data dan sajian data. Pada dasarnya makna data
harus di uji validitasnya supaya kesimpulan yang diambil menjadi lebih
kokoh. Adapun proses analisisnya adalah sebagai berikut : Langkah
pertama adalah mengumpulkan data, setelah data terkumpul kemudian
data direduksi artinya diseleksi, disederhanakan, menimbang hal-hal yang
tidak relevan, kemudian diadakan penyajian data yaitu rakitan organisasi
informasi atau data sehingga memungkinkan untuk ditarik kesimpulan.
Apabila kesimpulan yang ditarik kurang mantap kekurangan data maka
penulis dapat melakukan lagi pengumpulan data. Setelah data-data
terkumpul secara lengkap kemudian diadakan penyajian data lagi yang
susunanya dibuat sistematis sehingga kesimpulan akhir dapat dilakukan
berdasarkan data tersebut .
G. Sistematika Penulisan Penelitian
Untuk memberikan gambaran yang jelas tentang arah dan tujuan penulisan
penelitian, maka secara garis besar dapat di gunakan sistematika penulisan
sebagai berikut:
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Perumusan Masalah
C. Pembatasan Masalah
D. Tujuan Penelitian
E. Manfaat Penelitian
F. Metode Penelitian
G. Sisematika Penelitian
BAB II. TINJUAN PUSTAKA
A.Tinjuan Umum Mengenai Perkawinan dan cerai gugat
1. Tinjuan umum mengenai Perkawinan
a. Pengertian Perkawinan
b. Tujuan Perkawinan
c. Rukun Perkawinan
d. Syarat Sahnya Perkawinan
e. Hak dan Kewajiban Suami Isteri dalam Perkawinan
2. Tinjuan umum Mengenai cerai gugat
a. Pengertian cerai gugat
b. Alasan-alasan cerai gugat
c. Akibat-akibat hukum dari cerai gugat
d. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga
e. Faktor-Faktor Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga
e. Sanksi Hukum Pelaku Kekerasan Dalam Rumah Tangga
B. Tinjuan umum tentang Peradilan Agama
1. Kompentensi dan Asas –Asas Umum Peradilan Agama
a. Kompentensi Relatif Peradilan Agama
b. Kompentensi Absolut Peradilan Agama
c. Asas-asas umum Peradilan Agama
2.. Produk-produk Peradilan Agama dan Pelaksanaannya
a. Produk-produk Peradilan Agama
b. Pelaksanaan putusan dan penetapan
BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Salah Satu Pihak Melakukan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga
2. Pertimbangan Hakim Dalam Menyelesaikan Perkara Cerai Gugat
Akibat Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Pengadilan Agama
Kota Surakarta
B. Pembahasan
1. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Salah Satu Pihak Melakukan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga
2. Pertimbangan Hakim Dalam Menyelesaikan Perkara Cerai Gugat
Akibat Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Pengadilan Agama
Kota Surakarta
BAB IV. PENUTUP
a. Kesimpulan
b. Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
Jilid 4
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DAN PENYELESAIANNYA (STUDI KASUS DI KECAMATAN KALIKOTES KABUPATEN KLATEN TAHUN 2006-2008)
Skripsi/Undergraduate Theses from digilib-uinsuka / 2009-05-25 14:40:56
By : FATCHUL JAWAD NIM: 04350084, Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Created : 2009-05-20, with 1 files
Keyword : Hukum Islam, kekerasan dalam rumah tangga, penyelesaiannya
ABSTRAK
Keluarga adalah masyarakat terkecil tempat dimulainya bimbingan individu. Ia tumbuh sejak lahir dalam lingkungan masyarakat kecil ini, sebagai karakternya terbentuk sesuai dengan karakter keluarga. Namun dalam membentuk sebuah keluarga yang baik, tidak semudah yang dibayangkan kebanyakan orang, karena dalam sebuah keluarga pasti muncul permasalahan-permasalahan yang harus diselesaikan, salah satunya adalah permasalahan dalam rumah tangga yang harus diselesaikan untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Kekerasan dalam rumah tangga disini diartikan sebagai tindak kekerasan yang secara umum dilakukan dalam kehidupan rumah tangga seperti pemukulan, penganiayaan bahkan sampai pembunuhan. Dalam penelitian ini penyusun mencoba untuk menggali lebih dalam mengenai kekerasan dalam rumah tangga, khususnya yang terjadi di wilayah Kecamatan Kalikotes Kabupaten Klaten.
Alasan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga di Kecamatan Kalikotes disebabkan karena beberapa faktor antara lain: perbedaan pemikiran antara suami istri, permasalahan ekonomi, kurangnya pemahaman agama, dan ketidak tahuan terhadap hukum. Bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi adalah penganiayaan fisik, penganiayaan psikis, dan penganiayaan seksual yang seharusnya tidak terjadi dalam kehidupan rumah tangga. Kemudian penyelesaian yang dilakukan adalah ada beberapa bentuk penyelesaian yaitu secara kekeluargaaan, secara prosedural yang dilakukan pihak kepolisian dan pengadilan. jadi, apabila sudah diketahui alasan-alasan dari kekerasan dalam rumah tangga tersebut diharapkan sebuah keluarga bisa mengendalikan diri untuk tidak melakukan tindak kekerasan, dan apabila kekerasan dalam rumah tangga bisa dihindari, maka akan terciptalah rumah tangga yang bahagia dan terbebas dari segala bentuk kekerasan.
Dengan menganalisis permasalahan di atas, penyusun menganalisis data dengan menggunakan pendekatan sosiologis, psikologis dan normatif dan melakukan interview kepada Ka-nit Sat-Reskrim Polres Klaten, staf Pengadilan Agama Klaten, dan diperkuat dengan data yang ada. Dan dalam penyelesaian tindak kekerasan dalam rumah tangga yang ada di masyarakat Kecamatan Kalikotes Kabupaten Klaten.
Setelah dilakukan penelitian di lapangan, permasalahan ideologi, ekonomi, kurangnya pemahaman terhadap ajaran agama, dan kurang sadarnya masyarakat terhadap hukum menjadi faktor utama penyebab tindak kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi di Kecamatan Kalikotes. Bentuk-bentuk kekerasan tersebut cenderung pada kekerasan fisik dari pada kekerasan psikis karena melihat korban yang mengeluh sakit badan dari pada sakit batinnya. Hal ini dikaitkan dengan tujuan hukum Islam (maqasid as-syariâۉ„¢ah) yang juga menggunakan teori-teori keilmuan sebagai bahan analisis dan konsep malahah mursalah. Dan Islam memandang penyelesaian kekerasan yang ada di Kecamatan Kalikotes tersebut tepat karena sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan Indonesia dan demi kemaslahatan bersama sehingga mendapatkan keadilan yang seadil-adilnya.
Jilid selanjutnya
PERANAN
JARINGAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK (JPPA)
DALAM PENANGANAN TINDAK KEKERASAN TERHADAP
PEREMPUAN
DI KABUPATEN KUDUS
SKRIPSI
untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
pada Universitas Negeri Semarang
Oleh :
HENDRO WICAKSONO
NIM 3450402042
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG SEMARANG
2006
i
ii
PENGESAHAN KELULUSAN
Skripsi ini telah dipertahankan didepan Sidang Panitia Ujian Skripsi Fakultas Ilmu
Sosial, Universitas Negeri Semarang pada :
Hari : Senin
Tanggal : 2 April 2007
Penguji Skripsi
Dr. Indah Sri Utari, SH, M.Hum
NIP. 132305995
Anggota I
Drs. Sutrisno, PHM, M.Hum
NIP. 130795080
Mengetahui :
Dekan,
Drs. H. Sunardi, MM
NIP. 130367998
iii
Anggota II
Rodiyah, S.Pd, M.Si
NIP. 132258661
PERNYATAAN
Saya menyatakan bahwa yang tertulis di dalam Skripsi ini benar-benar hasil karya
saya sendiri, bukan jiplakan dari karya orang lain, baik sebagian atau seluruhnya.
Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam Skripsi ini dikutip atau
dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Semarang, April 2007
Hendro Wicaksono
NIM. 3450402042
iv
MOTTO :
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
• Tidak ada kata kalah dalam berjuang, jika kita selalu berusaha dan
bertawakkal kepada Sang Khaliq (H. Wicaksono Shipan)
• Emas dan permata adalah perhiasan wanita dan sebaik-baiknya perhiasan
adalah wanita shalihah (H. Wicaksono Shipan)
• Kedamaian akan terwujud selagi kita tidak menggunakan cara kekerasan
untuk menyelesaikannya melainkan cara perdamaian (H. Wicaksono Shipan)
• “Jangan Marah karena marah dapat merusak emosi jiwa, budi pekerti,
memperburuk pergaulan, menghancurkan kasih sayang dan memutuskan
silaturahmi” (Dr. Aidh bin Abdullah Al Qorni)
Skripsi penulis persembahkan kepada :
• Allah SWT penguasa kerajaan langit dan bumi, Maha
Cahaya, ArasyMu yang berkilauan menerangi hati dan
nafasku
• Nenek tersayang dan tercinta Ibu serta Mama tercinta
• Keluarga besar Ibu Hj. Sri Wahyuni beserta putra-
putrinya berikut cucu-cucunya yang lucu dan imut
• Pendamping hidupku
• Mahasiswa Hukum Angkatan 2002
• Almamaterku
v
vi
PRAKATA
Puji Syukur Kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat
hidayah dan inayah-Nya & Shalawat dan Salam untuk Nabi Besar kita Nabi
Muhammad SAW sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini.
Penulisan ini dapat terselesaikan berkat bantuan dari berbagai pihak. Pada
kesempatan ini penulis akan mengucapkan banyak terimakasih kepada berbagai
pihak yang telah memberikan bantuan, motivasi, semangat dan dorongan serta
bimbingan kepada penulis sehingga dapat terselesaikannya skripsi ini.
Pada kesempatan yang berharga ini, penulis menyampaikan banyak
ucapan terimakasih yang tak terhingga kepada :
1. Bapak Prof. DR. H. Sudijono Sastroatmodjo, M.Si selaku Rektor
Universitas Negeri Semarang.
2. Bapak Drs. H. Sunardi, MM selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Semarang.
3. Bapak Drs. Eko Handoyo, M.Si selaku Ketua Jurusan Hukum dan
Kewarganegaraan Universitas Negeri Semarang.
4. Bapak Drs. Sutrisno, PHM, M.Hum, selaku dosen pembimbing I yang
telah bersedia untuk membimbing penulis dengan penuh kesabaran dan
ketelitian sehingga terselesaikannya penulisan skripsi ini.
5. Ibu Rodiyah, S. Pd, M.Si selaku dosen pembimbing II yang telah bersedia
untuk membimbing dan memberi semangat kepada penulis sehingga
terselesaikannya penulisan skripsi ini.
vi
6. Ibu Dr. Indah Sri Utari, SH, M.Hum selaku Dosen Penguji yang telah
menyediakan waktunya untuk menguji skripsi ini.
7. Ibu Hj. Noor Hani’ah, selaku Wakil Bupati Kudus dan Ketua Jaringan
Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA) Kabupaten Kudus yang telah
memberikan izin dan kesempatan kepada penulis untuk melakukan
penelitian di JPPA.
8. Ibu Endang Erowati, SH selaku Ketua Bidang I Perlindungan Perempuan,
Ibu Dra. Hj. Fahriyah selaku Ketua Bidang III Bidang Sumber Daya
Manusia dan Mbak Evi, selaku staff kantor di JPPA Kabupaten Kudus
yang telah banyak membantu memberikan masukan, pengetahuan serta
seluk beluk tentang JPPA kepada penulis, sehingga dapat terselesaikannya
skripsi ini.
9. Bp.H.D.Djunaedi, SH, S.Pn dan Bp. Andreas Haryanto, SH, CN selaku
Ketua dan Wakil DPC IKADIN Semarang yang telah memberikan izin
kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
10. Bp. Drs. H. R. Djoko Nugroho, selaku Ketua KADIN Jawa Barat, Direktur
Utama PT. STANDART MAHKOTA SARANA, Ketua Antar Lembaga Real
Estate Indonesia (REI), PT. JABABEKA Jakarta semoga terpilih menjadi
Bupati Kudus 2008.
11. Ibu Hj. Sri Wahyuni Shipan, selaku nenek tercintaku, yang selama ini
merawat, membesarkan dan memberikan semua fasilitas baik materiil
maupun spiritual serta membuat aku jadi seperti ini.tanpa beliau aku bukan
apa2 di dunia ini.sembah sujud buat mbah uti.
vii
12. Ibu Hj. Woro Srie Hartati, S.Pd dan Ibu Dra. Hj. Retno Ekaningsih selaku
ibu yang memberikan motivasi, nasehatnya. sehingga dapat melewati liku-
liku hidup ini dengan tabah dan tawakkal.
13. Bp. H. Wahyudi, SH. MH & Keluarga, Bp. H. Budi WD, Amd selaku om
aku & Keluarga Terimakasih atas bimbingan dan nasehatnya.
14. Teman-teman kantor IKADIN Semarang, mbak Metty P, SH, mbak
Endang, SH, mbak Rinta SH. Terimakasih atas absennya.
15. Ibu Alinda, S.Pd & Bp Supri S.Pd yang telah setia membantu aku,
terimakasih atas bimbingan rohaninya dan semoga cepat dapat momongan
dan Terimakasih juga kepada Dian, SE yang juga pernah membantu aku.
16. Adek-adekku dan Kakak-Kakakku semua
17. Teman Gangger boy treo (zaenal ceplix, tira pon2) bimo Ganggerly Chiky
( nurma, niken, hanik SH thanks atas usaha kalian), Muna, ratih, Pak
Herry Abduh SH, Linda cah PuRi Pati yg pernah memberikan buku
penelitian dari jogja, temen2 Hukum Angkatan 2002. Gang preman
SMU2 wowoz, didit, bendol, gambas, ninok ratih, Kopaja dari PAPUA
sampai JAWA.
Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
penulis khususnya dan bagi semua pihak yang berkepentingan pada umumnya.
Semarang, April 2007
Penulis
viii
ix
SARI
Wicaksono, Hendro.2007. Peranan Jaringan Perlindungan Perempuan dan
Anak (JPPA) Dalam Penanganan Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan di
Kabupaten Kudus. Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Semarang. 100h
Kata Kunci: Peranan, JPPA, Tindak Kekerasan, Kekerasan Terhadap
Perempuan
Peranan JPPA dalam memberikan pendampingan dan perlindungan kepada
masyarakat khususnya terhadap korban kekerasan terhadap perempuan
mempunyai tugas sebagai relawan pendamping untuk membantu menyelesaikan
persoalan-persoalan yang menyangkut tentang kekerasan terhadap perempuan
serta dalam melakukan tugasnya, JPPA melibatkan berbagai pihak dengan
bekerjasama dengan Aparat Kepolisian, LSM, Rumah Sakit, Ormas,dll.Namun,
kebenaran argumen ini perlu dibuktikan melalui kegiatan penelitian agar
mendapat jawaban yang akurat.
Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah (1) Upaya
penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan oleh JPPA Kabupaten Kudus?,
(2) Proses penanganan kasus kekerasan kekerasan terhadap perempuan oleh JPPA
Kabupaten Kudus?, (3) Kendala-kendala yang dihadapi oleh JPPA dalam
menangani kasus kekerasan terhadap perempuan?
Penelitian ini bertujuan: (1) Untuk mendiskripsikan upaya yang dilakukan
JPPA Kudus dalam usahanya menangani kasus tindak kekerasan terhadap
perempuan, (2) Untuk menunjukkan proses penanganan yang dilakukan oleh
JPPA Kudus terhadap kasus tindak kekerasan perempuan, (3) Untuk memberikan
gambaran empiris kendala-kendala yang dihadapi oleh JPPA Kudus dalam
menangani kasus tindak kekerasan terhadap perempuan.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Lokasi penelitian di Kantor
JPPA Kabupaten Kudus. Informan penelitian adalah anggota-anggota yang terkait
dengan penanganan kasus tindak kekerasan terhadap perempuan. Fokus penelitian
adalah (1) upaya yang dilakukan JPPA Kabupaten Kudus dalam menangani tindak
kekerasan terhadap perempuan, dengan indikator: pendidikan dan pelatihan, unsur
medis, penyadaran masyarakat, kerjasama dengan pihak lain, (2) Proses
penanganan yang dilakukan JPPA terhadap kasus tindak kekerasan perempuan
dengan indikator: Penerimaan laporan atau pengaduan dari korban, Pembuatan
berita acara kronologis kejadian ditangani oleh Bidang I, Bidang I membuat
laporan yang ditujukan kepada ketua umum kemudian ketua umum menerbitkan
surat tugas kepada bidang I untuk menindak lanjuti kasus tersebut, Upaya
konseling dilakukan dengan memberikan pembinaan antara pihak yang bertikai
alternatif pemecahan masalah. Alternatif yang dimaksud adalah bahwa pihak
Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA) Kabupaten Kudus akan
membantu menyelesaikan masalah baik secara kekeluargaan atau damai maupun
secara hukum, Pelimpahan perkara kepada penuntut umum dan pengembaliannya
kepada penyidik untuk disempurnakan, (3) Kendala-kendala yang menghambat
dalam upaya menangani kasus tindak kekerasan terhadap perempuan dengan
ix
indikator: kendala internal dan kendala eksternal. Alat pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara dan dokumentasi. Data yang
dikumpulkan menggunakan model analisis interaksi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Upaya yang Dilakukan oleh
Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA) Dalam Menangani Tindak
Kekerasan Terhadap Perempuan antara lain melalui :pendidikan dan pelatihan,
unsur medis, penyadaran masyarakat, kerjasama dengan pihak lain (Kepolisian,
LSM, Ormas), (2) Proses penanganan yang dilakukan JPPA terhadap kasus tindak
kekerasan perempuan secara garis besar meliputi kegiatan: Penerimaan laporan
atau pengaduan dari korban, Pembuatan berita acara kronologis kejadian ditangani
oleh Bidang I berdasarkan laporan atau pengaduan dari korban, saksi korban atau
keluarga korban, Bidang I membuat laporan yang ditujukan kepada ketua umum
kemudian ketua umum menerbitkan surat tugas kepada bidang I untuk menindak
lanjuti kasus tersebut, Upaya konseling dilakukan dengan memberikan pembinaan
antara pihak yang bertikai alternatif pemecahan masalah, Pelimpahan perkara
kepada penuntut umum dan pengembaliannya kepada penyidik untuk
disempurnakan, (3) Kendala-Kendala yang Menghambat Dalam Upaya
Penanganan Kasus Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Perempuan meliputi:
kendala internal yaitu kurangnya tenaga ahli yang profesional di dalam JPPA,
faktor keuangan mengandalkan dari dana APBD saja, Kendala eksternal yaitu
Masih ada anggapan dari masyarakat bahwa korban kekerasan terhadap
perempuan masih dianggap tabu untuk diketahui pihak luar, mendukung adanya
budaya patriakhi dan struktur budaya yang menganggap bahwa perempuan
merupakan sub ordinat (konco wingkng) mengakibatkan hak-hak perempuan
terabaikan, serta masyarakat terkadang masih menyalahkan korban sehingga
sumber atau penyebab terjadinya tindak kekerasan.
Berdasarkan hasil penelitian di JPPA Kabupaten Kudus dapat disimpulkan
bahwa peranan JPPA terhadap tindak kekerasan terhadap perempuan sudah
maksimal, hal ini dapat diamati dari penyelesaian kasus kekerasan terhadap
perempuan pada tahun 2005-tahun 2006, dari 20 kasus yang masuk, 16 kasus
terselesaikan, 4 kasus masih dalam proses penanganan.
