Pages

Selasa, 23 November 2010

KDRT

Jilid 1



PERBANDINGAN KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG KdRT DENGAN KETENTUAN PASAL 352 KUHP
DALAM RANGKA PENANGGULANGAN KdRT



Oleh

Pipit Yuniarti Sari



Kekerasan dalam rumah tangga (KdRT) merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan kejahatan terhadap harkat dan martabat manusia. Dikatakan demikian, karena beberapa instrument internasional di bidang HAM, seperti Pernyataan Sedunia Tentang HAM (Declaration of Human Right) (UDHR), Perjanjian Internasional Civil dan Politik (The International Covenant on Civil and Political Right) (ICCPR), dan Konferensi Tentang Penghapusan Kekerasan dan Human Yang merendahkan Martabat Manusia (Convention Againts Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment) (CAT) dengan tegas menyatakan, bahwa segala bentuk kekerasan, baik fisik maupun mental adalah dilarang dan bertentangan dengan HAM.

Kekerasan dalam rumah tangga sering terjadi dalam masyarakat, dan ini adalah bentuk ketidak adilan gender yang biasa terjadi. Pada mulanya, kekerasan terhadap perempuan hanya dimaknai sebagai bentuk kekerasan seksual secara fisik oleh laki-laki terhadap perempuan sebagai perwujudan budaya patriarkhi yang memposisikan laki-laki sebagai pihak yang dominan terhadap perempuan yang subordinan. Namun, seiring dengan dinamika perkembangan gerakan feminis yang menyuarakan pengaruh utama gender. Pemahaman Kekerasan dalam Rumah tangga (KdRT) tidak hanya dipahami sebagai kekerasan seksual, tetapi juga dipahami sebagai kekerasan mental psikologis dan social pelaku maupun korban.

Ketentuan KUHP Bab XIV tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Bab XX tentang Penganiayaan, kemudian membandingkannya dengan ketentuan pidana dalam UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, ternyata, kecuali tindak pidana yang ditentukan dalam Pasal 45 dan Pasal 49, semua tindak pidana yang diatur dalam UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT telah ditentukan sebagai tindak pidana dalam KUHP.



Tindak pidana berupa kekerasan fisik yang ditentukan dalam Pasal 44 UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, telah diatur dalam KUHP Bab XX tentang Penganiayaan. Sedangkan tindak pidana berupa kekerasan seksual yang ditentukan dalam Pasal 46, Pasal 47, dan Pasal 48 UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, telah diatur dalam KUHP Bab XIV tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan. Adapun tindak pidana penelantaran rumah tangga yang ditentukan dalam Pasal 49 UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, sekalipun tidak ditentukan sebagai tindak pidana, tetapi di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disingkat UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan), hal tersebut telah diatur sebagai perbuatan yang tidak melaksanakan kewajiban.

Penelusuran lebih dalam terhadap ketentuan pidana dalam UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, khususnya ketentuan Pasal 44 ayat(1) dan ayat(4) juncto Pasal 51 dibandingkan dengan ketentuan Pasal 352 ayat(1) KUHP, maka pengesahan UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, justru membebaskan pelaku tindak pidana kekerasan fisik dari pertanggungjawaban pidana, yang oleh KUHP dituntut pertanggungjawabannya., Pasal 352 ayat (1) KUHP menentukan semua perbuatan kekerasan fisik adalah tindak pidana penganiayaan, yang merupakan tindak pidana biasa, tetapi Pasal 44 ayat (1) dan ayat (4) juncto Pasal 51 Pasal 44 ayat (1) dan ayat (4) juncto Pasal 51 UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT justru menjadikannya sebagai delik aduan apabila dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menitikberatkan pada kebijakan hukum pidana dan pendapat kalangan hukum mengenai perbedaan kontradiksi tentang penghapusan KdRT. Hal inilah yang coba penulis angkat sebagai pokok permasalahan dalam penulisan skripsi ini.

Jilid 2

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Kekerasan dalam rumah tangga telah menjadi wacana tersendiri dalam

keseharian. Perempuan dan juga anak sebagai korban utama dalam kekerasan dalam

rumah tangga, mutlak memerlukan perlindungan hukum. Saat ini RUU mengenai

kekerasan dalam rumah tangga sedang dalam tahap penggodokan. Lahirnya RUU ini

berawal dari inisiatif LBH Advokasi untuk Perempuan Indonesia dan Keadilan

(APIK) bersama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lainnya yang

tergabung dalam Jaringan Kerja Advokasi Anti Kekerasan Terhadap Perempuan

(Jangka PKTP) untuk menyiapkan RUU anti KDRT. RUU anti KDRT ini telah

disiapkan oleh LBH APIK dan Jangka PKTP sejak tahun 1998 melalui dialog publik.