Berdasarkan hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pihak JPPA
Kabupaten Kudus disarankan agar pihak JPPA Kabupaten Kudus lebih aktif
untuk mensosialisasikan peranannya kepada masyarakat supaya masyarakat
mengetahui jenis-jenis kekerasan maupun akibat kekerasan serta proses
penanganan terhadap tindak kekerasan terhadap perempuan, Dalam melaksanakan
tugas dan tanggungjawabnya, Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak
(JPPA) Kabupaten Kudus sebagai relawan pendamping korban kekerasan
terhadap perempuan membutuhkan dana yang cukup besar. Oleh sebab itu
Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA) Kabupaten Kudus hendaknya
mengandalkan biaya operasional selain dari dana APBD seperti donatur tetap dari
perorangan maupun kelompok., Hendaknya disediakan Rumah Aman atau Shelter
yang berfungsi khusus untuk proses konseling bagi korban tindak kekerasan
terhadap perempuan di lingkungan Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak
(JPPA) Kabupaten Kudus.
x
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL………………………………………...………………. i
PERSETUJUAN PEMBIMBING…………………………………...……… ii
PENGESAHAN KELULUSAN……………………………………………. iii
PERNYATAAN……………………………………………………………. iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN………………………………………….. v
PRAKATA…………………………………………………………….…... vi
SARI……..…………………………………………….…………………... ix
DAFTAR ISI……………………………………………………………….. xi
DAFTAR TABEL………………………………………………………… xiv
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………... xv
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………….. xvi
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………. 1
A. Latar Belakang……………………………………………………. 1
B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah…………………………….. 7
C. Perumusan Masalah………………………………………………. 8
D. Tujuan Penelitian…………………………………………………. 9
E. Manfaat Penelitian………………………………………………... 9
F. Sistematika Skripsi……………………………………………… 10
BAB II KAJIAN PUSTAKA……………………………………………… 13
A. Peranan JPPA ...…………………………………………………. 13
B. Pengertian JPPA………………………………………………… 15
C. Tugas Pokok..…………………………………………………… 16
xi
D. Tindak Kekerasan……………………………………………..… 17
1. Pengertian Tindak Kekerasan...……………………...…….. 17
2. Faktor Yang Menyebabkan Tindak Kekerasan……………. 18
3. Pola-Pola Kekerasan……………………………...……..…. 20
4. Bentuk-Bentuk Kekerasan……………………………….… 21
5. Teori Kekerasan…………………………………………… 23
E. Kekerasan Terhadap Perempuan…….…………………. ………. 26
1. Pengertian Kekerasan Terhadap Perempuan……………….. 26
2. Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Terhadap
Perempuan…………………..…………………………….... 26
3. Bentuk-Bentuk Tindak Kekerasan Terhadap
Perempuan……………………………………………….… 28
4. Jenis-Jenis Kekerasan Terhadap Perempuan…………….… 30
5. Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan
Terhadap Perempuan……………………….…..………… 32
F. Kerangka Pikir……………...…………………...………………. 37
BAB III METODE PENELITIAN……………………………..………….. 40
A. Pendekatan Penelitian………………………………….……... 40
B. Lokasi Penelitian……………………………………....……… 40
C. Fokus Penelitian…………………………………………….… 40
D. Sumber Data Penelitian……………………………….….…… 41
E. Alat dan Teknik Pengumpulan Data…………………….……. 42
F. Keabsahan Data……………………………….……………… 44
G. Metode Analisis Data………………………………………… 45
xii
H. Prosedur Penelitian…………………………………………… 49
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN………………….. 51
A. Hasil Penelitian…………………………………….………… 51
B. Pembahasan……………………………………….………….. 83
BAB V PENUTUP…………………………………………………………. 97
A. Simpulan…………………………………….………………… 97
B. Saran………………………………………… ……………….. 99
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………..……. 101
LAMPIRAN-LAMPIRAN
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 1: Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan……………………………. 4
Tabel 2 : Kasus Kekerasan Berbasis jender…………………………………. 5
Tabel 3 : Fokus Penelitian………………………………………………….. 50
Tabel 5 : Susunan Anggota JPPA…………………………………………… 57
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 : Kerangka Pikir…………………………………………………. 38
Gambar 2 : Model Triangulasi sumber perbandingan hasil wawancara
Dengan isi suatu data………………………………..………… 46
Gambar 3 : Model Analisis Interaksi……………………………………….. 49
Gambar 4 : Proses Penanganan Kekerasan yang ditangani JPPA………….. 69
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang PKDRT
Lampiran 2 : Berita Acara Pemeriksaan
Lampiran 4 : Pemeriksaan Visum
Lampiran 5 : Surat Perintah Penahanan
Lampiran 6 : Surat Perintah Penyidikan
Lampiran 7 : Surat Perintah Penangkapan
Lampiran 8 : Surat Perintah Penhanan
Lampiran 9 : Berkas Acara Pemeriksaan
Lampiran 11 : Logo JPPA
Lampiran 12 : Keputusan Bupati Kudus
Lampiran 13 : Form Pelaporan Kekerasan Terhadap Perempuan
Lampiran 14 : Memo Penanganan Korban
Lampiran 15 : Matrik
Lampiran 16 : Pedoman Wawancara
Lampiran 17 : Ijin Survey Pendahuluan
Lampiran 18: Ijin Penelitian
Lampiran 19 : Surat Keterangan pelaksanaan Penelitian dari JPPA
xvi
A. Latar Belakang
BAB I
PENDAHULUAN
1
Kekerasan terhadap sesama manusia memiliki sumber atau alasan yang
bermacam-macam, seperti politik, keyakinan agama, rasisme dan ideologi gender.
Salah satu sumber kekerasan yang diyakini penyebab kekerasan dari laki-laki
terhadap perempuan adalah ideologi gender. Sejarah perbedaan gender (Gender
Differences) antara manusia jenis laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses
yang sangat panjang, oleh karena itu, terbentuknya perbedaan-perbedaan gender
disebabkan banyak hal diantaranya, dibentuk, disosialisasi, diperkuat bahkan
dikonstruksi secara sosial dan kultural baik melalui ajaran keagamaan maupun
negara. Sosialisasi gender tersebut akhirnya dianggap ketentuan Tuhan seolah-
olah bersifat biologis yang tidak bisa diubah lagi sehingga perbedaan gender
dianggap dan dipahami sebagai kodrat laki-laki dan kodrat perempuan, misalnya
masyarakat sering menganggap bahwa ‘kodrat wanita’ adalah mendidik anak,
merawat anak, dan mengelola kebersihan dan keindahan rumah tangga.
Perbedaan gender sesungguhnya tidak menjadi masalah sepanjang tidak
melahirkan ketidakadilan gender, namun yang menjadi persoalan ternyata
perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, maupun terutama
kaum perempuan. Ketidakadilan gender terwujud dalam berbagai bentuk
ketidakadian, seperti marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi
atau anggapan tidak penting dalam urusan politik, pembentukan sterotip atau
pelabelan negatif, kekerasan (Violence). Beban kerja lebih panjang dan lebih
banyak (Burden). Rika Saraswati(2006:14-15).
2
Pada kenyataanya selama lebih dari enam puluh tahun usia Republik
Indonesia, pelaksanaan penghormatan, perlindungan, atau penegakan Hak Asasi
Manusia masih jauh dari memuaskan. Hal ini tercermin dari kejadian tindak
kekerasan terhadap perempuan yang merupakan salah satu fenomena paling
krusial saat ini. Banyak perempuan korban tindak kekerasan yang tutup mulut,
tidak mau bercerita pada siapapun tentang penderitaan yang dirasakannya. Ini
dikarenakan jika mereka mengadukan apa yang mereka alami, korban justru
berpotensi untuk memperoleh kekerasan yang berikutnya, dan jika apabila kasus
tersebut terungkap, akan membawa dampak psikis karena aibnya telah diketahui
oleh banyak orang. Hal ini akan mengakibatkan korban semakin sedih dan
semakin memendam penderitaannya.
Sebenarnya perempuan itu diletakkan pada posisi yang tinggi, ungkapan-
ungkapan yang menunjukkan penghargaan terhadap perempuan sebetulnya sudah
sering kita dengar, seperti “Ibu Negara”, “Surga di telapak kaki Ibu”, “Ibu
Kota”, “Wanita tiang Negara” dan pepatah adat Jawa “Sedhumuk bathuk senyari
bumi den lakoni taker pati pecahing dada utahing ludiro” dan sebuah kenyataan
bahwa kita semua juga pernah hidup kurang lebih 9 (sembilan) bulan 10 (sepuluh)
hari dalam rahim perempuan, dengan berbagai ungkapan itu menunjukkan betapa
kita bangsa Indonesia itu sangat menghargai perempuan dengan hak-haknya, akan
tetapi pada kenyataanya perempuan direndahkan martabatnya, terjadinya
perbuatan tidak adil baik disengaja maupun tidak, menempatkan perempuan
dalam posisi tidak setara (Inequal) dalam berbagai bidang (Subarkah:2004).
Dengan adanya ketidakadilan dalam persoalan pembagian peran gender
tersebut, maka menimbulkan berbagai upaya untuk merubah bahkan
menghilangkan pembagian peran gender yang merugikan perempuan atau yang
diskriminatif itu. Diseluruh dunia terjadi perubahan, perempuan dan mereka yang
membela perempuan, akan terus bergerak meminta perubahan sampai tidak
3
terjadi lagi ketidakadilan gender, apalagi kekerasan terhadap perempuan yang
mana sebagian besar berakar pada diskriminasi ketidakadilan gender tersebut.
Wujud nyata dalam melakukan perubahan dalam menanggapi masalah
diskriminasi terhadap perempuan (kekerasan terhadap perempuan) dibuktikan
dengan adanya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang
penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Indonesia
merupakan salah satu Negara yang ikut serta dalam konvensi ini dengan
meratifikasinya melalui Undang-Undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 1984
tentang Pengesahan Konvensi PBB mengenai Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Wanita. Keikutsertaan Indonesia dengan meratifikasi
konvensi ini mewajibkan segala unsur dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan
bermasyarakat untuk melakukan upaya penghapusan segala bentuk diskriminasi
terhadap perempuan, artinya tidak boleh ada lagi perlakuan pembedaan dan jika
sebelumnya ada, hal itu harus segera dihilangkan atau diubah menjadi tidak
diskriminatif.
Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang jaminan
perlindungan terhadap kaum perempuan belum juga membawa hasil. Hal itu
disebabkan karena belum diimplementasikan secara maksimal, bahkan akhir-
akhir ini wacana yang membahas tentang kekerasan terhadap perempuan semakin
banyak ditemukan diberbagai media, baik media massa ataupun media
elektronika. Kekerasan itu tidak hanya terjadi diluar rumah, namun kekerasan itu
terjadi di dalam rumah tangga.
NO
4
Bentuk-bentuk kekerasan yang dialami korban berupa kekerasan
fisik,psikologis, ekonomi dan seksual. Kekerasan fisik yang dialami oleh
perempuan akibat tindak kekerasan terhadap perempuan sepeerti dipukul dan
ditampar. Kekerasan psikologis yang dilakukan suami berupa main perempuan,
suami sering mabuk, berkata-kata tidak senonoh, mengancam akan membunuh.
Sedangkan kekerasan ekonomi berupa suami tidak memberikan nafkah lahir,
merampas penghasilan istri dan menggunakannya untuk pekerjaan yang tidak
bertanggung jawab, menjual barang-barang istri, baik harta bawaan maupun harta
bersama.tanpa persetujuan istri. Sedangkan kekerasan seksual antara lain, suami
mempunyai kelainan seksual, dan perkosaan. Dengan berbagai macam jenis
tindak kekerasan terhadap perempuan yang berada di masyarakat, tetap saja pihak
perempuan yang selalu menjadi korban. Berikut ini adalah beberapa kasus tindak
kekerasan terhadap perempuan.
Tabel 1 kasus kekerasan terhadap perempuan pada November 2003-
Oktober 2004 di Jawa Tengah
JENIS KASUS JUMLAHKASUS KORBAN PELAKU MENINGGAL
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Perkosaan
Kekerasan dlm RT
Kekerasan masa pacaran
Kekerasan terhadap PSK
Kekerasan terhadap TKW
Pelecahan seksual
Perdagangan manusia
181
132
108
74
44
7
6
254
198
112
944
129
7
14
269
196
116
tamu,polisi
majikan
8
15
8
22
17
1
14
-
-
Sumber: Rika Saraswati(2006:56-57).
NO
5
Tabel 2 Kasus kekerasan berbasis jender bulan November 2004-Oktober 2005 di
Jawa Tengah
JENIS KASUS JUMLAHKASUS KORBAN PELAKU MENINGGAL
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Perkosaan
Kekerasan dlm RT
Kekerasan masa pacaran
Kekerasan terhadap PSK
Kekerasan terhadap TKW
Pelecahan seksual
Perdagangan manusia
188
134
99
87
41
8
2
274
184
134
1145
73
19
2
307
179
109
tamu, polisi
majikan,PJTKI
6
7
6
-
12
-
-
Sumber: Rika Saraswati(2006:56-57).
Penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan, dibutuhkan kerja sama
dari berbagai pihak. Pihak yang terkait dalam kasus kekerasan terhadap
perempuan meliputi aparat penegak hukum, unsur medis, masyarakat, maupun
relawan pendamping yang nantinya diharapkan mampu untuk membantu
menyelesaikan kasus terhadap perempuan.
Perempuan korban kekerasan sebagian besar memerlukan pendamping
yang bisa mengerti dan melindungi serta mampu membantu mereka dalam
menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya. Dalam melaksanakan tugasnya,
sebagai relawan pendamping untuk membantu upaya penanganan kasus
kekerasan terhadap perempuan selama ini belum menunjukkan hasil yang
maksimal dan memuaskan semua pihak, karena banyaknya kendala-kendala yang
dihadapi oleh pihak relawan pendamping. Hal tersebut merupakan permasalahan
yang perlu mendapatkan perhatian sehingga peneliti tertarik untuk mengangkat
6
dan membahasnya dalam skripsi yang berjudul : “PERANAN JARINGAN
PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK (JPPA) DALAM
PENANGANAN TINDAK KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DI
KABUPATEN KUDUS”.
Alasan dipilihnya judul tersebut secara rinci adalah sebagai berikut:
1. Tindak kekerasan terhadap perempuan merupakan masalah sosial yang harus
ditangani secara optimal melalui berbagai upaya baik secara Preventif ataupun
Represif.
2. JPPA Kabupaten Kudus sebagai wadah perlindungan perempuan korban
kekerasan sudah sepatutnya memberikan dan mengupayakan segala
kemampuan dalam tugasnya sebagai relawan pendamping untuk membantu
menyelesaikan persoalan-persoalan yang menyangkut tentang kekerasan
terhadap perempuan.
Tindak kekerasan yang terjadi terhadap perempuan harus ditangani,
ditanggulangi dan diwaspadai melalui berbagai upaya oleh JPPA Kabupaten
Kudus sebagai tenaga relawan pendamping. Sudah sepatutnya JPPA
Kabupaten Kudus dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan
melibatkan berbagai pihak dengan menjalin kerja sama dengan Aparat
Penegak Hukum (Polisi, Jaksa, Hakim), Rumah Sakit dan masyarakat luas
dalam memberikan informasi atau masukan yang bermanfaat bagi kemajuan
dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan di Kabupaten Kudus.
B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah
1. Identifikasi Masalah
7
Fenomena kasus kekerasan terhadap perempuan semakin hari semakin
memprihatinkan, dimana kaum perempuan membutuhkan perlindungan dari
pihak lain untuk membantu menyelesaikan permasalahan yang sedang
dihadapinya. Kaum perempuan korban kekerasan membutuhkan perhatian
yang lebih dari orang yang mampu mengerti dan memahami keadaannya.
Dalam membantu menyelesaikan kasus kekerasan terhadap perempuan
dibutuhkan pendamping atau relawan. Akan tetapi pada kenyataanya relawan
pendamping dalam membantu menyelesaikan masalah korban kekerasan
terhadap perempuan jauh dari memuaskan, hal ini dikarenakan banyaknya
kendala-kendala yang dihadapi oleh relawan pendamping.
Dari uraian maka identifikasi masalah penelitian ini adalah:
a. Upaya penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan oleh JPPA
Kabupaten Kudus.
b. Proses penanganan kasus kekerasan kekerasan terhadap perempuan oleh
JPPA Kabupaten Kudus.
c. Kendala-kendala yang dihadapi oleh JPPA dalam menangani kasus
kekerasan terhadap perempuan.
2. Pembatasan Masalah
8
Berdasarkan pertimbangan tersebut, menarik untuk dikaji lebih dalam
masalah upaya penanganan tindak kekerasan terhadap perempuan di JPPA
Kabupaten Kudus, akan tetapi penanganannya jauh dari memuaskan. Hal ini
dikarenakan kendala-kendala yang dihadapi pihak JPPA diantaranya:
kurangnya fasilitas, kurangnya personil dan tenaga profesional serta
tanggapan dari pihak lain yang masih minimal. Kasus terhadap perempuan di
Kota Kudus kurang mendapat perhatian dan dari tahun ketahun semakin
menunjukkan peningkatan yang sangat memprihatinkan.
Namun demikian penelitian ini hanya membatasi pada upaya-upaya
yang dilakukan oleh JPPA dalam mendampingi korban kasus kekerasan
terhadap perempuan serta kendala-kendala yang menghambat dalam upaya
dan proses penanganan tindak kekerasan terhadap perempuan.
C. Perumusan permasalahan
Bertolak dari latar belakang yang dikemukakan diatas, secara khusus
peneliti ingin menjawab beberapa permasalahan sebagai berikut:
1. Apakah upaya yang dilakukan oleh JPPA Kudus dalam menangani kasus
tindak kekerasan terhadap perempuan sudah sesuai dengan Keputusan
Menteri atau Surat Keputusan Bupati Kudus ?
2. Bagaimana proses penanganan yang dilakukan oleh JPPA Kudus terhadap
kasus tindak kekerasan terhadap perempuan ?
9
3. Kendala-kendala yang dihadapi oleh JPPA Kudus dalam menangani kasus
tindak kekerasan terhadap perempuan ?
D. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mendiskripsikan upaya yang dilakukan JPPA Kudus dalam usahanya
menangani kasus tindak kekerasan terhadap perempuan.
2. Untuk menunjukkan proses penanganan yang dilakukan oleh JPPA Kudus
terhadap kasus tindak kekerasan perempuan.
3. Untuk memberikan gambaran empiris kendala-kendala yang dihadapi oleh
JPPA Kudus dalam menangani kasus tindak kekerasan terhadap perempuan.
E. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan akan mempunyai manfaat yang antara lain:
1. Bersifat Teoritis
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai informasi awal bagi peneliti
lain yang akan mengadakan penelitian yang sejenis.
Memberikan sumbangan pemikiran dalam usaha mengembangkan ilmu
pengetahuan di bidang hukum pidana, khususnya mengenai penanganan JPPA
terhadap tindak kekerasan perempuan, sehingga permasalahan tersebut tidak
semakin memprihatinkan.
10
Diperoleh gambaran tentang peran yang telah dilakukan JPPA Kudus
dalam usahanya menangani kasus tindak kekerasan terhadap perempuan.
Dapat menunjukkan proses penanganan yang dilakukan oleh JPPA
Kudus terhadap kasus tindak kekerasan perempuan.
Untuk memberikan gambaran kendala-kendala yang dihadapi oleh JPPA
Kudus dalam menangani kasus tindak kekerasan terhadap perempuan
2. Bersifat Praktis
Dapat dijadikan sebagai bahan kajian dalam meningkatkan dan
memperbaiki kinerja JPPA dalam penanganan kasus tindak kekerasan
terhadap perempuan.
F. Sistematika Skripsi
Agar lebih mudah dimengerti dalam mengikuti uraian skripsi ini, maka
dibagi dalam tiga bagian dengan sistematika penulisan sebagai berikut:
1. Bagian Awal, berisi:
Halaman judul, Persetujuan Pembimbing, Pengesahan Kelulusan, Pernyataan,
Motto dan Persembahan, Prakata, Sari, Daftar Isi Daftar Lampiran.
2. Bagian Pokok terdiri dari :
Bab I: Pendahuluan
Dalam bab ini terdiri dari beberapa sub bab, yang dimulai dengan latar
belakang penelitian, Identifikasi dan Pembahasan Masalah, Perumusan
11
Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian dan Sistematika Penulisan
Skripsi.
Bab II: Kajian Pustaka dan/atau Kerangka Teoritik
Dalam bab ini penulis akan menguraikan hasil penelaahan kerangka teoritik
yang erat kaitannya dengan kekerasan terhadap perempuan dan penanganan
yang dilakukan oleh JPPA yang dimulai dari Pengertian JPPA Kudus, Tugas
Pokok JPPA, Tindak Kekerasan, Kekerasan terhadap Perempuan, serta Upaya
Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan.
Bab III: Metode Penelitian
Dalam bab ini penulis akan manjelaskan tentang Pendekatan Penelitian,
Lokasi Penelitian, Fokus Penelitian, Sumber Data, Teknik Sampling, Alat dan
Teknik Pengumpulan Data, Objektivitas dan Keabsahan data, Model Analisis
Data, Model Analisis Data dan Prosedur Penelitian.
BabIV: Hasil Penelitian dan Pembahasan
Dalam Bab ini penulis akan membahas tentang upaya-upaya yang dilakukan
oleh JPPA Kudus dalam menangani kasus tindak kekerasan terhadap
perempuan, proses penanganan terhadap kasus tindak kekerasan terhadap
perempuan serta kendala-kendala yang menghambat dalam menangani kasus
tindak kekerasan terhadap perempuan.
Bab V : Penutup
Dalam bab ini penulis akan memaparkan tentang kesimpulan dan saran.
3. Bagian akhir skripsi
12
Dalam bab ini berisi tentang daftar pustaka dan lampiran yang digunakan
acuan untuk menyusun skripsi.
A. Peranan JPPA
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
13
Peran dapat diartikan sebagai seperangkat tingkat yang diterapkan
dimiliki oleh orang atau lembaga yang berkedudukan dalam masyarakat (Tim
Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1986:667).
Dalam kapasitasnya sebagai Jaringan Perlindungan Perempuan dan
Anak, JPPA memiliki status artinya kedudukan JPPA menyebabkan adanya
hak-hak dan kewajiban. Hak merupakan wewenang untuk berbuat sedangkan
kewajiban merupakan tugas yang harus dilaksanakan. Kedudukan merupakan
posisi tertentu didalam struktur kemasyarakatan yang terbagi menjadi 3
tingkatan:
1. Yang mungkin tinggi
2. sedang-sedang saja, dan
3. rendah (Soekanto 2004:20)
Dari kedudukan tersebut sebenarnya merupakan suatu wadah yang berisi
hak-hak serta kewajiban-kewajiban tertentu, yang menimbulkan adanya
peranan.
Peranan itu sendiri dibagi menjadi 4 yaitu:
1. Peranan yang ideal (ideal role)
2. Peranan yang seharusnya (expected role)
3. Peranan yang dianggap ole diri sendiri (perceived role)
4. Peranan yang sebenarnya dilakukan (actual role) (Soekanto 2004:20).
Bahwa peranan yang ideal dan seharusnya datang dari pihak-pihak
lain, kedua peranan tersebut dapat berfungsi apabila seseorang berhubungan
dengan pihak lain (role sector) dengan fokus utamanya adalah dinamika
14
masyarakat. Sedangkan peranan yang sebenarnya berasal dari diri pribadi.
Penggunaan perspektif peranan mempunyai keuntungan diantaranya, lebih
mudah membuat suatu proyeksi, karena pemusatan perhatian pada segi
prosesual, serta lebih memperhatikan pelaksanaan hak dan kewajiban serta
tanggung jawabnya daripada kedudukan dengan lambang-lambang yang
cenderung bersifat konsumtif.
Disini personel JPPA sebagai pemegang peranan (role occupant)
melakukan penanganan tindak kekerasan terhadap perempuan. Dalam skripsi
ini penulis hanya menggunakan peranan ideal dan peranan yang seharusnya.
Peranan ideal tercantum dalam Keputusan Menteri Pemberdayaan Perempuan
Republik Indonesia Nomor: B. 110/Mei/PP/Dep.III/2003, Tanggal 11
September 2003, Perihal : Panduan Umum Focal Point dan Pokja PUG
(Pengarus Utamaan gender). Dimana secara tegas diharapkan bahwa dalam
rangka melaksanakan Pengarus Utamaan Gender (PUG) perlu dilakukan
berbagai upaya.
Peranan yang seharusnya, tercantum dalam Surat Keputusan Bupati
Kudus No. 460/1301/2003 Tanggal 15 November 2003 tentang: Pembentukan
Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak di Kabupaten Kudus. Menurut
Surat Keputusan tersebut, tugas pokok JPPA yaitu:
1. Melakukan pengkajian dan analisa terhadap permasalahan yang
berhubungan dengan upaya perlindungan perempuan dan anak
2. Merumuskan kegiatan JPPA Kabupaten Kudus
3. Melakukan monitoring dan evaluasi atas pelaksanaan kegiatan.
B. Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA)
15
JPPA adalah singkatan dari Jaringan Perlindungan Perempuan dan
Anak. JPPA merupakan wahana paritipatif, tempat tempat berhimpunnya
mereka yang peduli dan para pemerhati permasalahan perempuan dan anak.
Yang pengurusnya terdiri dari berbagai elemen baik pemerintah, Perguruan
Tinggi, Organisasi Wanita, LSM, maupun individu untuk bersama-sama
mengkaji menganalisa permasalahan perempuan dan anak demi menegakkan
panji-panji keadilan.
Terbentuknya JPPA di Kabupaten Kudus berdasarkan Keputusan
Menteri Pemberdayaan Perempuan republik Indonesia Nomor: B.
110/Mei/PP/Dep.III/2003, Tanggal 11 September 2003, Perihal : Panduan
Umum Focal Point dan Pokja PUG (Pengarus Utamaan gender). Dimana
secara tegas diharapkan bahwa dalam rangka melaksanakan Pengarus
Utamaan Gender (PUG) perlu dilakukan berbagai upaya.
Dalam hal ini upaya yang dirintis Kabupaten Kudus adalah
membentuk Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA) dan
disyahkan melalui Surat Keputusan Bupati Kudus No. 460/1301/2003 Tanggal
15 November 2003 tentang: Pembentukan Jaringan Perlindungan Perempuan
dan Anak di Kabupaten Kudus.
C. Tugas Pokok JPPA
16
Dalam menghadapi tantangan dan peluang jangka panjang yang jauh
ke depan, maka visi program pembangunan pemberdayaan perempuan
dirumuskan sebagai berikut:
Terwujudnya kesetaraan gender (dan perlindungan anak) dalam kehidupan
berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara.
Sedangkan visi Kelembagaan Pemberdayan Perempuan adalah:
Kesetaraan dan keadilan gender, kesejahteraan dan perlindungan anak
dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Menurut Keputusan Menteri Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia
Nomor B. 110/Mei/PP/Dep.III/2003, Tanggal 11 September 2003, tugas yang
harus dilakukan sebagai berikut:
1. Peningkatan kualitas hidup perempuan dan menggalakkan sosialisasi
kesetaraan dan keadilan gender.
2. Penghapusan segala bentuk tindak kekerasan terhadap perempuan dan
menegakkan hak asasi manusia bagi perempuan.
3. Peningkatan kesejahteraan dan perlindungan anak.
4. Pemampuan dan peningkatan kemandirian lembaga dan organisasi.
5. Meningkatkan mental spiritual, pelaku hidup dengan dasar penghyatan dan
pengamalan Pancasila.
6. Meningkatkan kepedulian, kesadaran dan kepekaan masyarakat terhadap
Perlindungan Perempuan dan Anak, melalui pelayanan dan penyuluhan
17
hukum untuk memantapkan sistem perlindungan hukum bagi masyarakat
khususnya Perempuan dan Anak.
7. Meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) khususnya
Perempuan dan Anak dengan berbagai kegiatan pelatihan, penyuluhan dan
ketrampilan.
8. Meningkatkan kegiatan penelitian dan pendataan masalah yang dihadapi
dan potensi yang dimiliki Perempuan dan Anak, mengoptimalkan potensi
dan pemberdayaan Perempuan dan Anak Untuk mengatasi masalah
Perempuan dan Anak.
D. Tindak Kekerasan
1. Pengertian Tindak Kekerasan
Pengertian kekerasan secara yuridis dapat dilihat pada Pasal 89
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yaitu:
“membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan
menggunakan kekerasan.”
Yang dimaksud dengan “kekerasan” atau yang biasa
diterjemahkan dari “violence”. Violence berkaitan dengan gabungan
kata latin “vis” (daya, kekuatan) dan “lotus” (yang berasal dari ferre,
membawa) yang berarti membawa kekuatan.
Mengutip pendapat John galtung dalam I Marsana Windu (1992:64)
Kekerasan terjadi bila manusia dipengaruhi sedemikian rupa sehingga
realisasi jasmani dan mental aktualnya berada dibawah realisasi
18
potensialnya. Jadi intinya kekerasan adalah penyebab adanya perbedan
antara yang aktual dan potensial, antara apa yang mungkin dan
memang ada. Tingkat realisasi potensial ialah apa yang memang
mungkin direalisasikan sesuai dengan tingkat wawasan, sumber daya
dan kemajuan yang sudah dicapai pada jamannya. Contohnya melukai
atau membunuh yang dilakukan dengan sengaja atau tidak sengaja atau
tidak, berlangsung cepat atau lambat merupakan tindak kekerasan.
Menurut para ahli “kekerasan” yang dipergunakan sehingga
mengakibatkan terjadinya kerusakan baik fisik atau phsikis adalah
kekerasan yang bertentangan dengan hukum, oleh karena itu
merupakan kejahatan. Bertitik tolak dari definisi tersebut tampak
bahwa kekerasan (violence) menunjuk pada tingkah laku yang
pertama-tama harus bertentangan dengan UU, baik berupa ancaman
saja atau merupakan suatu tindakan nyata dan memilih akibat-akibat
kerusakan terhadap harta benda atau fisik atau bahkan sampai
mengakibatkan kematian pada seseorang (Atmasasmita 1992:55).
Mengutip pendapat Soerjono Soekanto dalam Aroma Elmina Martha
(2003:21) mendevinisikan kejahatan kekerasan/violence dengan:
Kejahatan kekerasan ialah suatu istilah yang dipergunakan bagi
terjadinya cidera mental atau fisik. Kejahatan kekerasan sebenarnya
merupakan bagian dari kekerasan, yang kadang-kadang diperbolehkan,
sehingga jarang disebut sebagai kekerasan. Masyarakat biasanya
membuat kategori-kategori tertentu mengenai tingkah laku yang
dianggap keras dan tidak. Semakin sedikit terjadinya kekerasan dalam
suatu masyarakat, semakin besar kekhawatiran yang ada bila terjadi.
2. Faktor Yang Menyebabkan Tindak Kekerasan
Mengutip pendapat Soerjono Soekanto dalam Mulyana W.
Kusumah (1990:41) menunjukkan lima sebab terjadinya kejahatan
dengan kekerasan, yaitu adanya orientasi pada benda yang
menimbulkan keinginan mendapat materi dengan jalan mudah, tidak
19
ada penyaluran kehendak serta adanya semacam tekanan mental pada
orang-seorang, keberanian mengambil resiko, kurangnya perasaan
bersalah dan adanya keteladanan yang kurang baik.
Menurut M. Wolfgang dan F. Ferracuti ( The Sub-culture of
violence, Toward An Integrated Theory in Criminology, 1967 ) dalam
menelaah kejahatan-kejahatan dengan kekerasan dapat diketengahkan
dua proposisi :
a. Norma-norma yang mengijinkan dan mendukung kekerasan
sebelumnya telah terdapat dalam lingkungan si pelanggar hukum
sendiri.
b. Banyak pelanggar hukum yang menghayati dan dipengaruhi oleh
norma-norma tersebut (Kusumah 1990:42).
Norma-norma demikian berasal dari sub-kebudayaan kekerasan
(sub-culture of violence) yang ada di dalam masyarakat sendiri atau
dengan perkataan lain, kejahatan-kejahatan dengan kekerasan adalah
bagian tidak terpisahkan dari unsure-unsur sub-kebudayaan tertentu.
Berkembangnya norma-norma yang mengijinkan dan mendukung
kekerasan merupakan bagian dari unsur-unsur sub-kebudayaan di atas,
nampaknya semakin bersemi jika ditambah oleh pengkondisian oleh
struktur-struktur dalam masyarakat.
Pola-pola hubungan social-ekonomi yang menampilkan ciri
dominasi dan ketidakadilan melalui proses-proses sosial yang kompleks
dapat menimbulkan sikap dan prilaku yang merupakan reaksi atas struktur-
struktur demikian.
Sub-kebudayaan kekerasan dapat didasari oleh struktur-struktur
serupa itu, dan pada gilirannya keseluruhan aspek dan unsur sub-
20
kebudayaan tersebut, terutama nilai-nilai dan norma-normanya, mewarnai
struktur-struktur dalam masyarakat (Kusumah 1990:42).
3. Pola-pola kekerasan
Mengenai pola-pola kekerasan, Martin R. Haskell dan Lewis
Yablonsky dalam Mulyana W Kusumah (1990:25) mengemukakan adanya
empat kategori yang mencakup hampir semua pola-pola kekerasan, yakni :
a. Kekerasan Legal
Kekerasan ini dapat berupa kekerasan yang didukung oleh
hukum, misalnya tentara yang melakukan tugas dalam peperangan,
maupun kekerasan yang dibenarkan secara legal, misalnya : sport-sport
agresif tertentu serta tindakan-tindakan tertentu untuk
mempertahankan diri.
b. Kekerasan yang secara sosial memperoleh sanksi
Suatu faktor penting dalam menganalisa kekerasan adalah tingkat
dukungan atau sanksi sosial terhadapnya. Misalnya : tindakan
kekerasan seorang suami atas pezina akan memperoleh dukungan
sosial.
c. Kekerasan rasional
Beberapa bentuk kekerasan yang tidak legal akan tetapi tak ada
sanksi sosialnya adalah kejahatan yang dipandang rasional dalam
konteks kejahatan. Mengutip Gilbert Geis tentang jenis kejahatan ini,
bahwa orang-orang yang terlibat dalam pekerjaannya pada kejahatan
terorganisasi yaitu dalam kegiatan-kegiatan seperti perjudian,
pelacuran serta lalu lintas narkotika, secara tradisional menggunakan
kekerasan untuk mencapai hasrat lebih daripada orang-orang yang ada
di lingkungan tersebut (Kusumah:1990:25).
d. Kekerasan yang tidak berperasaan (“irrational violence”)
Yang terjadi tanpa adanya provokasi terlebih dahulu, tanpa
memperlihatkan motivasi tertentu dan pada umumnya korban tidak
dikenal oleh pelakunya. Dapat digolongkan kedalamnya adalah apa
yang dinamakan “raw violence” yang merupakan ekspresi langsung
dari gangguan pshikis seseorang dalam saat tertentu kehidupannya.
4. Bentuk-bentuk Kekerasan
21
John Galtung dalam I Marsana Windu (1992:68-71) membagi menjadi
6 dimensi penting dari kekerasan :
a. Pembedaan Pertama: Kekerasan fisik dan psikologis
Dalam kekerasan fisik tubuh manusia disakiti secara jasmani
behkan bias sampai pada pembunuhan. Disini jelas bahwa kemampuan
pada diri si korban berkurang atau hilang sama sekali. Sarana
transportasi yang tidak merata, yang hanya berpusat pada orang-orang
atau tempat tertentu, hal itu bisa menyebabkan dapat membatasi gerak
dan mengurangi aktualisasi potensi jasmani. Cara-cara kekerasan
seperti memenjarakan atau merantai menyebabkan kemampuan jiwa
atau rohani berkurang. Adanya kebohongan, indoktrinasi, ancaman,
tekanan yang dimaksud mereduksi kemampuan mental atau otak
(Windu 1992:68).
b. Pembedaan Kedua: pengaruh positif dan negative
Seseorang dapat dipengaruhi tidak hanya dengan menghukum
bila ia bersalah, tetapi juga dengan memberi imbalan. Dalam system
imbalan sebenarnya terdapat ‘pengendalian’, tidak bebas, kurang
terbuka dan cenderung manipulatif, meskipun menimbulkan suatu
kenikmatan dan euphoria. Jadi pembedaan ini mengacu pada orientasi
imbalan (reward oriented) (Windu 1992:69).
c. Pembedaan Ketiga: ada obyek atau tidak
Galtung mengatakan dapatkah dikatakan suatu kekerasan terjadi
jika tidak ada obyek fisik atau biologis yang disakiti. Jawabannya
adalah dalam tindakan itu tetap ada ancaman kekerasan fisik dan
psikilogis, meskipun tidak memakan korban tetapi membatasi tindakan
manusia. Contohnya adalah penghancuran benda. Tindakan ini
menurut Galtung dianggap sebagai kekerasan pshikologis. Meskipun
tindakan itu tidak memakan korban tapi merusak atau menghancurkan
barang berarti telah menghina yang mempunyai barang dan telah
menceraikan hubungan pemilihan. Jadi meskipun tidak ada obyek
yang langsung dikenai tetap ada ancaman kekerasan baik menyangkut
orangnya atau miliknya (Windu 1992:69).
d. Pembedaan Keempat :ada subyek atau tidak
Sebuah kekerasan disebut langsung atau personal jika ada
pelakunya dan bila tidak ada pelakunya disebut struktural atau tidak
22
langsung. Dampak atau akibat kekerasan langsung dapat diketahui
pelakunya (manusia secara konkret). Tapi kekerasan struktural justru
sulit untuk menemukan pelaku menusia secara konkret (Windu
1992:70).
e. Pembedaan Kelima: Disengaja atau tidak
Pembedaan ini penting ketika orang harus mengambil keputusan
mengenai “kesalahan”, dan mengungkapkan berbagai kemencengan
pemahaman mengenai kekerasan, perdamaian serta sistem etika yang
dimaksud untuk memerangi kekerasan yang dilakukan dengan sengaja.
Pemahaman yang menekankan unsur sengaja ini tentu cukup untuk
melihat, mengatasi kekerasan struktural yang tidak disengaja. Bila
tindakan ini diarahkan untuk perdamaian, maka terlalu sedikit yang
dapat dijangkau. Dengan demikian jika tindakan itu diarahkan untuk
perdamaian artinya diarahkan untuk menentang kekerasan langsung
dan tidak langsung. Karena dilihat dari sudut korban, sengaja atau
tidak sengaja maka kekerasan tetap kekerasan (Windu 1992:71).
f. Pembedaan Keenam: Yang tampak dan tersembunyi
Kekerasan yang tampak nyata dan personal atau struktural dapat
dilihat meskipun secara tidak langsung. Sedangkan kekerasan
tersembunyi adalah sesuatu yang memang tidak kelihatan, tetapi bisa
dengan mudah meledak. Kekerasan tersembunyi akan terjadi jika
situasi menjadi begitu tidak stabil sehingga realisasi aktual dapat
menurun dengan mudah (Windu 1992:71).
Bila dikaitkan dengan enam dimensi tindak kekerasan tersebut
maka dapat dilihat bahwa John Galtung berusaha memahami konsep
kekerasan secara luas. Bentuk tindak kekerasan itu sangat kompleks dan
saling terkait, bahkan apabila seseorang mengalami satu bentuk kekerasan,
maka bisa diikuti oleh bentuk kekerasan pshikis. Contohnya seorang istri
yang sering mendapatkan makian dari pihak suami, maka jiwanya akan
merasa tertekan, sehingga menimbulkan penderitaan batin.
5. Teori Kekerasan
23
Maraknya kekerasan terhadap perempuan menjadi rangkaian kata-
kata yang cukup populer dalam beberapa tahun belakangan ini. Sangat
ironis ditengah-tengah masyarakat modern yang dibangun diatas prinsip
rasionalitas dan demokrasi yang secara teori seharusnya mampu menekan
tindak kekerasan tetapi justru budaya kekerasan justru menjadi fenomena
yang tidak terpisahkan. Dewasa ini kita banyak menyaksikan berbagai
tindak kriminalitas, kerusuhan, kerusakan moral, perkosaan, pengniayaan
yang seluruhnya ada dalam wadah kekerasan.
Menurut kacamata feminisme, kekerasan dalam rumah tangga
merupakan hasil bantuan interaksi sosial dalam masyarakat patriakhi yaitu
sistem yang didominasi dan dikuasai oleh laki-laki. Inilah yang menjadi
penyebab maraknya kekerasan terhadap perempuan termasuk dalam rumah
tangga.
Terdapat teori kekerasan untuk memahami mengapa korban
kekerasan dalam rumah tangga tetap bertahan atau berupaya
mempertahankan perkawinannya (Rifka Annisa 1998:4). Teori kekerasan
terdiri dari tiga tahap yaitu tahap munculnya ketegangan, tahap pemukulan
akut, dan tahap bulan madu.
Pada tahap munculnya ketegangan yang mungkin disebabkan oleh
percekcokan terus-menerus atau tidak saling memperhatikan atau
kombinasi keduanya dan kadang-kadang disertai dengan kekerasan kecil.
Namun semua ini biasanya dianggap sebagai “bumbu perkawinan”.
Kemudian pada tahap kedua, kekerasan mulai muncul berupa
meninju, menendang, menampar, mendorong, mencekik, atau bahkan
menyerang dengan senjata. Kekerasan ini dapat berhenti jika si perempuan
24
lari dari rumah atau si laki-laki sadar apa yang dilakukan, atau salah
seorang dibawa ke rumah sakit.
Pada tahap bulan madu, laki-laki sering menyesali tindakannya.
Penyesalannya berupa rayuan dan berjanji tidak akan melakukannya lagi.
Bahkan, tidak jarang laki-laki menunjukkan sikap mesra dan
menghadiahkan sesuatu. Kalau sudah begitu, perempuan menjadi luluh
dan memaafkannya karena dia masih berharap hal tersebut tidak akan
terjadi lagi. Itulah sebabnya mengapa perempuan tetap memilih bertahan
meski menjadi korban kekerasan karena pada tahap bulan madu ini
perempuan merasakan cinta yang paling penuh. Namun kemudian tahap
ini pudar dan ketegangan muncul lagi, terjadi tahap kedua munculnya
ketegangan dan kekerasan, selanjutnya terjadi bulan madu kembali (Rika
Saraswati, 2006:32)
Setiap tanggal 25 November, masyarakat dunia memperingati hari
Internasional penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Hal ini
disambut dengan cepat oleh pemerintahan indonesia, dengan menerbitkan
Undang-Undang no.23 Tahun 2004 yang disandarkan pada deklarasi PBB
tentang penghapusan kekerasan terhadap perempuan pada tanggal 20
Desember 1998 dan ditandatanganinya konfrensi Internasional tentang anti
kekerasan terhadap perempuan pada awal maret 2000.
Adanya Undang-Undang no.23 tahun 2004 tentang penghapusan
kekerasan terhadap kekerasan dalam rumah tangga, Pemerintah
mempunyai harapan-harapan yang antara lain:
1. Menginginkan warga negaranya mendapatkan rasa aman dan bebas
dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945
2. Menginginkan penghapusan segala bentuk kekerasan terutama
kekerasan dalam rumah tangga, sebab segala bentuk kekerasan
25
merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap
martabat manusia.
3. Menginginkan semua penduduknya khususnya pada perempuan harus
mendapatkan perlindungan dari negara dan atau masyarakat agar
terhindar dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan atau
perlakuan yang merendahkan derajat manusia.
4. Menginginkan terjaminnya perlindungan untuk perlindungan untuk
korban kekerasan dalam rumah tangga dengan sistem hukum yang ada
di Indonesia.
Untuk mewujudkan apa yang diinginkan oleh pemerintah, telah
merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah
tangga, menyelenggarakan komunikasi, informasi dan edukasi tentang
kekerasan dalam rumah tangga, menyelenggarakan sosialisasi dan
advokasi tentang kekerasan dalam rumah tangga, menyelenggarakan
pendidikan dan pelatihan gender serta menetapkan standar dan akreditasi
pelayanan sensitive geender.
Realita yang terjadi di masyarakat, ternyata masih ada banyak
kasus kekerasan terhadap perempuan atau kekerasan terhadap rumah
tangga adalah karena tidak adanya perlindungan oleh negara, masyarakat
maupun keluarga. Ini adalah akibat dari tidak adanya pemahaman yang
jelas tentang hak-hak dan kewajiban negara, masyarakat, ataupun anggota
keluarga.
Kekerasan terhadap perempuan juga disebabkan oleh
26
kecenderungan perilaku yang muncul masih menganggap perempuan
sebagi “konco wingking”. Perempuan harus dalam posisi “nrimo” dalam
bentuk sikap dan perilaku pasrah yang diterimanya sebagai bentuk
pengabdiannya, termasuk pasrah jika terjadi kekerasan terhadapnya.
E. Kekerasan terhadap Perempuan
1. Pengertian Kekerasan pada Perempuan
Pada pasal 1 Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap
Perempuan disebutkan bahwa, yang dimaksud dengan kekerasan
terhadap perempuan adalah setiap perbuatan berdasarkan pembedaan
jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat sengsara atau
penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau pshikologis, termasuk
ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan atau perampokan kemerdekaan
secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau di
dalam kehidupan pribadi (Wahid 2001:32)
Berkaitan dengan kekerasan terhadap perempuan, Harkristuti
Harkrisnowo mengutip Schuler mendefinisikan kekerasan terhadap
perempuan sebagai setiap kekerasan yang diarahkan kepada perempuan
hanya karena mereka perempuan (any violent act perpetrated on women
because they are women) (Martha 2003:23).
2. Faktor-faktor yang merupakan penyebab terjadinya kekerasan
terhadap perempuan.
Berikut ini dikemukakan teori-teori yang dipergunakan dalam
mendiskripsikan penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan
yaitu:
27
a. Teori Sub Budaya yang dikemukakan oleh M. Wolfgang dan F.
Ferracuti.
Asumsi yang dikemukan Wolfgang ini berlaku pada perilaku
kejahatan kekerasan terhadap perempuan. Umumnya bentuk
kekerasan yang ditawarkan Wolfgang ini terjadi pada masyarakat
(didasarkan pada struktur dan pola hubungan sosial ekonomi) yang
menampilkan ciri dominasi dan ketidakadilan melalui proses sosial
yang kompleks, sehingga menimbulkan sikap dan prilaku yang
mendukung pada kekerasan. Pada masyarakat berbudaya tertentu ,
kekerasan terhadap perempuan secara umum disebabkan oleh
kecenderungan prilaku yang muncul dalam budaya masyarakat
tersebut yang masih menganggap perempuan sebagai “konco
wingking”. Perempuan harus dalam posisi “nrimo” dalam bentuk
sikap dan prilaku pasrah yang diterimanya sebagai bentuk
pengabdiannya, termasuk pasrah jika terjadi kekerasan
terhadapnya.
b. Teori Kontrol Sosial
Teori ini pada asasnya menjelaskan bahwa moralitas dan nilai-
nilai susila merupakan varianel yang tersebar tidak merata diantara
manusia berkaitan dengan pergaulan hidup maka akan terdapat
empat unsur pengikat yang akan dikembangkan lebih lanjut:
1) Attachment atau ikatan
Berkaitan dengan kekerasan terhadap perempuan, orang
memiliki hubungan terikat dengan lingkungan sekitar dapat
menimbulkan sinergi saling mendukung satu sama lain.
Kuatnya kontrol lingkungan akan membatasi keinginan
melakukan perbuatan menyimpang/tindak kekerasan terhadap
perempuan.
2) Commitment atau keterikatan dalam subsistem konvensional.
Asumsi yang dikemukakan pada kemampuan seseorang
untuk selalu berusaha melakukan aksi/tindakan yang terbaik.
Hal
ini
berkaitan
dengan
kesadaran
untuk
mempertimbangkan untung dan rugi dari perilaku
konfirmitis. Kejahatan kekerasan yang ditimbulkan berkaitan
dengan rendahnya subsistem konvensional seperti sekolah,
pekerjaan, organisai yang kurang optimal. Asumsinya adalah
seseorang dengan sendirinya akan memperoleh hadiah
/award, uang, pengakuan bahkan status sosial bila semua
subsistem konvensional berfungsi dengan baik. Dengan
demikian peluang untuk melakukan kekerasan semakin kecil
28
karena tingginya penghargaan terhadap dirinya sendiri yang
diwujudkan dari subsistem konvensional.
3) Involvement atau berfungsi aktif dalam subsistem
konvensional
Semakin senggang/luang waktu yang dimiliki seseorang
maka semakin tinggi kecenderungannya untuk menimbulkan
perilaku menyimpang/kekerasan. Reaksi positif lebih sering
muncul pada perilaku seseorang yang menjaga diri dengan
kualitas dan prestasi terbaik bagi dirinya. Produk yang unggul
selalu mendapat tempat dimasyarakatnya dengan kedudukan
dan penghargaan sesuai dengan tingkat keunggulannya. Hal
ini disebabkan tingginya penghargaan terhadap peluang
waktu senggang yang semakin pendek sehinnga seseorng
menyadari betapa pentingnya pemanfaatan waktu secara
optimal. Dengan demikian kemungkinan untuk melakukan
perbuatan menyimpang/kekerasan semakin rendah
frekuensinya.
4) Beliefs atau percaya pada nilai-nilai moral dari norma-norma
dan nilai-nilai
pergaulan hidup.
Perilaku
menyimpang/kekerasan terhadap perempuan tidak akan
terjadi jika seseorang dibentengi oleh nilai-nilai ritual,
ibadah, nilai-nilai kepercayaan, dan norma yang mengikat
bagi dirinya. Kepercayaan dan keyakinan yang kuat
selanjutnya dapat di pompa kedalam perilaku yang tertata
baik oleh nilai moral dan agama. Kecenderungan untuk
melakukan kekerasan semakin kecil akibat tingginya
keyakinan dan kuatnya kesadaran yang diyakini seseorang
unuk dapat melakukan perbuatan yang menyimpang.
Berdasarkan asumsi diatas penulis setuju dengan teori kontrol
sosial yang dikemukakan oleh Travis Hirschi ini. Asumsi Yang
ditawarkan relevan dan argumentatif untuk mengurangi munculnya
bentuk-bentuk perilaku kejahatan terhadap perempuan (Martha
2003:28-30).
3. Bentuk-bentuk tindak kekerasan terhadap perempuan
Menurut Harkristuti Harkrisnowo dalam Aroma Elmina Martha
(2003:35-37), Bila dilihat dari muatannya, sebenarnya tindak
kekerasan terhadap perempuan dapat dibedakan dalam berbagai
bentuk, diantaranya:
a. Kekerasan fisik
29
Kekerasan fisik terhadap perempuan dapat berupa
dorongan, cubitan, tendangan, jambangan, pukulan, cekikan,
bekapan, luka bakar, pemukulan dengan alat pemukul, kekerasan
tajam, siraman dengan zat kimia atau air panas, menenggelamkan
dan tembakan. Kadang-kadang kekerasan fisik ini diikuti dengan
kekerasan seksual, baik berupa serangan kealat-alat seksual
(payudara dan kemaluan) maupun berupa persetubuhan paksa
(pemerkosaan). Pada pemeriksaan terhadap korban akibat
kekerasan fisik, maka yang dinilai sebagai akibat penganiayaan
adalah bila didapati perlukaan bukan karena kecelakaan pada
perempuan. Bekas luka itu dapat diakibatkan oleh suatu episode
kekerasan yang tunggal atau berulang-ulang, dari yang ringan
hingga yang fatal. Banyak hal yang dapat dicermati dokter sebagai
tanda-tanda adanya kekerasan. Pengamatan tersebut tidak hanya
terdapat jenis perlukaan dan penyebab perlukaan, melainkan juga
sikap/perilaku korban (istri) dan pengantarnya (suami).
b. Kekerasan seksual
Kekerasan seksual adalah setiap penyerangan yang bersifat
seksual terhadap perempuan, baik telah terjadi peretubuhan atau
tidak, dan tanpa memperdulikan hubungan antara pelaku dan
korban. Pembedaan aspek fisik dan seksual dianggap perlu, karena
ternyata tindak kekerasan terhadap perempuan yang bernuansakan
seksual tidak sekedar melalui perilaku fisik belaka.
c. Kekerasan Psikologi
Pada kekerasan psikologis, sebenarnya dampak yang
dirasakan lebih menyakitkan daripada kekerasan secara fisik.
Bentuk tindakan ini sulit untuk dibatasi pengertiannya karena
sensitivisme emosi seseorang sangat bervariasi. Identifikasi akibat
yang timbul pada kekerasan psikis sulit diukur.
d. Kekerasan ekonomi
Misalnya suami mengontrol hak keuangan istri, memaksa
atau melarang istri bekerja untuk memenui kebutuhan sehari-hari
keluarga, serta tidak memberi uang belanja, mamakai/menghabiskn
uang istri.
Selanjutnya Deklarasi Penghapusan kekerasan terhadap
Perempuan ini juga merumuskan bentuk-bentuk kekerasan terhadap
perempuan (pasal 2) yang harus dipahami tetapi pada hal-hal sebagai
berikut:
a. Kekerasan secara fisik, seksual dan pshikologis yang terjadi dalam
keluarga, termasuk pemukulan, penyalahgunaan seksual atas
perempuan kanak-kanak dalam rumah tangga, kekerasan yang
30
berhubungan dengan mas kawin, perkosaan dalam perkawinan,
perusakan alat kelamin perempuan dan praktek-praktek kekejaman
tradisional lain terhadap perempuan, kekerasan diluar hubungan
suami istri dan kekerasan yang berhubungan dengan eksploitasi.
b. Kekerasan secara fisik, seksual dan pshikologis yang terjadi dalam
masyarakat luas termasuk perkosaan, penyalahgunaan seksual,
pelecehan dan ancaman seksual ditempat kerja, dalam lembaga-
lembaga pendidikan dan sebagainya, perdagangan perempuan dan
pelacuran paksa.
c. Kekerasan secara fisik, seksual dan pshikologis yang di lakukan
atau dibenarkan oleh negara dimanapun terjadinya kekerasan
terhadap perempuan tersebut khususnya yang termasuk kekerasan
seksual diatas telah cukup diatur dalam peraturan perundang-
undangan kita (Katjasungkana 2001:81-82).
4. Jenis-jenis Kekerasan terhadap Perempuan
Terdapat tiga kriteria yang biasa digunakan dalam membuat
kategorisasi jenis-jenis kekerasan berbasis gender, diantaranya:
a. Kriteria Pertama:
Kriteria kekerasan yang ditawarkan oleh Coomaraswany, yaitu:
1) Jenis tindak kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan
semata-mata karena seksualitas dan jender mereka, seperti
tindakan perkosaan, pembunuhan bayi perempuan dan
perdagangan perempuan serta kejahatan seksual lainnya.
Semua perbuatan kekerasan ini secara fundamental
berhubungan erat dengan konstruksi masyarakat tentang
seksualitas perempuan dan perannya dalam hirarkhi sosial.
2) Jenis tindak kekerasan yang dialami perempuan karena
pertalian hubungannya dengan seorang laki-laki. Tindak
kekerasan jenis ini dapat berupa kekerasan domestik,
kejahatan yang berdalih kehormatan. Kekerasan kategori ini
muncul akibat pemposisian perempuan sebagai pihak yang
menjadi tanggungan dan mendapat perlindungan dari seorang
pelindung laki-laki, pertama ayahnya, kemudian suaminya.
3) Jenis tindak kekerasan yang ditimpakan kepada seseorang
perempuan kerena ia warga dari suatu etnis atas ras tertentu.
Hal ini biasanya terjadi dalam perang, kerusuhan atau
pertikaian antar kelas atau kasta. Perempuan dijadikan sarana
penghinaan terhadap kelompok lain dengan cara menyakiti,
melukai ataupun memperkosa dan membunuh mereka.
Praktek ini erat kaitannya dengan persepsi bahwa perempuan
adalah milik (proverty) laki-laki menjadi musuh dari laki-laki
lain, sehingga cara yang paling efektif menohok kelemahan
lawan adalah dengan menyerang perempuan miliknya.
b. Kriteria Kedua: Kriteria tempat terjadinya kekerasan
31
Bila kriteria ini digunakan maka ada tiga wilayah utama
tempat terjadinya kekerasan terhadap perempuan, yaitu: di dalam
keluarga (domestic violence), dilingkungan komunitas dan tempat
umum serta di tempat kerja. Kekerasan berbasis jender yang terjadi
di wilayah yang disebut terakhir ini sering dikenal dengan nama
non-domestic violence.
c. Kriteria Ketiga: Kriteria pelaku kekerasan
Berdasarkan kriteria ini dibedakan dua jenis kekerasan jender
yang dilakukan oleh orang dekat yang dikenal dan yang dilakukan
oleh pihak asing (strangers). Kekerasan berbasis gender yang
dilakukan oleh negara atau pihak-pihak yang direstui oleh negara
(state violence) termasuk dalam kategori yang kedua ini (Martha
2003 25-26).
Selain ketiga kriteria di atas, jenis-jenis kekerasan terhadap
perempuan meliputi:
1) Kekerasan dalam area domestik/hubungan intim personal.
Berbagai bentuk kekerasan yang terjadi di dalam hubungan
keluarga, antara pelaku dan korbannya memiliki kedekatan
tertentu. Tercukup di sini penganiayaan terhadap istri, pada
bekas istri, tunangan, anak kandung dan anak tiri, penganiayaan
terhadap orang tua, serangan seksual atau perkosaan oleh
anggota keluarga.
2) Kekerasan dalam area publik.
Berbagai bentuk kekerasan yang terjadi diluar hubungan
keluarga atau personal lain, sehingga meliputi berbagai bentuk
kekerasan yang sangat luas, baik yang terjadi di semua
lingkungan tempat kerja (termasuk untuk kerja-kerja domestik
seperti pembantu rumah tangga), di tempat umum (bus, pasar,
restoran, lembaga-lembaga pendidikan, publikasi atau produk
dan praktek ekonomis yang meluas, misalnya pelacuran,
maupun bentuk-bentuk lain).
3) Kekerasan yang dilakukan oleh/dalam lingkup Negara
Kekerasan secara fisik, seksual dan/atau psikologis yang
dilakukan, dibenarkan atau didiamkan terjadi oleh Negara
dimanapun terjadinya. Termasuk dalam kelompok ini adalah
pelanggaran kad asasi manusia dalam pertentangan antar
kelompok, dan situasi konflik bersenjata yang berkait dengan
pembunuhan, perkosaan (sistematis), perbudakan seksual dan
kekerasan paksa (Martha 2003:24).
32
5. Upaya pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan
terhadap Perempuan
Penanganan berarti proses, perbuatan, cara, menangani,
penggarapan (Tim Penyusun Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa, 1986:33).
Penanganan kekerasan terhadap perempuan dapat disimpulkan
sebagai suatu proses, cara menangani perbuatan-perbuatan kekerasan
yang dilakukan oleh pelaku tindak kekerasan yang tergolong
tindakan pelanggaran kaidah-kaidah, nilai-nilai maupun hukum yang
berlaku dalam kehidupan bermasyarakat.
Dalam hal kejahatan-kejahatan kekerasan disarankan untuk
membentuk komite (team) yang terintegrasi kedalam birokrasi
penegak hukum yang terdiri dari ahli-ahli dari berbagai bidang ilmu
pengetahuan (psikologi, sosiologi, sosiologi hukum, antropologi,
kriminologi, hukum pidana dan sebagainya) guna mengembangkan
pendekatan interdisipliner terhadap kejahatan-kejahatan kekerasan
dan merancang strategi pencegahan serta penanggulangannya,
khususnya dalam hal prediksi “violence chronocity”, mendisain
perangkat-perangkat violence-promotive (counter-Therapeutic) dan
violence-reducing (therapheutic). Rancangan tersebut akan
merupakan masukan bagi birokrasi penegak hukum, baik dalam
menentukan rencana atau pola dasar pencegahan kejahatan maupun
dalam operasionalnya (Kusumah 1990:39).
Secara teoritis, usaha penanggulangan dan pencegahan
kejahatan dengan kekerasan dapat diawali dengan penciptaan dan
pembinaan sistematik lingkungan, yang dapat mengurangi tahap-
tahap kekerasan dari orang-orang yang telah siap atau yang potensial
melakukan kekerasan, setidak-tidaknya untuk mengurangi jarak
antara kekerasan yang diharapkan dengan kekerasan aktual.
Mengintegrasikan kembali norma-norma yang mengijinkan
atau mendukung kekerasan ke dalam norma-norma dalam sistem-
sistem budaya kita, adalah usaha tindak lanjut yang sungguhpun
amat problematik, namun mau tidak mau harus di programkan guna
mengurangi kejahatan-kejahatan dengan kekerasan.
33
Mengfungsionalisasikan sistem peradilan pidana serta
mekanisme kerja unsur-unsurnya adalah salah satu usaha dalam
pelaksanaan program ini (Kusumah 1990:43).
Berbagai tindak kekerasan yang dialami kaum perempuan
membawa dampak pada beban fisik, psikis serta kesengsaraan bagi
korban tersebut. Maka masyarakat, aparat penegak hukum dan
pemerintah dituntut untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu
dalam upaya menangani kasus ini. Tindakan yang harus dilakukan,
antara lain:
a.Tindakan Preventif (tindakan pencegahan)
1) Mengenai sistem hukum
Ada tiga komponen yang harus diperhatikan di dalam
sistem hukum kita yakni isi/rumusan hukumnya (legal
substance), aparat penegak hukum/kelembagaan (legal culture)
serta kulture/kebiasaan (legal culture) yang hidup dalam
masyarakat kita.
Dalam praktek meski peraturan ada dan relatif cukup
baik, namun jika tidak dibarengi dengan perbaikan pada aparat
dan kelembagaanya juga tidak akan menghasilkan sesuatu yang
memuaskan. Demikian pula halnya dengan sikap dan cara
pandang masyarakat terhadap masalah kekerasan ini sangat
menentukan bagi pelaksanaan hukumnya.
Upaya untuk melakukan perubahan di tingkat
peraturannya yaitu dengan menciptakan sistem hukum yang
34
lebih sensitif gender, harus pula di barengi upaya untuk
membuat para penegak hukum responsif dan sensitif terhadap
kepentingan perempuan. Memasukkan masalah gender dan
hak-hak perempuan dalam kurikulum pendidikan khususnya
bagi para penegak hukum adalah sesuatu yang niscaya harus
dilakukan.
2) Bagi perempuan sebagai obyek tindak kekerasan
Bagi kita kaum perempuan yang terpenting adalah
perubahan pada cara kita menyikapi masalah kejahatan seksual
ini. Perubahan sikap ini adalah langkah awal yang sangat
penting bagi upaya pencegahan dan penanggulangannya.
b. Tindakan represif (penanggulangan)
Menindak secara tegas pelaku tindak kekerasan terhadap
perempuan. Di samping itu upaya yang bersifat pelayanan bagi
korban seperti misalnya pendirian Crisis Centre atau Rumah
Penampungan (Shelter) adalah sesuatu yang niscaya harus
dilakukan pula. Di sini tidak saja diperlukan solidaritas dan
empati dari semua pihak, tetapi suatu usaha konkrit yang dapat
membantu mereka yang memerlukan pertolongan akan lebih
membuka mata masyarakat bahwa masalahnya memang nyata
dan sangat sah untuk dipersoalkan. Usaha konkrit tersebut
misalnya dengan mendirikan pusat-pusat penanggulangan
(Women Crisis Centre) dan lain-lain (Katjasungkana 2001:115-
117).
Selain itu sebagai suatu usaha yang rasional untuk
menanggulangi kejahatan kekerasan terhadap perempuan dalam
lingkup rumah tangga dapat digunakan kebijakan kriminal
sebagai acuan atau dasar, dimana kebijakan kriminal menurut
Sudarto memiliki 3 arti yaitu:
35
dalam arti sempit, adalah sebagai keseluruhan asas atau
metoda yang mendasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum
yang berupa pidana. Dalam arti yang lebih luas adalah
keseluruhan dari fungsi aparatur penegak hukum termasuk
didalamnya cara kerja polisi dan pengadilan. Sedangkan dalam
arti yang paling luas adalah sebagai keseluruhan kebijakan yang
dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi
yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari
masyarakat.
Kebijakan kriminal dalam melakukan perlindungan sosial
dan penanggulangan kejahatan, hendaknya mempertimbangkan
konteks dan bentuk kejahatan yang ada di masyarakat. Kekerasan
terhadap perempuan dalam lingkup rumah tangga merupakan
kejahatan yang sedikit banyak terkait dengan konstruksi sosial-
kultural dalam masyarakat. Dalam kondisi yang demikian itu
maka diperlukan kebijakan yang aktif dari penguasa dalam arti
lebih besar intervensinya untuk melakukan upaya perlindungan
korban perempuan dari segala kriminalitas yang terjadi.
G.P. Hoefnagels mengutarakan bahwa upaya
penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan cara, a.
penerapan hukum pidana (crime law aplication), b. pencegahan
tanpa pidana (prevention without punishment), c. mempengaruhi
pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan
melalui mass media (influencing view of society on crime and
punishment/mass media).
Barda Nawawi, juga mengkonstantasi bahwa upaya
penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat dibagi 2, yitu
melalui jalur penal (hukum pidana), dan jalur non penal (bukan
hukum pidana). Butir (a) diatas merupakan jalur penal,
sedangkan butir (b) dan (c) adalah kelompok sarana non penal.
Kekerasan terhadap perempuan sebagai salah satu
kejahatan yang sangat terkait dengan masalah struktural dalam
masyarakat, maka upaya penanggulangan kekerasan terhadap
perempuan hendaknya ditempuh baik melalui sarana penal
maupun non penal, meliputi keseluruhan sistem hukum baik
komponen struktural, kultural maupun substantif.
H.L. Packer mengemukakan masih pentingnya penggunaan
sarana penal (sanksi pidana) dalam rangka menanggulangi
kejahatan dengan alasan sebagai berikut: (1). Sanksi pidana
sangatlah diperlukan, kita tidak bisa hidup sekarang atau di masa
mendatang tanpa pidana;(2). Sanksi pidana merupakan alat atau
sarana terbaik yang tersedia, yang kita miliki dalam menghadapi
kejahatan-kejahatan atau bahaya besar, serta tindakan untuk
menanggulangi kejahatan; (3). Sanksi pidana suatu ketika
merupakan “penjamin utama yang terbaik” dan suatu ketika
merupakan “pengancam yang utama” dari kebebasan manusia. Ia
36
juga merupakan penjamin apabila digunakan secara cermat dan
manusiawi dan merupakan pengancam utama apabila digunakan
secara sembarangan atau tanpa pandang bulu dan secara paksa.
Sebagai salah satu bagian dari metode penanggulangan
kejahatan, maka sarana penal bukan merupakan satu-satunya
tumpuan harapan dalam rangka menanggulangi kejahatan. Oleh
karena masalah kejahatan tidak dapat dilepaskan dari masalah
sosial dan masalah kemanusiaan. Sehubungan dengan hal
tersebut dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo sebagai berikut.
“Sekarang hukum tidak lagi dilihat sebagai suatu hal yang
otonom dan independen, melainkan dipahami secara fungsional
dan dilihat senantiasa berada dalam kaitan interdependen dengan
sub-sistem lain dalam masyarakat (Makalah dari S.
Wignjosoebroto).
F. Kerangka Pikir
Sebab-sebab tindak
kekerasan terhadap
perempuan
1. Budaya patriakhis
yang berkembang di
masyarakat
2. Pemahaman keliru
tentang ajaran
agama yang
ditafsirkan bahwa
laki-laki menguasai
perempuan
KEPUTUSAN BUPATI KUDUS
NOMOR 460/1301/2003
JPPA KUDUS
Tugas Pokok JPPA Kudus
1. Melakukan pengkajian dan
analisa terhadap
permasalahan yang
berhubungan dengan upaya
perlindungan perempuan
dan anak
2. Merumuskan kegiatan
JPPA Kabupaten Kudus
3. Melakukan monitoring dan
evaluasi atas pelaksanaan
kegiatan
Perempuan korban kekerasan
37
Faktor Internal:
1. kekurangan
Penanganan tindak kekerasan terhadap
perempuan oleh JPPA Kabupaten Kudus
1. Pendidikan dan latihan
2. Unsur medis
3. Penyadaran masyarakat
4. Kerjasama dengan aparat penegak
Hukum, LSM dan Ormas
Kendala-kendala
yang dihadapi
Faktor Eksternal:
1. Masih ada
tenaga ahli yang
professional di
dalam JPPA
2. Faktor keuangan
mengandalkan
dana dari APBD
saja
HAM
PEREMPUAN
TERLINDUNGI
anggapan dari
masyarakat bahwa
korban kekerasan
terhadap
perempuan masih
dianggap tabu
untuk diketahui
pihak luar
38
Persoalan kekerasan terhadap perempuan masih menjadi persoalan
serius di kalangan masyarakat, khususnya di Kabupaten Kudus. Hal ini
mempunyai hal-hal yang melatar belakangi yaitu budaya patriakhis yang
berkembang di masyarakat selain itu juga pemahaman keliru terhadap ajaran
agama yang ditafsirkan bahwa laki-laki menguasai perempuan menjadi
penyebab tindak kekerasan yang dialami kaum perempuan. Semua persoalan
diatas menyebabkan pemerintahan Kabupaten Kudus membentuk suatu
jaringan perlindungan bagi perempuandengan mengeluarkan Surat Keputusan
Bupati nomor 460/1301/2003 tentang pembentukan Jaringan Perlindungan
Perempuan dan Anak (JPPA) Kabupaten Kudus bahwa tugas pokok jaringan
sebagaimana dimaksud dalam Surat Keputusan tersebut yaitu melakukan
pengkajian dan analisa terhadap permasalahan yang berhubungan dengan
upaya perlindungan perempuan, merumuskan kegiatan Jaringan Perlindungan
Perempuan dan Anak (JPPA) Kabupaten Kudus, melakukan monitiring dan
evaluasi atas pelaksanaan kegiatan. Pola pikir masyarakat yang berpihak pada
laki-laki menyebabkan berbagai kebijakan dan perilaku yang mengorbankan
perempuan sebagai makhluk sub-ordinat, Banyak korban kekerasan berbasis
gender yang tutup mulut. Perempuan korban kekerasan seperti tersebut
sebenarnya sangat membutuhkan pihak lain, dimana korban bisa mengadukan
apa yang dialaminya, mengumpulkan kembali tenaganya untuk kemudian
bangkit dan berjuang merebut kembali hak-haknya. Dengan terbentuknya
JPPA, penanganan terhadap tindak kekerasan terhadap perempuan dilakukan
melalui pendidikan dan latihan, penyadaran masyarakat, kerjasama dengan
39
aparat penegak hukum, unsur medis, LSM dan Ormas. Walaupun begitu pihak
JPPA banyak sekali menghadapi kendala-kendala antara lain faktor internal
yaiu kurangnya tenaga ahli yang profesional di dalam Jaringan Perlindungan
Perempuan dan Anak (JPPA) Selain itu sumber keuangan di JPPA hanya
mengandalkan hanya dari APBD. Sedangkan faktor eksternalnya yaitu masih
ada anggapan dari masyarakat bahwa korban tindak kekerasan masih dianggap
tabu untuk diketahui pihak luar. Dengan terbentuknya Jaringan Perlindungan
Perempuan dan Anak (JPPA) di kabupaten kudus ini, menandakan bahwa para
pemerhati perempuan di dalam JPPA tersebut berupaya menangani kasus
tersebut. Hal ini terdorong oleh suatu tugas dan tanggung jawabnya yaitu
meningkatkan kesejahteraan perempuan. Dan terlindunginya Hak Asasi
Manusia bagi perempuan. Jika tugas dan tanggung jawabnya telah tecapai
berarti tugas pokok dari Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA)
sesuai Surat Keputusan Bupati nomor 460/1301/2003 tentang pembentukan
Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA) Kabupaten Kudus telah
tercapai.
Kerjasama yang dilakukan oleh Jaringan Perlindungan Perempuan dan
Anak (JPPA) dengan pihak lain dimungkinkan korban tindak kekerasan
terhadap perempuan mendapatkan perlindungan serta menindak lanjuti kasus
tersebut sampai pada tingkat Pengadilan, sehingga pelaku tindak kekerasan
terhadap perempuan dapat ditindak tegas dan dihukum seadil-adilnya sesuai
dengan kesalahannya.
40
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
40
Penelitian ini menggunakan metode penelitian dengan pendekatan
kualitatif. Menurut Bogdan dan Taylor yang dimaksud dengan penelitian
kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa
kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati
(Moleong 2002:3).
Penelitian ini menyusun desain secara terus menerus disesuaikan
dengan kenyataan di lapangan.. Dengan dasar tersebut, maka penelitian
kualitatif diharapkan mampu memberikan gambaran tentang penanganan
JPPA Kabupaten Kudus terhadap tindak kekerasan perempuan secara
profesional, sehingga dari data tertulis maupun melalui wawancara ini,
diharapkan dapat memaparkan secara lebih jelas dan berkualitas.
B. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini adalah di Jaringan Perlindungan Perempuan
dan Anak (JPPA) Jl. Diponegoro no. 31 Kudus.
C. Fokus Penelitian
Penelitian dapat dilakukan dengan adanya fokus. Penentuan fokus
suatu penelitian memiliki dua tujuan. Pertama, penetapan fokus dapat
41
membatasi studi. Jadi, dalam hal ini fokus akan membatasi bidang inkuiri.
Kedua, penetapan fokus itu berfungsi untuk memenuhi kriteria inklusi-
eksklusi atau memasukkan mengeluarkan suatu informasi yang baru diperoleh
dilapangan (Moleong 2002:62).
Dalam penelitian ini yang menjadi fokus penelitian adalah:
1. Upaya-upaya yang dilakukan JPPA dalam menangani kasus tindak
kekerasan terhadap perempuan, dengan indikator:
a. Pendidikan dan pelatihan
b. Unsur medis
c. Penyadaran masyarakat
d. Kerjasama dengan Aparat Keamanan, LSM dan Ormas
2. Proses penanganan yang dilakukan JPPA terhadap kasus tindak kekerasan
perempuan.
3. Kendala-kendala yang menghambat dalam upaya menangani kasus tindak
kekerasan terhadap perempuan.
D. Sumber Data Penelitian
Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah dengan
cara sebagai berikut:
1. Data Primer
Sumber data primer ini diperoleh langsung dari obyek penelitian atau
narasumber yang ada dilapangan yang kemudian akan dianalisis dalam
42
menemukan sumber data ini dilakukan wawancara dengan pegawai JPPA
kabupaten kudus guna mendapatkan informasi yang diperlukan dengan
jelas.
2. Data Sekunder
Sumber data sekunder ini merupakan sumber data yang diperoleh dari
penelitian kepustakaan dengan cara menelusuri atau mempelajari literatur-
literatur serta dokumen-dokumen resmi yang ada relevansinya dengan
obyek penelitian. Misal peraturan perundang-undangan, peraturan
pemerintah dan ketetapan-ketetapan lainnya.
E. Alat dan Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode wawancara dan dokumentasi.
1. Wawancara (Interview)
Dalam penelitian ini teknik wawancara digunakan sebagai cara
untuk mengumpulkan data. Menurut Moleong (2002:135) menjelaskan
bahwa wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan
ini dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (Interviewer) yang
mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (Intervievee) yang
memberikan jawaban atas pertanyaan. Metode ini digunakan untuk
mengungkap tentang upaya-upaya yang dilakukan JPPA Kabupaten
Kudus, proses penanganan kasus tindak kekerasan terhadap perempuan.
43
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan alat pengumpulan data
yang berupa pedoman wawancara yaitu instrumen yang berbentuk
pertanyaan yang dianjukan secara langsung kepada informan yaitu
petugas-petugas yang terkait dengan dengan penanganan kasus tindak
kekerasan terhadap perempuan di JPPA Kabupaten Kudus.
Wawancara dilakukan bersama Ibu Sri Endang Erowati, SH yang
merupakan ketua bidang I bidang perlindungan perempuan pada tanggal
16 Desember 2006 dan 20 Desember 2006 di sekretariat Jaringan
Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA) jl Diponegoro no. 31 Kudus
sedangkan Ibu Dra. Hj. Fahriyah selaku Ketua Bidang III Bidang Sumber
Daya Manusia dan Ibu Evi Hermiati selaku sekretaris umum pada tanggal
12 Februari 2007 di sekretariat Jaringan Perlindungan Perempuan dan
Anak (JPPA) jl. Diponegoro no. 31 Kudus. Selain melakukan wawancara
dengan anggota JPPA, peneliti juga mewawancarai korban kekerasan,
yaitu Sudarwati dan Supriyanti pada tanggal 15 Februari 2007 di rumah
masing-masing korban.
2. Dokumentasi
Metode dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau
variabel yang berupa buku catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah,
prasati, natulen rapat, agenda dan sebagainya (Arikunto 2002:206).
Dibandingkan metode lain, maka metode ini agak tidak begitu sulit, dalam
44
arti apabila ada kekeliruan sumber datanya masih tetap. Dengan metode
dokumentasi yang diamati bukan benda hidup tetapi benda mati.
Jenis dokumen yang akan digunakan dalam penelitian ini antara lain
adalah dokumen resmi dari kantor JPPA Kabupaten Kudus, dengan
melihat data form identitas korban, serta data tertulis yang berada di JPPA
Kabupaten Kudus, buku tentang kekerasan terhadap perempuan dengan
berbagai pengarang, downloud dari internet dan berbagai sumber lain
yang bisa digunakan.
F. Keabsahan Data
Keabsahan data sangat mendukung dalam menentukan hasil akhir
suatu peneliti. Oleh karena itu diperlukan suatu teknik pemeriksaan data.
Teknik pemeriksaan data yang digunakan adalah teknik triangulasi.
Triangulasi adalah teknik pemeriksaan data yang memanfaatkan sesuatu yang
lain diluar data itu untuk keperluan penegakan dan perbandingan terhadap
data itu (Moleong 2002:178).
Menurut Patton (1987:331) dalam Moleong (2002:178), triangulasi
dengan sumber berarti membandingkan dan membandingkan dan mengecek
balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan
alat yang berbeda dengan metode kualitatif. Triangulasi dengan sumber dapat
dicapai dengan jalan sebagai berikut:
1. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara.
2. Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi
penelitian dengan apa yang dikatakan sepanjang waktu
3. Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa
yang dikatakan secara pribadi.
4. Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai
pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa, orang yang
berpendidikan menengah atau tinggi, orang berada, orang pemerintahan.
5. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang
berkaitan.
45
Dalam penelitian ini, digunakan teknik triangulasi sumber yang
dicapai dengan jalan: Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu
dokumen yang berkaitan.
Gambar 2.
Wawancara
Sumber Data
Dokumen
G. Metode Analisis Data
Analisis data menurut Patton (1980:268) dalam bukunya Moleong
(2002:103), adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke
dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar.
Milles dan Huberman dalam HB. Sutopo, menyajikan dua model
pokok proses analisis.
Pertama, model analisis, dimana tiga komponen analisa (reduksi
data, sajian data, penarikan kesimpulan atau verifikasi) dilakukan saling
menjalin dengan proses mengumpulkan data dan mengalir bersamaan. Kedua,
model analisis interaksi, dimana komponen reduksi data dan sajian data
dilakukan bersamaan dengan proses pengumpulan data. Setelah data
terkumpul, maka ketiga komponen analisis (reduksi data, sajian data,
penarikan kesimpulan) berinteraksi.(Rachman 1999:120).
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan model yang kedua dari
penjelasan diatas yaitu menggunakan model analisis interaksi untuk
menganalisis data hasil penelitiannya. Data yang diperoleh di lapangan berupa
46
data kualitatif dan data tersebut kemudian diolah dengan model interaktif.
Langkah-langkah dalam model analisis interaksi sebagai berikut:
1. Pengumpulan data
Adalah mencari dan mengumpulkan data yang diperlukan yang
dilakukan terhadap berbagai jenis dan bentuk data yang ada di lapangan
kemudian data tersebut dicatat.
2. Reduksi data
Hasil penelitian di lapangan sebagai bahan mentah dirangkum,
direduksi, kemudian disusun supaya lebih sistematis untuk mempermudah
peneliti di dalam mencari kembali data yang diperoleh apabila diperlukan
kembali
3. Sajian data
Sajian data adalah sekumpulan informasi tersusun yang memberi
kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan
(Milles 1992:17).
Sajian data ini membantu peneliti untuk melihat gambaran keseluruhan
atau bagian-bagian tertentu dari hasil penelitian.
4. Verifikasi data/kesimpulan
Dari data yang diperoleh dari hasil wawancara, diobservasi kemudian
peneliti mencari makna hasil penelitian. Peneliti berusaha mencari pola,
hubungan serta hal-hal yang sering timbul. Dari hasil penelitian atau data
47
yang diperoleh peneliti membuat kesimpulan-kesimpulan kemudian di
verifikasi.
Penarikan kesimpulan hanyalah sebagian dari satu kegiatan dari
konfigurasi yang utuh. Kesimpulan-kesimpulan juga diverifikasi selama
penelitian berlangsung (Milles 1992:19). Dalam penarikan kesimpulan ini
didasarkan pada reduksi data dan sajian data yang merupakan jawaban
atas masalah yang diangkat dalam penelitian.
Secara skematis proses pengumpulan data, reduksi data, sajian data,
dan verifikasi data dapat digambarkan dalam tabel dibawah ini.
Gambar 3.
Pengumpulan Data
Penyajian Data
Reduksi Data
Penarikan
Kesimpulan atau
Verifikasi
(Miles dan Hoberman 1992:20)
Tabel 3
48
FOKUS PENELITIAN
a. Upaya-upaya yang
dilakukan JPPA dalam
menangani kasus tindak
kekerasan terhadap
perempuan
b. Proses penanganan yang
dilakukan JPPA
terhadap kasus tindak
kekerasan terhadap
perempuan
c. Kendala-kendala yang
menghambat dalam
upaya menangani kasus
tindak kekerasan
terhadap perempuan
Catatan: Semua data sama
metodenya
METODE
Wawancara
Data
INSTRUMEN
Pendekatan
dengan
wawancara
Catatan di
lapangan
ANALISIS
Mattew B. Milles dan
A. Michael Huberman
H. Prosedur Penelitian
49
Dalam penelitian ini, peneliti membagi dalam empat tahap, yaitu tahap
sebelum ke lapangan, pekerjaan lapangan, analisis data dan penulisan laporan.
Pada tahap pertama pra lapangan, peneliti mempersiapkan segala macam
yang dibutuhkan atau diperlukan peneliti sebelum terjun dalam kegiatan
penelitian, yaitu:
1. Menyusun rancangan penelitian.
2. Mempertimbangkan secara konseptual teknis serta praktis terhadap tempat
yang akan digunakan dalam penelitian.
3. Membuat surat izin penelitian.
4. Latar penelitian dan dinilai guna serta melihat dan sekaligus mengenal
unsur-unsur sosial dan fisik, situasi pada latar penelitian.
5. Menentukan informan yang akan membantu peneliti dengan syarat-syarat
peneliti.
6. Mempersiapkan perlengkapan penelitian.
7. Dalam penelitian, peneliti harus bertindak sesuai dengan etika terutama
berkaitan dengan tata cara peneliti berhubungan dengan lingkungan
terutama lembaga JPPA kudus dan harus menghormati semua nilai yang
ada didalamnya.
Pada tahap kedua yaitu pekerjaan lapangan peneliti dengan bersungguh-
sungguh dengan kemampuan yang dimiliki berusaha untuk memahami latar
50
penelitian. Dengan segala daya, usaha serta tenaga yang dimiliki oleh peneliti
dipersiapkan benar-benar dalam menghadapi lapangan penelitian.
Pada tahap ketiga yaitu analisis data. Setelah semua data yang diperoleh
dilapangan terkumpul, maka peneliti akan mereduksi dan menyajikan data
tersebut setelah ini dilakukan verivikasi data. Peneliti berusaha untuk mencari
hubungan serta hal-hal yang timbul. Setelah tahap analisis data selesai dan
telah diperoleh kesimpulan, penulis masuk tahap ke empat yaitu penulisan
laporan.
Dalam penulisan laporan, peneliti sesuai dengan hasil yang diperoleh
dilapangan (Moleong 2002:85-103).
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Profil Tentang Kota Kudus
51
Kabupaten Kudus merupakan salah satu dari 35 Kabupaten/Kota
yang ada di Provinsi Jawa Tengah. Terletak pada 110º 36'-110º-50' Bujur
Timur dan 6º 51'-7º 16' Lintang Selatan, Kabupaten Kudus berada di jalur
pantai utara (Pantura) yang menghubungkan antara Kota Surabaya dan
Kota Jakarta. Ibu Kota Provinsi Jawa Tengah ± 55 km ke arah timur
dengan luas wilayah ± 1250 ha. Dengan ketinggian rata-rata ± 55 meter
diatas permukaan laut, Kabupaten Kudus memiliki iklim tropis,
temperatur sedang curah hujan rata-rata ± 2500 mm/tahun dan ± 132
hari/tahun.
Kabupaten Kudus terdiri dari 9 Kecamatan, 124 Desa dan 7
Kelurahan, Kabupaten Kudus mempunyai batas wilayah sebelah Utara
berbatasan dengan Kabupaten Pati adapun sbelah Selatan dari Kabupaten
Kudus berbatasan dengan Kabupaten Purwodadi sedangkan sebelah Timur
Kabupaten Kudus berbatasan dengan Kabupaten Demak dan sebelah Barat
Kabupaten Kudus berbatasan dengan Kabupaten Jepara.
Kabupaten Kudus merupakan bagian dari Karisidenan Pati dan
dilewati jalur transportasi ke arah Provinsi Jawa Timur.
52
Bila mengunjungi Kabupaten Kudus dapat diawali dari Kaligawe
Semarang dengan satu setengah jam perjalanan ke arah Timur melewati
wilayah Kabupaten Demak. Sampai di perbatasan antara Kabupaten
Demak dan Kabupaten Kudus terdapat tugu perbatasan yang cukup jelas
dilihat dan ucapan selamat datang di Kabupaten Kudus. Perjalanan dari
tugu perbatasan sampai ke pusat Kota Kudus memakan waktu ± 15 menit
ke arah Utara.
Kabupaten Kudus juga merupakan Kota Religius dan Kota bersih
yang syarat dengan prestasi yang dapat dibuktikan dengan beberapa kali
memperoleh penghargaan, antara lain: ADIPURA, ADIPURA
KENCANA, PARASAMYA PURNA KARYA NUGRAHA.
2. Gambaran Tentang Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak
(JPPA)
Kabupaten Kudus memiliki organisasi perlindungan perempuan yang
cukup menonjol dalam aktifitas dan kegiatannya. Organisasi wanita ini
baik yang ada di setiap unit instansi Pemerintah/Lembaga swasta maupun
yang keberadaanya muncul secara mandiri.
Sebagai kota industri, perlu disadari bahwa di Kabupaten Kudus
mempunyai dinamika sangat tinggi. Disisi lain, Kabupaten Kudus
merupakan kota santri menjadi penyeimbang kehidupan, sekalipun
masyarakat sangat kompetitif tetapi juga diwarnai oleh kehidupan agamis
yang baik. Dinamika sebagai kota industri tidak jarang sering
53
menimbulkan permasalahan yang membawa korban, yaitu perempuan.
Apalagi dengan keterlibatannya di berbagai industri, perempuan rentan
terhadap permasalahan ketidakadilan jender.
Pemerintah Kabupaten Kudus cukup tanggap terhadap permasalahan
tersebut. Dengan lahirnya Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak
(JPPA) pada tanggal 15 November 2003 ditetapkan dengan Surat
Keputusan Bupati Nomor 460/1301/2003 dengan tugas pokok
“Melakukan pengkajian dan analisa terhadap permasalahan yang
berhubungan dengan upaya perlindungan perempuan dan anak”.
Berdirinya Jaringan Perlindungan Perlindungan Perempuan dan Anak
(JPPA) didasari oleh keinginan untuk meningkatkan kesejahteraan
perempuan dan anak melalui perlindungan hak-haknya. Jaringan
Perlindungan perempuan dan Anak (JPPA) Kabupaten Kudus
mendapatkan dukungan pembiayaan dari Anggaran Pendapatan Belanja
Daerah (APBD) Kaupaten Kudus. Selain itu secara formal didalam
susunan tata organisasi Pemerintah Kabupaten sebagai sub-bag
pemberdayaan perempuan dibawah koordinasi bagian sosial.
3. Struktur Organisasi Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak
(JPPA)
Susunan organisasi Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak
(JPPA) terdiri dari ketua umum, ketua I, ketua II, ketua III, ketua IV,
ketua V, sekretaris I, sekretaris II, bendahara I, bendahara II, ketua bidang
54
I, ketua bidang II, ketua bidang III, ketua bidang IV, ketua bidang V,
ketua bidang VI.
Setiap ketua bidang mempunyai tugas dan bidangnya sendiri-sendiri.
Bidang-bidang tersebut yaitu:
a. Ketua bidang satu (I) bertugas di bidang perlindungan perempuan
b. Ketua bidang dua (II) bertugas di bidang perlindungan anak
c. Ketua bidang tiga (III) bertugas di bidang Sumber Daya Manusia
d. Ketua bidang empat (IV) bertugas di bidang penyuluhan
e. Ketua bidang lima (V) bertugas di bidang penelitian dan
pengembangan
f. Ketua bidang enam (VI) bertugas di bidang advokasi
Dari semua bidang tersebut, memiliki masing-masing anggota yang
berdedikasi di bidangnya.
NO.
55
Tabel 5. Susunan Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA)
NAMA/JABATAN KEDUDUKAN KETERANGAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14
15.
16.
17.
18.
19.
20.
Bupati Kudus
Hj. Noor Haniah
Anita Rahmawaty, M.Ag
Sudarli
Drs. Yuli Kasiyanto, M.Pd
Sri Mulyaningsih, S.Pd
Dra. Hj. Noor Aini
Arief Rubadi, BA
Suprapti
Dra. Nur Hidayah
Siti Aminah
Sri Endang Erowati, SH
Eni Mardiyanti
Masningsih
Hj. Rusdah
Indah Susilowati
Ernis Ismiyati, S. Ag
Parsono
Dra. Asiyah
Tumini
Pelindung dan Penasehat
Ketua Umum
Ketua I
Ketua II
Ketua III
Ketua IV
Ketua V
Sekretaris I
Sekretaris II
Bendahara I
Bendahara II
Ketua Bidang I
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Ketua Bidang II
Anggota
Anggota
Anggota
Bidang Perlindungan Perempuan
Bidang Perlindungan Anak
NO.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
35.
36.
37.
38.
39.
40.
41.
NAMA/JABATAN
Hj. Wasal
Hj. Ulyah
Dra. Hj. Fahriyah
Jaryatiningsih, SE
Lis Aminto
Istiqomah
Fatonah, S.Ag
Nunuk Kartinem, SH
dr. Alina
dr. Handaningrum
Dyah Citrawati, S.Psi
Siti Muflichah, M. Ag
Sucipto, M.Pd
Zaenal Khafidin, M. Ag
Dra. Mamik Indaryati, MS
M. Wijanarko, S.Psi
Dra. Farida Yuliani, M. Si
Suciningtyas, SH, M.Hum
Any Ismayati, SH, M.Hum
Drs. H. Abdul Karim, M.Pd
Abdul Jalil, S.Ag
KEDUDUKAN
Anggota
Anggota
Ketua Bidang III
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Ketua Bidang IV
Anggota
Anggota
Anggota
Ketua Bidang V
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Ketua Bidang VI
Anggota
Anggota
Anggota
KETERANGAN
Bidang Sumber Daya Manusia
Bidang penyuluhan
Bidang Penelitian Pengembangan
Bidang Advokasi
56
57
4. Peranan JPPA Dalam Penanganan Kasus Tindak Kekerasan
Terhadap Perempuan.
Peran Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA) sebagai
LSM masyarakat yang bergerak dalam bidang sosial, dimana JPPA
sebagai relawan pendamping ikut bertanggung jawab dalam membantu
menangani kasus tindak kekerasan terhadap perempuan dengan
melakukan tindakan sebagai berikut:
a. Upaya yang Dilakukan oleh Jaringan Perlindungan Perempuan
dan Anak (JPPA) Dalam Menangani Tindak Kekerasan Terhadap
Perempuan.
Masalah kekerasan terhadap perempuan bukan merupakan
masalah baru, namun hingga kini masih juga belum ditemukan cara
penanganannya yang efektif, karena itu masih sering terdengar
berbagai keluhan bahwa pada waktu korban melapor, ternyata kurang
mendapatkan perhatian dan pelayanan yang maksimal dan belum
mampunya memberi rasa aman.
Fenomena kenyataan yang ada, Pemerintah Kabupaten Kudus
secara sigap dan tanggap membentuk suatu ruang pelayanan yang
diawali dengan munculnya orang-orang yang berkompeten
dibidangnya yang terwadahi dalam Jaringan Perlindungan Perempuan
dan Anak (JPPA). Selain menangani kasus kekerasan terhadap
perempuan Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak juga
58
meningkatkan kesejahteraan perempuan dan anak dengan
memperhatikan keadilan dan perlindungan terhadap perempuan dan
anak.
Keterangan Ibu Sri Endang Erowati, SH yang merupakan ketua
bidang I bidang perlindungan perempuan pada tanggal 16 Desember
2006 di sekretariat Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak
(JPPA) jl. Diponegoro no. 31 Kudus bahwa, upaya Jaringan
Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA) Kabupaten Kudus dalam
menangani kasus tindak kekerasan terhadap perempuan adalah dengan
menindak tegas pelaku kekerasan terhadap perempuan dengan cara
mendampingi korban kekerasan sampai penyidikan di Kepolisian dan
akhirnya sampai ke pihak Pengadilan. Dalam menangani kasus-kasus
tindak kekerasan terhadap perempua, anggota dari Jaringan
Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA) harus benar-benar
melindungi dan terpihak pada para korban dan menetapkan pasal-pasal
dari KUHP ataupun Peraturan Perundang-undangan lain yang dapat
mendukung keadilan bagi para perempuan korban kekerasan dan
menjerat pelaku tindak kekerasan terhadap perempuan (wawancara
tanggal 16 Desember 2006).
Akan tetapi yang perlu dicermati oleh anggota Jaringan
Perlindungan Perempun dan Anak (JPPA) yaitu dalam melihat kasus
yang ditangani, apabila terhadap kasus yang tidak memenuhi unsur
pidana maka upaya penyelesaiannya melalui konseling atau kerjasama
dengan fungsi lain di Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak
(JPPA) bidang Sumber Daya Manusia (SDM) ditangani oleh Ketua
Bidang III Ibu Dra. Hj. Fahriyah, instansi terkait dan mitra kerja/LSM
lain. Dan jika kasus yang ditangani memenuhi unsur pidana maka
untuk penyelesaiannya dapat dilimpahkan ke pihak kepolisian untuk
dilakukan penyidikan dan pemeriksaan yang ditangani oleh Ketua
Bidang I Ibu Sri Endang Erowati, SH (Wawancara tanggal 16
Desember 2006).
Bentuk-bentuk kegiatan yang dilakukan Jaringan Perlindungan
Perempuan dan Anak (JPPA) dalam menunjang peranannya untuk
59
membantu menangani kasus tindak kekerasan terhadap perempuan
antara lain :
1. Pendidikan dan pelatihan bagi anggota Jaringan Perlindungan
Perempuan dan Anak (JPPA)
Sebelum anggota dari JPPA menjalankan tugas dan
fungsinya sebagai relawan pendamping, maka para anggota dari
JPPA tersebut sebelumnya dipilih oleh Ibu Hj. Noor Hani’ah
selaku Ketua Umum yang notabene Wakil Bupati Kudus. Para
Anggota tersebut dipilih berdasarkan kemampuan dan loyalitasnya
untuk meminimalisir kasus tindak kekerasan terhadap perempuan
di Kota Kudus. Anggota JPPA Kabupaten Kudus terdiri dari para
Dokter dan Dosen dari Universitas Muria Kudus (UMK) serta
anggota lain yang memiliki dedikasi yang tinggi di bidangnya.
Setelah organisasi yang dipilih oleh Ketua Umum tersebut
resmi menjadi anggota JPPA secara organisatoris atau struktural,
maka selanjutnya mereka mendapatkan pendidikan dan pelatihan.
Adapun bentuk pendidikan dan pelatihan tersebut yaitu :
Karena anggota JPPA merupakan orang-orang yang sudah
cukup ahli dan berpengalaman maka pihak JPPA hanya
memberikan pelatihan dan pengetahuan melalui seminar dan
penyuluhan-penyuluhan dengan mendatangkan tenaga ahli yang
sudah cukup lama menjadi pemerhati kasus tindak kekerasan
terhadap perempuan yaitu mendatangkan anggota dari LSM Rifka
Annisa dan Dosen dari UNDIP untuk memberikan pelatihan dan
penyuluhan kepada anggota JPPA Kabupaten Kudus (wawancara
tanggal 12 Februari 2007).
2. Unsur Medis
60
Dalam melaksanakan upaya penanganan terhadap tindak
kekerasan yang dialami pihak perempuan, Jaringan Perlindungan
Perempuan dan Anak (JPPA) yang bertugas melindungi,
mengayomi dan melayani masyarakat tidak dapat berdiri sendiri.
Dalam proses penyidikan untuk menemukan pembuktian terhadap
suatu tindak kekerasan perempuan, Polisi selaku penyidik
membutuhkan bantuan dari unsur medis. Hal ini dibutuhkan untuk
mencari bukti bahwa telah terjadi tindak kekerasan melalui visum
yang dilakukan oleh pihak rumah sakit atau yang ahli dibidangnya.
Dalam hal ini Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA)
bertugas mendampingi korban tindak kekerasan terhadap
perempuan. Dengan adanya petunjuk atau bukti telah terjadinya
tindak kekerasan melalui proses visum yang dilakukan oleh pihak
rumah sakit tersebut maka Jaringan Perlindungan Perempuan dan
Anak (JPPA) sebagai pendamping dalam hal ini adalah ketua
bidang I yang diwakili oleh Ibu Endang Sri Erowati, SH dan
anggota berhak melimpahkan kasus ini kepihak kepolisian, oleh
karena itu polisi sebagai penyidik bertugas untuk menindak lanjuti
kasus tersebut sampai tuntas, adil dan profesional. Dalam hasil
visum, Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA) Kudus
telah bekerja sama dengan Rumah Sakit Umum Daerah yang
61
beralamat di jalan dr. Lukmonohadi nomor 19 Kudus sebagai mitra
kerja dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan.
3. Penyadaran Masyarakat
Dengan meningkatnya kasus-kasus kekerasan terhadap
perempuan akhir-akhir ini membawa konsekuensi yang tinggi
terhadap kinerja dari aparat penegak hukum untuk menyikapi dan
menindak tegas terhadap pelakunya. Fenomena tersebut diatas
merupakan masalah sosial yang harus disikapi dan ditekan angka
kasusnya melalui berbagai upaya diantaranya melalui penyadaran
terhadap masyarakat luas mengenai akibat dari tindak kekerasan
terhadap perempuan tersebut. Tidak hanya orang dewasa yang
perlu penyadaran tetapi juga remaja agar kelak tidak melakukan
tindak kekerasan terhadap perempuan. Hal tersebut dapat
dilakukan melalui upaya Jaringan Perlindungan Perempuan dan
Anak (JPPA) untuk bekerjasama dengan tokoh-tokoh pemuka
Agama, dengan lembaga edukatif baik formal maupun informal.
Dalam mensosialisasikan penerapan Undang-Undang No 7 tahun
1984 tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap
perempuan, serta stratifikasi dan penerapan komitmen
internasional yang lain (Subhan 2004:62-63). Dan bahaya yang
akan dirasakan oleh masyarakat pada umumnya serta bagi
perempuan pada khususnya.
62
Berdasarkan wawancara dengan Hj. Fahriyah selaku Ketua
Bidang III mengatakan bahwa bentuk-bentuk kegiatan yang
dilakukan oleh pihak Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak
(JPPA) dalam menjembatani hubungan kerjasama dengan
masyarakat luas yaitu melalui kegiatan seminar, penyuluhan dan
kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial serta memberikan
pengetahuan-pengetahuan umum pada masyarakat dan pelajar
mulai dari SLTP sampai SMU dan yang sederajat tentang kasus
tindak kekerasan terhadap perempuan (wawancara tanggal 12
Februari 2007).
Hal ini sesuai dengan keterangan dari Ibu Sudarwati yang
mengungkapkan :
“ Saya tahu JPPA waktu ada penyuluhan di desa saya, lalu
timbul keinginan untuk melaporkan suami saya” (wawancara
tanggal 15 Februari 2007).
4. Kerjasama Dengan Pihak Lain (Kepolisian, LSM dan Organisasi
Masyarakat)
a. Kepolisian
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, JPPA Kabupaten
Kudus membutuhkan kerjasama dari bantuan pihak lain yang
terkait terhadap penanganan kasus tindak kekerasan terhadap
perempuan. Upaya kerjasama tersebut diantaranya kerjasama
dengan pihak Kepolisian.
Kepolisian sebagai aparatur penegak hukum membantu
tugas JPPA Kabupaten Kudus menangani kasus kekerasan
terhadap perempuan yang memenuhi unsur pidana, karena hal ini
63
sesuai dengan tugas aparatur sebagai penyidik yang nantinya
akan membantu membuat terang tentang terjadinya tindak pidana
kekerasan terhadap perempuan melalui pengumpulan bukti-bukti
yang ada.
Berdasarkan wawancara dengan Supriyanti seorang korban
kekerasan mengatakan :
“Waktu itu saya disuruh keluarga saya ke JPPA untuk
melaporkan suami saya dan keluarga saya meminta agar JPPA
membantu masalah saya sampai di pengadilan” (Wawancara
tanggal 15 Februari 2007).
Hal tersebut dilakukan untuk membantu korban
kekerasan agar mendapatkan perlindungan dan keadilan hukum
serta bagi pelaku dapat dijerat dengan hukuman yang sesuai
dengan apa yang diperbuatnya. Dalam membantu pelaksanaan
tugas dan fungsinya sebagai pendamping korban, JPPA menjalin
kerjasama dengan instansi aparat penegak hukum, dalam hal ini
RPK yang berada di bawah naungan struktur organisasi dari
POLRES Kudus (Sumber: Keterangan Ibu Endang Erowati, SH)
b. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA)
merupakan organisasi perempuan yang secara formal berada
didalam susunan organisasi Pemerintah Kabupaten Kudus
sebagai sub bagian pemberdayaan perempuan di bawah
64
koordinasi bagian sosial. Tugas dan Fungsi dari JPPA yaitu
melakukan pengkajian dan perlindungan terhadap fenomena
permasalahan kasus kekerasan perempuan dan anak di
Kabupaten Kudus.
Dalam membantu menjalankan tugas dan fungsinya
tersebut, selain bekerjasama dengan aparat penegak hukum,
JPPA juga membutuhkan LSM lain dalam menjalankan tugasnya
untuk melakukan pengkajian dan analisa terhadap permasalahan
yang berhubungan dengan upaya perlindungan terhadap
perempuan. Meskipun hubungan JPPA dengan LSM lain tidak
secara langsungdalam arti struktural, akan tetapi kerjasama
tersebut sangat diperlukan oleh JPPA untuk berinteraksi dalam
memberikan informasi kasus dan memberikan masukan-masukan
yang berhubungan dengan penanganan kasus tindak kekerasan
terhadap perempuan. Dengan adanya hubungan kerjasama
dengan LSM ini baik ditingkat regional maupun nasional
diharapkan akan membantu dampak positif bagi perkembangan
informasi mengenai arti penting perlindungan terhadap
perempuan, sehingga kasus tindak kekerasan terhadap
perempuan tersebut bisa diminimalisir (Sumber: Keterangan Ibu
Endang Erowati, SH).
c. Organisasi Kemasyarakatan (ORMAS) Aisiyah
65
Upaya kerjasama dengan Ormas oleh JPPA Kabupaten
Kudus merupakan usaha yang baik, dimana ormas merupakan
organisasi masyarakat yang bersifat sosial, yang nantinya bisa
membantu JPPA dalam melaksanakan tugasnya dalam
memberikan penyuluhan dalam rangka menyadarkan
masyarakat, khususnya kaum perempuan tentang bentuk-bentuk
kekerasan terhadap perempuan beserta akibatnya sehingga
kekerasan terhadap perempuan dapat diminimalisir bahkan
dihilangkan.
Kerjasama antara Jaringan Perlindungan Perempuan dan
Anak (JPPA) dengan Organisasi Kemasyarakatan (ORMAS) ini
selain bisa menjadi output melalui penyuluhan yang dilakukan
oleh JPPA, kerjasama ini juga bisa dijadikan sebagai input bagi
JPPA dalam hal menggalang dana dari donatur-donatur anggota
ormas tersebut yang mau membantu JPPA dalam upayanya
menjalankan tugas dan fungsinya membantu para korban
kekerasan.
66
b. Proses Penanganan Kasus Tindak Kekerasan Terhadap
Perempuan yang Dilakukan Oleh Bidang I Jaringan Perlindungan
Perempuan dan Anak (JPPA)
Proses penanganan terhadap kasus tindak kekerasan terhadap
perempuan berdasarkan keterangan dari Sri Endang Erowati, SH pada
tanggal 16 Desember 2006 di Kantor sekretariat Jaringan Perlindungan
Perempuan dan Anak (JPPA) Kabupaten Kudus yang beralamat di
jalan Diponegoro nomor 31 Kudus, dalam menangani kasus tindak
kekerasan terhadap perempuan secara prosedural tahapan-tahapan
proses penanganan kasus tindak kekerasan terhadap perempuan secara
garis besar adalah sebagai berikut:
1. Penerimaan laporan atau pengaduan dari korban, saksi korban atau
keluarga korban kekerasan. Laporan tersebut dibuat di sekretariat
Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA).
2. Pembuatan berita acara kronologis kejadian ditangani oleh Bidang
I berdasarkan laporan atau pengaduan dari korban, saksi korban
atau keluarga korban
3. Bidang I membuat laporan yang ditujukan kepada ketua umum
kemudian ketua umum menerbitkan surat tugas kepada bidang I
untuk menindak lanjuti kasus tersebut
4. Upaya konseling dilakukan dengan memberikan pembinaan antara
pihak yang bertikai alternatif pemecahan masalah. Alternatif yang
67
dimaksud adalah bahwa pihak Jaringan Perlindungan Perempuan
dan Anak (JPPA) Kabupaten Kudus akan membantu
menyelesaikan masalah baik secara kekeluargaan atau damai
maupun secara hukum.
5. Pelimpahan perkara kepada penuntut umum dan pengembaliannya
kepada penyidik untuk disempurnakan (wawancara tanggal 20
Desember 2006).
Dari keterangan diatas dapat digambarkan alur proses penanganan
pihak Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA) Kabupaten
Kudus terhadap tindak kekerasan terhadap perempuan sebagai berikut:
Gambar 4.
Upaya
Damai
Berita Acara
Pemeriksaan
Saksi
Laporan
Pengaduan
Bidang I
Konseling
Kepolisian
Ketua Umum
JPPA
Upaya Hukum
Visum Et
Repertum
68
Penyidikan & Penyelidikan
Pra Penuntutan
Mengingat bahwa anggota JPPA merupakan relawan
pendamping bagi korban tindak kekerasan terhadap perempuan, maka
dalam membantu penyelesaian kasus tindak kekerasan terhadap
perempuan yang memenuhi unsur tindak pidana maka anggota JPPA
69
tersebut mendampingi korban sejak masuknya laporan pengaduan dari
korban sampai pada penyelesaian tingkat akhir (putusan pengadilan).
Dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan Jaringan
Perelindungan Perempuan dan Anak (JPPA) Kudus selalu dibantu oleh
anggota-anggota bidang lain dalam menjalankan tugasnya. Hal ini
mengingat keterbatasan jumlah personil, profesionalitas serta situasi
dan kondisi dari para anggota bidang I yang mengampu bidang
perlindungan perempuan. Akan tetapi mengingat tugas dari anggota
bidang I juga sebagai ibu rumah tangga yang juga harus mengurus
keluarga dan kegiatan yang lain, maka secara operasional untuk
berjaga dua puluh empat jam anggota Jaringan Perlindungan
Perempuan dan Anak (JPPA) bidang I diatur dengan sistem “on call”
dimana apabila ada kasus yang harus ditangani pada malam hari yang
tidak memungkinkan anggota dari bidang I untuk bersiaga malam
maka dengan bantuan satpam yang bertugas siaga pada malam hari
dapat segera menghubungi salah satu anggota dari bidang I yang
membidangi perlindungan perempuan untuk segera menangani korban
kekerasan tersebut.
Apabila pelapor dalam hal ini korban kekerasan tersebut datang
ke sekretariat Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA)
Kudus sesuai jam kerja petugas, maka permasalahannya bisa langsung
ditangani di sekretariat tersebut, maka anggota bidang I membuat
70
laporan pengaduan dan laporan tersebut bersifat sangat rahasia.
Anggota bidang I yang bertugas saat itu menyerahkan laporan tersebut
kepada ketua bidang I untuk diproses lebih lanjut. Ketua bidang I
meneruskan laporan tersebut kepada ketua umum untuk mendapatkan
surat tugas penanganan (lihat model lampiran 1). Setelah mendapatkan
surat tugas dari ketua umum, ketua bidang I bersama anggotanya
berhak menindak lanjuti kasus tersebut. Laporan pengaduan tersebut
dipelajari oleh anggota bidang I dengan pelapor dan dihadapkan
kepada ketua bidang I untuk melakukan pemeriksaan awal atau upaya
konseling kepada korban. Dalam hal anggota JPPA memberikan
alternatif penyelesaian kepada korban dengan cara meminta pendapat
maupun persetujuan korban, apakah kasusnya dapat diselesaikan
secara kekeluargaan atau diproses secara hukum yang berlaku. Upaya
konseling tersebut dilakukan oleh anggota bidang I untuk mencermati
setiap kasus yang sedang ditangani yaitu dengan cara mendengarkan
dan mempelajari latar belakang kejadian atau peristiwa dari keterangan
korban atau pelapor sehingga apabila kasus yang ditangani mempunyai
unsur tindak pidana maka penyelesaiannya harus melalui jalur hukum
dengan melimpahkan kasus tersebut kepada pihak kepolisian sesuai
ketentuan yang berlaku, tetapi apabila kasus tersebut tidak memenuhi
unsur tindak pidana, maka penyelesaiannya dapat dilakukan dengan
cara upaya damai atau kekeluargaan. Upaya konseling tersebut sangat
71
diperlukan karena sangat berpengaruh bagi pemeriksaan nasib korban
maupun tersangka, sehingga anggota bidang I Jaringan Perlindungan
Perempuan dan Anak (JPPA) tidak salah dalam mengambil keputusan
dan tindakan, karena hal ini akan berpengaruh bagi kinerja Jaringan
Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA) sebagai LSM yang
melindungi perempuan selain itu berpengaruh pula kepada aparat
penegak hukum dalam memberikan perlindungan perlindungan,
pengayoman dan pelayanan pada masyarakat pada umumnya dan
korban pada khususnya. Setelah mendapatkan persetujuan dari korban
kekerasan bahwa korban meminta agar kasusnya diselesaikan secara
hukum maka selanjutnya ketua bidang I mendampingi korban untuk
melimpahkan kasus tersebut kepada pihak kepolisian agar segera
dibuatkan berita acara pemeriksaan (BAP) saksi (lihat lampiran 2).
Setelah berita acara pemeriksaan saksi dibuat, maka pihak
kepolisian membuatkan surat untuk dilakukan visum di Rumah Sakit
Umum Daerah Kabupaten Kudus yang ditandatangani oleh Kasatserse
(lihat lampiran 4) sampai visum selesai dan dilakukan proses
selanjutnya. Sedangkan pihak Jaringan Perlindungan Perempuan dan
Anak (JPPA) sendiri hanya berhak mendampingi korban kekerasan
tersebut.
Dengan adanya bukti tindak kekerasan terhadap korban melalui
visum dari Rumah Sakit dan keterangan korban, maka pihak
72
kepolisian segera mengeluarkan surat perintah untuk melakukan
penyidikan (lihat lampiran 5) guna pengumpulan barang bukti. dan
menangkap pelaku melalui proses pemanggilan tersangka untuk
didengar keterangannya dalam peristiwa tindak pidana kekerasan
terhadap perempuan tersebut (lihat lampiran 6). Dengan tertangkapnya
tersangka, selaku penyidik pihak kepolisian menahan tersangka guna
kepentingan penyidikan lebih lanjut. Tersangka lalu ditahan di Polres
Kudus dua puluh hari sejak surat perintah penahanan dikeluarkan oleh
serse (lihat lampiran 8).
Di Polres Kudus, tersangka diperiksa mengenai kasus tindak
pidana yang disangkakan kepadanya dengan memperlihatkan barang
bukti yang disita oleh petugas berupa benda-benda yang diduga
digunakan tersangka untuk melakukan tindak kekerasan terhadap
korban yang diambil dari tempat kejadian perkara maupun yang
diperoleh dari bekas luka di tubuh korban berdasarkan visum dan hasil
keterangan dari laporan pengaduan korban melalui penyelidikan,
penyidikan oleh penyidik. Dan tersangka mengakui telah melakukan
tindak pidana yang disangkakan, semua keterangan tersangka
dituangkan dalam berita acara pemeriksaan tersangka (lihat lampiran
9).
Sesuai dengan ketentuan dalam pasal 109 KUHAP
73
“Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu
peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan
hal itu kepada penuntut umum”. Dengan telah dimulainya penyidikan
tindak pidana kekerasan terhadap perempuan penyidik
memberitahukan kepada Kepala Kejaksaan Negeri Kudus dan dengan
adanya pemberitahuan tersebut, maka Kepala Kejaksaan menunjuk
Jaksa Penuntut Umum untuk mengikuti perkembangan dan meneliti
hasil penyidikan.
Setelah penyidik merasa semua sudah lengkap dan memenuhi
semua persyaratan, maka semua tindakan yang sudah dilakukan
dituangkan kedalam berita acara secara tertulis untuk selanjutnya
dibuat dalam satu bendel berkas perkara yang berisi: sampul berkas
perkara, resume, laporan polisi, surat perintah penyidikan, surat
pemberitahuan dimulainya penyidikan ,Berkas Acara Pemeriksaan,
surat kuasa, surat perintah tugas, surat penggeledahan rumah, surat-
surat, daftar saksi, daftar tersangka, serta daftar barang bukti.
Berkas perkara yang dibuat oleh penyidik dalam hal ini anggota
Ruang Pelayanan Khusus (RPK) POLRES Kudus, telah selesai dan
dianggap lengkap sesuai keterangan diatas, maka berkas perkara
tersebut kemudian dilimpahkan kepada penuntut umum yang telah
ditunjuk oleh Kejaksaan Negeri Kudus untuk menangani kasus
74
tersebut. Penuntut Umum dalam waktu tujuh hari setelah memperoleh
berkas perkara dari penyidik, penyidik wajib memberitahukan apakah
hasil penyelidikan sudah lengkap atau belum.
Menanggapi pemberitahuan telah lengkapnya penyidikan dari
penuntut umum, maka penyidik segera mengirimkan dan menyerahkan
tersangka beserta barang bukti beserta barang bukti kepada Penuntut
Umum. Dengan telah diserahkannya berkas perkara oleh penyidik
kepada Penuntut Umum, maka tanggungan jawab dalam proses
penyidikan tindak pidana kekerasan terhadap perempuan telah selesai
dan berakhir. Tapi bagi pihak Jaringan Perlindungan Perempuan dan
Anak (JPPA) tanggung jawab untuk mendampingi korban belum
selesai. Tugas dan tanggung jawab ini akan selesai dan berakhir
setelah ada keputusan dari pihak Pengadilan untuk tersangka tindak
pidana kekerasan terhadap perempuan.
Dalam penelitian ini peneliti hanya memfokuskan pada kasus
tindak pidana kekerasan terhadap perempuan dari dua puluh kasus
yang ditangani oleh bidang I dari Jaringan Perlindungan Perempuan
dan Anak (JPPA) Kudus, dimana angka kasusnya sampai pada bulan
Desember 2006 mencapai dua puluh kasus yang diantaranya kasus
tindak pidana percobaan pemerkosaan dan penganiayaan, penghinaan,
pengrusakan dan pengancaman, pencemaran nama baik, perkosaan,
perbuatan tidak menyenangkan, perzinahan, perselingkuhan, serta
75
pencabulan dengan perempuan yang tidak berdaya. Dari dua puluh
kasus yang ditangani pihak Jaringan Perlindungan Perempuan dan
Anak (JPPA) Kudus sebagian kecil korbannya masih tergolong
dibawah umur. Hal ini sangat memprihatinkan dan perlu diupayakan
penanganannya secara maksimal demi terciptanya penegakan hukum.
Dari hasil wawancara dengan Ketua Bidang I Perlindungan
Perempuan, menyatakan bahwa kasus-kasus tindak kekerasan terhadap
perempuan yang ditangani oleh bidang I Jaringan Perlindungan
Perempuan dan Anak (JPPA) Kudus, enam belas kasus diantaranya
terselesaikan dan empat kasus masih dalam proses penanganan. Akan
tetapi pihak Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA)
Kudus hanya memberikan informasi bahwa hanya tujuh kasus yang
dapat diambil sebagai data observasi karena menyangkut kode etik
Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA) Kudus (lihat tabel
matrik observasi)
Berdasarkan wawancara dengan Ibu Sudarwati seorang korban
kekerasan mengatakan bahwa:
“Masalah saya ditangani JPPA, saya dipertemukan dengan suami
saya dan keluarga. Waktu itu saya menerima lagi dan memaafkan
suami saya karena dia berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya
lagi. Saya tidak membayar untuk menyelesaikan masalah saya, tetapi
saya hanya memberikan perangko balasan bersama dengan surat saya
ke JPPA” (wawancara tanggal 15 Februari 2007).
76
Dari enam belas kasus yang teselesaikan, sepuluh kasus
diantaranya telah terselesaikan secara damai atau kekeluargaan dimana
pihak pelapor telah mencabut pengaduannya kepada pihak Jaringan
Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA) bidang I dan enam kasus
terselesaikan melalui jalur hukum.
Berdasarkan dari data tersebut, menurut keterangan Sri Endang
Erowati, SH dapat dijelaskan bahwa kasus-kasus yang belum
terselesaikan yang ditangani oleh bidang I dikarenakan banyaknya
jumlah kasus tindak pidana yang masuk ke JPPA Kabupaten Kudus
dengan jumlah personil yang ada belum mencukupi, selain itu juga
dalam menangani kasus tindak pidana kekerasan terhadap perempuan
banyak menemui kendala-kendala yang sampai sekarang belum
terpecahkan solusinya, yang antara lain sarana dan prasarana,
keterbatasan dana yang dimiliki. Akan tetapi Jaringan Perlindungan
Perempuan dan Anak (JPPA) Kabupaten Kudus selalu berupaya untuk
menyelesaikan setiap kasus-kasus yang ditangani secara maksimal dan
bertindak profesional (wawancara pada tanggal 16 desember 2006).
5. Kendala-Kendala yang Menghambat Dalam Upaya Penanganan
Kasus Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Perempuan
Kendala-kendala yang menghambat Jaringan Perlindungan
Perempuan dan Anak (JPPA) Kabupaten Kudus dalam upaya
menangani kasus tindak kekerasan terhadap perempuan berdasarkan
ketentuan dari Ibu Sri Endang Erowati, SH (wawancara tanggal 20
Desember 2006).
a. Faktor Internal
Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA)
Kabupaten Kudus merupakan sebuah Lembaga Swadaya
77
Masyarakat (LSM) yang bernaung dibawah pemerintahan
Kabupaten Kudus dengan pelindung dan penasehat adalah Bupati
Kudus, mengingat peran Jaringan Perlindungan Perempuan dan
Anak (JPPA) di Kudus ini sangat vital dalam menangani kasus-
kasus kekerasan terhadap perempuan, maka Jaringan Perlindungan
Perempuan dan Anak (JPPA) Kudus dituntut mampu untuk
menanggapi maupun secara empati dalam melaksanakan tugas dan
tanggung jawabnya kepada korban. Karena korban adalah kaum
perempuan yang memiliki kepekaan dan sensitifitas sehingga
dibutuhkan suatu pelayanan khusus yang mampu mengerti dan
memahami keadaan korban. Oleh karena alasan tersebut, maka
anggota dari bidang I yang membidangi perlindungan perempuan
adalah wanita. Dalam bidang ini wanita-wanita tersebut dianggap
mampu menjalankan tugas yang dibebankan di pundak mereka
dalam ruang lingkup Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak
(JPPA) khususnya melayani kasus-kasus yang berhubungan
dengan perempuan karena mereka sama-sama memiliki perasaan
yang mampu mengerti keadaan serta kekurangan dari sesama
jenisnya yaitu kaum perempuan.
Akan tetapi mengingat kasus-kasus mengenai kekerasan
terhadap perempuan mengalami banyak peningkatan sehingga
pihak Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA) banyak
78
menemui kendala dalam hal ini yang berkaitan dengan kendala
struktural diantaranya mengenai segi kuantitas maupun kualitas
dari personel anggota bidang I masih kurang, sehingga terkadang
dalam melakukan proses penanganan sebuah kasus tindak
kekerasan terhadap perempuan memerlukan bantuan dari anggota
bidang lain, dan dari segi kualitas yaitu agar anggota bidang I
mempunyai anggota yang berkualifikasi maka diharapkan anggota
dari bidang I memiliki keahlian yang berkaitan dengan
profesionalitas dan keahlian di bidangnya yang diperoleh dari
pendidikan formal. Anggota bidang I dari Jaringan Perlindungan
Perempuan dan Anak (JPPA) Kudus yang profesional adalah
anggota dari bidang I yang mampu melakukan tugasnya sesuai
dengan kapasitas pendidikan yang diterimanya sekaligus mampu
menggunakan instrumen-instrumen hasil pengembangan ilmu
pengetahuan. Di dalam bidang I, anggotanya yang berpendidikan
tinggi hanya beberapa orang saja dan yang lain diambil
berdasarkan kualifikasi serta pelatihan yang mereka terima dalam
melayani dan menangani kasus yang berkaitan dengan perempuan
selama bertugas di Jaringan Perlindungan Perempusn dan Anak
(JPPA) Kabupaten Kudus.
Hambatan dari segi keterbatasan anggaran dana yang
tersedia untuk kepentingan dalam melakukan proses penanganan
79
terhadap suatu kasus yang membutuhkan dana cukup besar masih
dirasakan oleh pihak Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak
(JPPA) Kudus, hal ini dikarenakan dana yang tersedia belum
memenuhi standar karena sumber dana yang diperoleh Jaringan
Perlindungan perempuan dan Anak (JPPA) hanya dari Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Kudus saja.
Dalam melakukan tugas penanganan suatu kasus mereka
menggunakan dana dari APBD tetapi uang kas tersebut belum
mencukupi anggota dari pihak Jaringan Perlindungan Perempuan
dan Anak (JPPA) Kudus, sehingga terkadang mereka dengan
sukarela menggunakan dana pribadi sebagai wujud dari kepedulian
sosial. Selain kendala dari segi pendanaan ada juga kendala dari
segi sarana dan prasarana sehingga terkadang anggota Bidang I
masih menggunakan sarana pribadi dan masih meminta bantuan
dari bidang lain dalam penanganan suatu kasus.
b. Faktor Eksternal
Mengingat bahwa di Indonesia belum ada perundang-
undangan khusus yang mengakomodasikan masalah kekerasan
terhadap perempuan sehingga korban sering kali kesulitan
memperoleh keadilan. Hal ini terjadi sebelum adanya Undang-
Undang no. 23 Tahun 1994 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga (PKDRT). Walaupun sudah ada Undang-
80
Undang yang mengakomodasikan masalah kekerasan terhadap
perempuan tetapsaja bagi anggota bidang I mengalami kesulitan
untuk melaksanakan tugasnya. Ini terjadi setelah laporan tersebut
masuk ke pihak kepolisian karena pihak kepolisian kesulitan
menentukan pasal-pasal yang akan didakwakan kepada tersangka
dalam kasus kekerasan tindak pidana tersebut. Pihak kepolisian
masih menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) untuk digunakan sebagai acuan atau dasar untuk
memberikan dakwaan terhadap tersangka sesuai dengan perbuatan
yang telah dilakukannya.
Selain itu juga belum ada program perlindungan bagi korban
dan saksi ataupun bagi pekerja kemanusiaan yang mendampingi
korban sehingga korban hanya mendapatkan perlindungan
sementara dari pihak Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak
(JPPA) maupun pihak kepolisian sampai proses penanganan kasus
tersebut selesai. Perlu kita sadari bahwa korban kekerasan tidak
hanya membutuhkan bantuan berbentuk materiil saja akan tetapi
juga berbentuk spiritual untuk membangkitkan gairah hidupnya
agar kesedihannya tidak berlarut-larut karena perjalanan
kehidupannya masih panjang.
Tidak dapat kita pungkiri bahwa masih terlihat penanganan
hukum yang masih lemah, hal ini dapat kita cermati dari indikator
81
bahwa pada kenyataanya masih terjadi didalam kehidupan sehari-
hari dimana fakta menunjukkan masih ada yaitu sering kali
hubungan yang seharusnya bersifat resmi dianggap sebagai
hubungan yang bersifat pribadi, hal semacam inilah yang
mengakibatkan penanganan hukum masih lemah dalam kehidupan
sehari-hari.
Mengingat masyarakat Kudus masih beranggapan bahwa
korban kekerasan terhadap perempuan masih dianggap tabu untuk
diketahui pihak luar serta mendukung adanya budaya patriakhi dan
struktur budaya yang menganggap bahwa perempuan merupakan
sub ordinat (konco wingkng) mengakibatkan hak-hak perempuan
terabaikan, serta masyarakat terkadang masih menyalahkan korban
sehingga sumber atau penyebab terjadinya tindak kekerasan
merupakan hambatan yang sulit untuk dihadapi sehingga
diperlukan adanya upaya penyadaran kepada masyarakat mengenai
kasus tindak kekerasan terhadap perempuan sehingga nantinya bisa
di minimalisir angka kasusnya.
Berdasarkan keterangan Ibu Sudarwati, seorang korban
kekerasan mengatakan bahwa:
“Sebenarnya saya malu membuka aib ini kepada orang
lain, tetapi saya terpaksa minta bantuan JPPA agar masalah saya
cepat selesai”(Wawancara tanggal 15 Februari 2007).
82
Dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan
pihak Jaringan Perlindungan Perlindungan Perempuan dan Anak
(JPPA) terlihat jelas bahwa dalam menyelesaikan kasus yang
ditangani masih mengupayakan penyelesaian dengan jalan damai
atau secara kekeluargaan, akan tetapi upaya tersebut diambil
berdasarkan kesepakatan antara kedua belah pihak (korban dan
pelaku) dengan cara mempertemukan di sekretariat JPPA Kudus di
jalan Diponegoro no. 31 Kudus, upaya tersebut diambil mengingat
kasus tersebut tergolong ringan seperti kasus pencemaran nama
baik, pengrusakan, perbuatan tidak menyenangkan, dan
sebagainya. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan kasus-kasus
tergolong berat seperti perkosaan, perzinahan. Upaya damai bisa
diambil oleh anggota bidang I sebagai penyelesaian akhir, hal
tersebut bisa dilakukan apabila korban mau menerima dan
keputusan yang diambil oleh anggota bidang I tersebut tidak
bersifat memaksa. Upaya ini hanya merupakan jalan alternatif,
akan tetapi apabila korban menghendaki bahwa penyelesaian
masalahnya melalui jalur hukum, maka anggota bidang I akan
melimpahkan kasus tersebut kepihak kepolisian untuk diproses
sesuai dengan prosedur hukum yang ada.
B. Pembahasan
83
Peran ideal dan peran seharusnya JPPA dalam mencegah dan
menanggulangi kekerasan terhadap perempuan ditemukan dalam Keputusan
Menteri Pemberdayaan Perempuan nomor B. 110/Mei/PP/Dep.III/2003,
Tanggal 11 September 2003, Perihal : Panduan Umum Focal Point dan Pokja
PUG (Pengarus Utamaan gender) dan Surat Keputusan Bupati nomor
460/1301/2003 Tanggal 15 November 2003 tentang: Pembentukan Jaringan
Perlindungan Perempuan dan Anak di Kabupaten Kudus. Hal inilah yang
menjadi dasar pijakan JPPA dalam melaksanakan tugasnya.
Untuk mewujudkan peran ideal dan peran yang seharusnya, Jaringan
Perlindungan perempuan dan Anak (JPPA) melaksanakan berbagai upaya
perlindungan dan proses penanganan kekerasan terhadap perempuan
Melihat jenis kegiatan dalam upaya yang dilakukan JPPA dalam
mencegah dan menanggulangi kekerasan terhadap perempuan sudah sesuai
dengan harapan Keputusan Menteri Pemberdayaan Perempuan nomor B.
110/Mei/PP/Dep.III/2003, Tanggal 11 September 2003, Perihal : Panduan
Umum Focal Point dan Pokja PUG (Pengarus Utamaan gender) dan Surat
Keputusan Bupati nomor 460/1301/2003 Tanggal 15 November 2003 tentang:
Pembentukan Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak di Kabupaten
Kudus
84
1. Upaya yang Dilakukan Oleh Jaringan Perlindungan Perempuan dan
Anak (JPPA) Dalam Menangani Kasus Tindak Kekerasan Terhadap
Perempuan.
Berdasarkan hasil penelitian di Jaringan Perlindungan Perempuan
dan Anak (JPPA) Kudus dalam melaksanakan penanganan kasus
kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di Kabupaten Kudus telah
didirikan Sembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang khusus melayani
masalah-masalah kasus tindak pidana yang berkaitan dengan perempuan
yaitu Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA) yang bernaung
dibawah pemerintahan Kabupaten Kudus. Kasus-kasus yang ditangani
oleh bidang I kebanyakan mengenai kasus-kasus seperti pemerkosaan,
perzinahan, penganiayaan disertai pengrusakan, pencabulan perbuatan
tidak menyenangkan dan perselingkuhan.
G.P. Hoefnagels mengutarakan bahwa upaya penanggulangan
kejahatan dapat ditempuh dengan cara, a. penerapan hukum pidana (crime
law aplication), b. pencegahan tanpa pidana (prevention without
punishment), c. mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai
kejahatan dan pemidanaan melalui mass media (influencing view of
society on crime and punishment/mass media) (Makalah dari S.
Wignjosoebroto).
Bentuk- bentuk upaya yang dilakukan JPPA dalam menunjang
peranannya untuk membantu menangani kasus tindak kekerasan terhadap
perempuan antara lain:
a. Pendidikan dan pelatihan bagi anggota Jaringan Perlindungan
Perempuan dan Anak (JPPA)
85
Anggota JPPA merupakan orang-orang yang sudah cukup ahli
dan berpengalaman maka pihak JPPA hanya memberikan pelatihan
dan pengetahuan melalui seminar dan penyuluhan-penyuluhan dengan
mendatangkan tenaga ahli yang sudah cukup lama menjadi pemerhati
kasus tindak kekerasan terhadap perempuan yaitu mendatangkan
anggota dari LSM Rifka Annisa dan Dosen dari UNDIP untuk
memberikan pelatihan dan penyuluhan kepada anggota JPPA
Kabupaten Kudus.
Hal ini berarti, JPPA termasuk salah satu team/komite yang
terintegrasi kedalam birokrasi untuk mencegah dan memberantas
kejahatan sebagaimana yang dikemukakan oleh Kusumah sbb:
“Dalam hal kejahatan-kejahatan kekerasan disarankan untuk
membentuk komite (team) yang terintegrasi kedalam birokrasi penegak
hukum yang terdiri dari ahli-ahli dari berbagai bidang ilmu pengetahuan
(psikologi, sosiologi, sosiologi hukum, antropologi, kriminologi, hukum
pidana dan sebagainya) guna mengembangkan pendekatan
interdisipliner terhadap kejahatan-kejahatan kekerasan dan merancang
strategi pencegahan serta penanggulangannya, khususnya dalam hal
prediksi “violence chronocity”, mendisain perangkat-perangkat
violence-promotive (counter-Therapeutic) dan violence-reducing
(therapheutic). Rancangan tersebut akan merupakan masukan bagi
birokrasi penegak hukum, baik dalam menentukan rencana atau pola
dasar pencegahan kejahatan maupun dalam operasionalnya” (Kusumah
1990:39).
b. Unsur Medis
Dengan adanya petunjuk atau bukti telah terjadinya tindak
kekerasan melalui proses visum yang dilakukan oleh pihak rumah
sakit tersebut maka Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak
86
(JPPA) sebagai pendamping dalam hal ini adalah ketua bidang I yang
diwakili oleh Ibu Endang Sri Erowati, SH dan anggota berhak
melimpahkan kasus ini kepihak kepolisian, oleh karena itu polisi
sebagai penyidik bertugas untuk menindak lanjuti kasus tersebut
sampai tuntas, adil dan profesional.
Agar dapat diproses secara hukum, maka harus terdapat tanda-
tanda kekerasan yang diteliti secara medis berupa visum dari rumah
sakit. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Harkristuti
Harkrisnowo dalam Aroma Elmina Martha (2003:35-37) berikut:
“Banyak hal yang dapat dicermati dokter sebagai tanda-tanda adanya
kekerasan. Pengamatan tersebut tidak hanya terdapat jenis perlukaan
dan penyebab perlukaan, melainkan juga sikap/perilaku korban (istri)
dan pengantarnya (suami)”.
c. Penyadaran Masyarakat
Berbagai tindak kekerasan yang dialami kaum perempuan
membawa dampak pada beban fisik, psikis serta kesengsaraan bagi
korban tersebut. Maka masyarakat, aparat penegak hukum dan
pemerintah dituntut untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu dalam
upaya menangani kasus ini, khususnya dengan melakukan pembinaan
atau penyadaran masyarakat.
87
Sebagaimana dikemukakan oleh Kusumah (1990:43) berikut:
“Secara teoritis, usaha penanggulangan dan pencegahan kejahatan
dengan kekerasan dapat diawali dengan penciptaan dan pembinaan
sistematik lingkungan, yang dapat mengurangi tahap-tahap kekerasan
dari orang-orang yang telah siap atau yang potensial melakukan
kekerasan, setidak-tidaknya untuk mengurangi jarak antara kekerasan
yang diharapkan dengan kekerasan aktual”.
d. Kerjasama dengan Pihak Lain
Jaringan Perlindungan Perempuan dan anak (JPPA) Kudus
melakukan hubungan kerjasama dengan Rumah sakit Umum Daerah
Kabupaten Kudus sebagai mitra kerja dalam menangani kasus tindak
kekerasan terhadap perempuan.
Selain itu Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA)
bekerjasama dengan POLRES Kudus sebagai penyidik. Oleh karena
itu penyidikan tidak akan berjalan tanpa adanya kerjasama antara
kepolisian dan rumah sakit dalam hal saksi ahli seperti dokter maupun
psikolog dalam menangani korban kekerasan terhadap perempuan
seperti perkosaan, penganiayaan seta memungkinkan kasus-kasus lain
yang mengakibatkan kerusakan fisik dan psikis korban.
Hal ini dibutuhkan oleh pihak Jaringan Perlindungan
Perempuan dan Anak (JPPA) dan kepolisian untuk membuktikan
bahwa korban telah mengalami kekerasan sehingga pihak Jaringan
Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA) secara langsung dapat
88
melimpahkan kasus tersebut kepada kepolisian untuk ditindak lanjuti
dan diproses hingga sampai pada penyidikan berakhir.
Mengingat bahwa hasil penyelidikan yang dilakukan oleh
polisi harus profesional dan membutuhkan pihak lain untuk membantu
menyelesaikan tugas dan tanggung jawabnya itu. Sampai saat ini pihak
Polres Kudus telah secara resmi bekerjasama dengan Jaringan
perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA) sebagai LSM yang
menjadi mitra kerjasama. Ini membuktikan bahwa Jaringan
Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA) mampu bekerjasama
dengan kepolisian serta dapat mensosialisasikan kepada masyarakat
tentang akibat tindak kekerasan terhadap perempuan melalui seminar
yang diadakan oleh Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak
(JPPA) bekerjasama dengan lembaga edukatif mulai dari tingkat SLTP
sampai Perguruan Tinggi.
Wujud nyata dari pihak Jaringan Perlindungan Perempuan dan
Anak (JPPA) dalam bekerjasama dengan tokoh agama, Organisasi
Masyarakat maupun masyarakat luas telah terlaksana secara maksimal.
Kerjasama yang dilakukan pihak lain adalah dalam rangka
pengendalian sosial khususnya untuk mencegah terjadinya tindak
kekerasan terhadap perempuan maupun menanggulangi terjadinya
tindak kekerasan terhadap perempuan. Sebagaimana dikemukakan
oleh Katjasungkana berikut:
89
Menindak secara tegas pelaku tindak kekerasan terhadap
perempuan. Di samping itu upaya yang bersifat pelayanan bagi
korban seperti misalnya pendirian Crisis Centre atau Rumah
Penampungan (Shelter) adalah sesuatu yang niscaya harus dilakukan
pula. Di sini tidak saja diperlukan solidaritas dan empati dari semua
pihak, tetapi suatu usaha konkrit yang dapat membantu mereka yang
memerlukan pertolongan akan lebih membuka mata masyarakat
bahwa masalahnya memang nyata dan sangat sah untuk
dipersoalkan. Usaha konkrit tersebut misalnya dengan mendirikan
pusat-pusat penanggulangan (Women Crisis Centre) dan lain-lain
(Katjasungkana 2001:115-117).
Dengan terbentuknya Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak
(JPPA) di Kabupaten Kudus sebagai pusat layanan bagi korban kekerasan
terhadap perempuan menunjukkan bahwa tingkat kepedulian dari
Pemerintah Kabupaten Kudus untuk memperjuangkan hak-hak perempuan
semakin meningkat. Kemajuan ini harus disikapi secara positif, akan
tetapi keberadaan Jaringan perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA)
tersebut tidak lepas dari kekurangan-kekurangan yang perlu dibenahi dan
dikembangkan kinerjanya.
Sebagai sebuah LSM, Jaringan Perlindungan Perempuan danAnak
(JPPA) yang notabene masih memerlukan perbaikan-perbaikan di segala
bidang baik dari segi fisik maupun non fisik. Terlihat dari hasil penelitian
yang diperoleh di kantor Jaringan Perlindungan Perlindungan Perempuan
dan Anak (JPPA) bahwa dari segi fisik bangunan serta sarana
prasarananya yang dimiliki belum memenuhi standar sebagai LSM yang
berfungsi untuk membantu korban kekerasan karena sarana seperti shelter
(rumah aman) belum tersedia secara khusus, akan tetapi di JPPA
90
disediakan ruang khusus untuk konseling dan apabila dibutuhkan, tidak
menutup kemungkinan ruangan tersebut bisa dijadikan tempat istirahat
sementara bagi korban kekerasan.
2. Proses Penanganan Kasus Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan
yang Dilakukan Oleh Bidang I Jaringan Perlindungan Perempuan
dan Anak (JPPA)
Proses penanganan kasus sejak pertama sampai dengan
dijatuhkannya hukuman belum sepadan jika dibandingkan dengan akibat
yang diderita korban tindak kekerasan. Hal ini dapat diamati dari hasil
data yang diperoleh menunjukkan bahwa jumlah kasus kekerasan terhadap
perempuan yang ditangani oleh Jaringan Perlindungan Perempuan dan
Anak (JPPA) bidang I dari tahun ke tahun mengalami peningkatan.
Dimana selama Tahun 2005-Tahun 2006 berjumlah dua puluh
kasus yang mana kasus tersebut merupakan kasus tindak pidana yang
berhubungan dengan perempuan. Dengan demikian menunjukkan bahwa
di salah satu sisi persoalan ketimpangan jender masih menjadi pesoalan
serius di masyarakat dan disisi lain bahwa dengan banyaknya kasus yang
masuk ke Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA) bidang I
menandakan bahwa perempuan korban kekerasan sudah mulai
memberanikan diri untuk melapor dan bercerita tentang penderitaan yang
dialaminya serta berjuang untuk merebut kembali hak-haknya guna
91
memperoleh keadilan sebagai perempuan yang patut dihargai dan
dihormati keberadaanya.
Kenyataan yang ada maka Jaringan Perlindungan Perempuan dan
Anak (JPPA) sebagai suatu LSM yang membantu menyelesaikan masalah
kekerasan terhadap perempuan sudah selayaknya untuk menjalankan
tugasnya sebagaimana tertuang didalam Surat Keputusan Bupati
Kabupaten Kudus Nomor 460/1301/2003 yaitu tentang pembentukan
Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA) di Kabupaten Kudus
yang didalamya memuat tugas pokok yaitu melakukan pengkajian dan
analisa terhadap permasalahan yang berhubungan dengan upaya
perlindungan perempuan dan anak, merumuskan rencana kegiatan
Jaringan Perlindungan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA)
Kabupaten Kudus, melakukan monitoring dan evaluasi atas pelaksanaan
kegiatan.
Dalam mewujudkan tugas pokok sebagai alat negara yang
berperan dalam memelihara keamanan dan ketentraman masyarakat serta
menegakkan hukum, maka didalam upaya menangani masalah-masalah
kekerasan terhadap perempuan, Jaringan Perlindungan Perempuan dan
Anak (JPPA) sebagai pendamping korban sampai proses penyidikan
berakhir berupaya secara maksimal untuk menindak tegas pelaku dan
menyelesaikan kasusnya secara tuntas serta membawa pelaku ke
Pengadilan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, hal ini
92
merupakan prinsip dan kinerja dari bidang I dalam melaksanakan tugas
dan tanggung jawabnya dalam menangani kasus kekerasan terhadap
perempuan yang dihadapi secara maksimal.
Upaya tersebut bukan hanya angan-angan saja akan tetapi dapat
berupa wujud nyata dilihat dari kinerja bidang I dalam menangani kasus
kekerasan terhadap perempuan serta kualitas dari para anggota bidang I
yang bertugas mereka merupakan orang-orang pilihan yang dianggap
mampu berdedikasi tinggi terhadap tugas dan tanggung jawabnya serta
mampu untuk menghadapi korban dengan penuh rasa empati dan simpati.
Unsur tersebut merupakan modal utama bagi anggota bidang I yang
mempunyai kualifikasi dalam menggunakan keahliannya untuk
memecahkan suatu kasus.
Guna mewujudkan tugas pokok Jaringan Perlindungan Perempuan
dan Anak (JPPA), dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan
anggota bidang I bersikap simpati, empati dan memberi rasa aman kepada
pihak yang dilayani dengan sikap santun luwes dan ramah.
Hal tersebut tidak hanya berlaku pada korban tindak kekerasn
terhadap perempuan akan tetapi juga berlaku pada tersangka atau
terdakwa kasus tindak kekerasan terhadap perempuan tersebut dimana hal
itu dilakukan hanya semata-mata untuk membantu menyelesaikan masalah
atau kasus yang sedang dihadapi dan memberikan hukuman yang setimpal
bagi pelaku tindak kekerasan terhadap perempuan.
93
Barda Nawawi, juga mengkonstantasi bahwa upaya
penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat dibagi 2, yitu
melalui jalur penal (hukum pidana), dan jalur non penal (bukan
hukum pidana). Butir (a) diatas merupakan jalur penal, sedangkan
butir (b) dan (c) adalah kelompok sarana non penal.
Kekerasan terhadap perempuan sebagai salah satu kejahatan
yang sangat terkait dengan masalah struktural dalam masyarakat,
maka upaya penanggulangan kekerasan terhadap perempuan
hendaknya ditempuh baik melalui sarana penal maupun non penal,
meliputi keseluruhan sistem hukum baik komponen struktural,
kultural maupun substantif (Makalah dari S. Wignjosoebroto).
Secara prosedural tahapan-tahapan proses penanganan kasus tindak
kekerasan terhadap perempuan secara garis besar adalah sebagai berikut:
a. Penerimaan laporan atau pengaduan dari korban, saksi korban atau
keluarga korban kekerasan. Laporan tersebut dibuat di sekretariat
Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA).
b. Pembuatan berita acara kronologis kejadian ditangani oleh Bidang I
berdasarkan laporan atau pengaduan dari korban, saksi korban atau
keluarga korban
c. Bidang I membuat laporan yang ditujukan kepada ketua umum
kemudian ketua umum menerbitkan surat tugas kepada bidang I untuk
menindak lanjuti kasus tersebut
d. Upaya konseling dilakukan dengan memberikan pembinaan antara
pihak yang bertikai alternatif pemecahan masalah. Alternatif yang
dimaksud adalah bahwa pihak Jaringan Perlindungan Perempuan dan
Anak (JPPA) Kabupaten Kudus akan membantu menyelesaikan
masalah baik secara kekeluargaan atau damai maupun secara hukum.
94
e. Pelimpahan perkara kepada penuntut umum dan pengembaliannya
kepada penyidik untuk disempurnakan.
Penanganan kasus tindak kekerasan terhadap perempuan oleh
pihak kepolisian berlaku dengan sistem peradilan pidana di Indonesia
yaitu penyidikan, penuntutan dan peradilan. Selama hal di atas
berlangsung, bidang I hanya sebagai pendamping korban . Dalam
menangani kasus kekerasan terhadap perempuan apabila dibutuhkan maka
bidang-bidang yang lain di bawah Jaringan Perlindungan Perempuan dan
Anak (JPPA) dapat membantu misalnya bidang II (perlindungan anak),
bidang III (SDM), bidang IV (penyuluhan), bidang V (penelitian &
pengembangan), bidang VI (advokasi).
Adanya kerjasama diantara bidang-bidang dalam tubuh Jaringan
Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA) menandakan bahwa dalam
menangani kasus kekerasan terhadap perempuan pihak JPPA
membutuhkan banyak tenaga serta tekhnik khusus yang diperlukan dalam
melakukan penanganan kasus untuk menemukan titik terang telah terjadi
tindak pidana kekerasan terhadap perempuan sehingga pihak Jaringan
Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA) bisa segera melimpahkan
kasus tersebut ke pihak kepolisian dan dapat segera menyeret pelakunya
ke meja hijau atau Pengadilan.
95
3. Kendala-Kendala yang Menghambat Dalam Upaya Penanganan
Kasus Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Perempuan
a. Kendala Internal
Dalam menangani suatu kasus kekerasan terhadap perempuan
pihak JPPA mengalami hambatan yang tidak jarang sulit dihindari
serta mengalami kendala-kendala yang bersifat internal, yaitu
kurangnya tenaga ahli yang profesional di dalam Jaringan
Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA) dan kendala yang cukup
menyita perhatian masyarakat luas adalah bahwa di negara kita
walaupun sudah ada Undang-Undang yang mengatur tentang
perlindungan perempuan tetapi masih banyak masyarakat yang belum
mengetahui, hal ini dimungkinkan karena kurangnya sosialisasi dari
Pemerintah sehingga hanya KUHP yang digunakan untuk menjerat
pelaku tindak kekerasn terhadap perempuan.
Hambatan dari segi keterbatasan anggaran dana yang tersedia
untuk kepentingan dalam melakukan proses penanganan terhadap
suatu kasus yang membutuhkan dana cukup besar masih dirasakan
oleh pihak Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA)
Kudus, hal ini dikarenakan dana yang tersedia belum memenuhi
standar karena sumber dana yang diperoleh Jaringan Perlindungan
perempuan dan Anak (JPPA) hanya dari Anggaran Pendapatan Belanja
Daerah (APBD) Kabupaten Kudus saja.
96
Dalam melakukan tugas penanganan suatu kasus mereka
menggunakan dana dari APBD tetapi uang kas tersebut belum
mencukupi anggota dari pihak Jaringan Perlindungan Perempuan dan
Anak (JPPA) Kudus, sehingga terkadang mereka dengan sukarela
menggunakan dana pribadi sebagai wujud dari kepedulian sosial.
b. Kendala Eksternal
Fenomena memprihatinkan yang terjadi di masyarakat sampai
saat ini adalah makin maraknya kasus tindak kekerasan terhadap
perempuan, dimana banyak perempuan korban tindak kekerasan yang
tutup mulut atau tidak mau bercerita kepada siapapun tentang
penderitaan yang dialaminya serta tidak dapat dipungkiri bahwa
struktur sosial, persepsi masyarakat tentang perempuan dan nilai
masyarakat yang selalu ingin tampak harmonis.
Oleh karena itu sulit untuk mengakui akan adanya masalah
dalam rumah tangga apapun resikonya.
Hal inilah yang menjadi salah satu faktor pendorong
meningkatnya kasus kekerasan terhadap perempuan tidak dapat
dilepaskan dari lemahnya penegakan hukum dan lemahnya ancaman
hukuman serta didukung oleh struktur budaya yang menganggap
bahwa perempuan merupakan sub ordinat (konco wingking).
97
98
A. Simpulan
BAB V
PENUTUP
97
Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA) Kabupaten Kudus
sebagai relawan pendamping dituntut secara profesional memiliki dedikasi
yang tinggi dalam menangani kasus tindak kekerasan terhadap perempuan.
1. Upaya-upaya yang dilakukan oleh JPPA dalam menangani kasus
tindak kekerasan terhadap perempuan dilakukan melalui :
a. Pendidikan dan Pelatihan
Meliputi Seminar dan Mengadakan Penyuluhan
b. Melalui kerjasama dengan Organisasi atau Instansi lain
Kerjasama dengan Aparat Penegak Hukum dalam hal ini ditangani
oleh Polres Kudus, Lembaga Swadaya Masayarakat (LSM) dan
Organisasi Masyarakat (Ormas) lain.
c. Unsur Medis yang dilakukan bertujuan untuk menemukan
keakuratan data secara medis terhadap tindak kekerasan terhadap
perempuan melalui visum yang dilakukan oleh pihak Rumah Sakit
Umum Daerah Kudus (RSUD)
d. Penyadaran Masyarakat dilakukan dengan bekerja sama dengan
tokoh-tokoh pemuka agama, tokoh masyarakat untuk bersama-
sama dengan pihak JPPA memberikan penyadaran tentang akibat
tindak kekerasan terhadap perempuan.
98
2. Proses penanganan yang dilakukan JPPA menggunakan cara
prosedural melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:
a. Pembuatan berita acara oleh Ketua Bidang I Perlindungan
Perempuan
b. Pembuatan berita acara oleh Ketua Bidang I Perlindungan
Perempuan
c. Bidang I mengajukan laporan pengaduan korban kepada Ketua
Umum JPPA, kemudian Ketua Umum menerbitkan surat tugas
kepada Ketua Bidang I untuk menindak lanjuti kasus tersebut.
d. Upaya konseling dilakukan oleh pihak JPPA dengan memberikan
alternatif pemecahan masalah baik secara kekeluargaan maupun
secara hukum.
e. Jika proses penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan
dilakukan dengan upaya damai atau kekeluargaan maka
penanganan hanya melibatkan pihak JPPA, korban, pelaku dan
keluarga yang bersangkutan. Jika dilakukan melalui proses jalur
hukum maka kasus tersebut dilimpahkan kepada pihak kepolisian
(Polres Kudus), tetapi JPPA tetap melakukan pendampingan
terhadap korban sampai proses hukumnya tuntas.
3. Pada dasarnya tugas dan kewajiban yang dilakukan oleh Jaringan
Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA) sudah sesuai dengan Surat
keputusan Bupati Kudus nomor 640/1301/2003 Tanggal 15 November
2003 tentang: Pembentukan Jaringan Perlindungan Perempuan dan
99
Anak di Kabupaten Kudus, akan tetapi dalam menjalankan tugas dan
kewajiban yang dilakukan oleh pihak JPPA masih mengalami berbagai
kendala. Kendala-Kendala tersebut meliputi:
a. Faktor Internal
Kurangnya tenaga-tenaga ahli yang profesional dan keuangan
hanya mengandalkan anggaran dana dari APBD Kabupaten Kudus
saja.
b. Faktor Eksternal
Masih ada anggapan dari masyarakat bahwa korban kekerasan
terhadap perempuan masih dianggap tabu untuk diketahui pihak
luar.
B. Saran
1. Peningkatan kerjasama antar pihak terkait tentang penanganan
kekerasan terhadap perempuan, terutama dengan Kepolisian, LSM dan
Ormas.
2. Setiap tindak kekerasan, perlu adanya data akurat dari rekan medis
berupa visum.
3. Perlu adanya peningkatan kerjasama dengan pihak terkait untuk
mensosialisasikan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga.
4. Setiap proses penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan harus
menggunakan tahap-tahap yang tetap yang dilakukan secara konsisten
100
untuk menghindari kesalahan penangananyang berakibat merugikan
korban.
5. Hendaknya pihak Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA)
Kabupaten Kudus lebih aktif untuk mensosialisasikan peranannya
kepada masyarakat supaya masyarakat mengetahui jenis-jenis
kekerasan maupun akibat kekerasan serta proses penanganan terhadap
tindak kekerasan terhadap perempuan.
6. Perlu pihak pendamping terhadap korban kekerasan terhadap
perempuan yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait (Polisi, LSM dan
Ormas).
7. Pihak JPPA hendaknya menyediakan pos khusus yang membiayai
proses penanganan tindak kekerasan terhadap perempuan.
.
101
DAFTAR PUSTAKA
Annisa, Rifka. 1998. Mengenal Rifka Annisa. Jogjakarta
101
Anny, Tarigan. Dkk. 2001. Perlindungan Terhadap Perempuan dan Anak Yang
Menjadi Korban Kekerasan. Jakarta: Gugus Grafis
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek.
Jakarta: Rineka Cipta
Atasasmita, Romli. 1992. Teori Kapita Selekta Kriminologi. Bandung. PT Eresco
Huberman, Michel dan Milles, B. Mattew. 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta:
Universitas Indonesia Press
Katjasungkana, Nursyahbani, Lukman. Soetrisno, dan Afan. Gaffar. 2001. Potret
Perempuan. Yogyakarta: Kerjasama PSW UMY dengan Pustaka Pelajar.
Keputusan Bupati Kudus nomor 460/1301/2003. Pembentukan Jaringan
Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA) di Kabupaten Kudus. Kudus.
Kusumah, Mulyana W. 1990. Analisa Kriminologi Tentang Kejahatan-Kejahatan
Kekerasan. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Martha, Aroma Elmina. 2003. Perempuan Kekerasan dan Hukum. Jogjakarta: UII
Press Jogjakarta.
Moleong, Lexy. J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosda Karya
Saraswati, Rika. 2006. Perempuan dan Penyelesaian Kekerasan Dalam Rumah
Tangga. Bandung: PT Citra Aditya Bhakti
Subarkah. 2004. Pemberdayaan Hak-Hak Perempuan. Kudus.
102
Subhan, Zaitunah. 2003. Kekerasan Terhadap Perempuan. Yogyakarta: PT LkiS
Pelangi Aksara
Soekanto, Soerjono. 2004. Faktor-Faktor yang menyebabkan terjadinya
Penegakan Hukum.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1986:
Jakarta:
UU Nomor 23 Tahun 2003. Tentang Penghapusan dan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga.
Windhu, I. Marshana. 1992. Kekuasaan dan Kekerasan Menurut Johan
Galtung.Yogyakarta: Kanisius