Persiapan ini memang termasuk lama mengingat isu KDRT masih kurang dikenal

oleh masyarakat dan diragukan oleh kalangan tertentu.

Menurut LBH APIK tujuan dari RUU ini adalah untuk menghilangkan atau

meminimalis tindak pidana KDRT. Dari fakta yang terjadi di lapangan, pihak yang

sering menjadi korban dalam persoalan KDRT berjenis kelamin perempuan dan

anak-anak. Jumlah korban KDRT mengalami peningkatan dari hari ke hari. Namun

ironisnya penegakan hukum untuk pencapaian keadilan bagi si korban juga

menunjukan angka yang berbanding terbalik dengan jumlah angka korban tersebut.

Selain itu RUU anti KDRT juga bertujuan menjaga keutuhan rumah tangga,

dimana keutuhan rumah tangga dapat terjadi jika setiap anggota keluarga menyadari

hak dan kewajibannya masing-masing/tidak ada satu anggota keluarga yang bisa

melakukan kesewenang-wenangan. Keutuhan yang dimaksudkan disini artinya

posisi yang sama antara sesama anggota keluarga, posisi yang seimbang antara istri

dengan suami dan anak dengan orang tua dan tidak ada satu pihak yang merasa

tersubordinat dengan pihak yang lain.

Adalah hal yang tidak benar jika keberadaan RUU ini diartikan untuk

mencabik-cabik atau meruntuhkan keluarga sehingga bercerai-berai. LBH APIK

menganggap bahwa isu RUU anti KDRT merupakan satu hal/kondisi yang perlu

dicermati dan dikritisi, karena salah satu fungsi UU adalah menjadi satu pagar

anggota masyarakat agar tidak semena-mena terhadap orang lain. Tidak dapat

dibayangkan jika Indonesia tidak memiliki RUU anti KDRT, mungkin akan semakin

banyak orang terluka atau bahkan meninggal karena dianiaya dalam keluarganya

dan akhirnya melahirkan generasi-generasi bangsa yang tidak sehat. RUU anti

KDRT mempunyai tujuan untuk membentuk keluarga dan bangsa yang sehat.

Keberadaan RUU ini merupakan bentuk antisipasi yang sebenarnya agar masyarakat

mengetahui bahwa negara tidak menginginkan, tidak menyetujui dan menghukum

orang yang melakukan kekerasan.

Konsep KDRT mungkin belum dikenal oleh masyarakat secara luas.

Pengertian KDRT menurut RUU anti KDRT adalah segala bentuk, baik kekerasan

secara fisik, secara psikis, kekerasan seksual maupun ekonomi yang pada intinya

mengakibatkan penderitaan, baik penderitaan yang secara kemudian memberikan

dampak kepada korban, seperti misalnya mengalami kerugian secara fisik atau bisa

juga memberikan dampak korban menjadi sangat trauma atau mengalami

penderitaan secara psikis.

KDRT juga diistilahkan dengan kekerasan domestik. Dengan pengertian

domestik ini diharapkan memang tidak melulu konotasinya dalam satu hubungan

suami istri saja, tetapi juga setiap pihak yang ada di dalam keluarga itu. Jadi bisa saja

tidak hanya hubungan suami istri, tapi juga hubungan darah atau bahkan seorang

pekerja rumah tangga menjadi pihak yang perlu dilindungi. Selama ini seringkali

kita mendengar atau membaca di koran, tv atau radio bahwa pembantu sering

menjadi korban kekerasan. Kasus kekerasan terhadap pembantu rumah tangga

tersebut seringkali diselesaikan dengan menggunakan pasal-pasal dalam Kitab

Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Namun pada prakteknya hal itu menjadi

tidak terlihat karena memang status mereka yang rentan mendapatkan perlakuan-

perlakuan kekerasan. Oleh karena itu RUU anti KDRT atau anti kekerasan domestik dibuat agar dapat menjangkau pihak-pihak yang tidak hanya dalam hubungan suami

istri, tapi juga pihak lain.

Persoalan KDRT merupakan fenomena gunung es yang hanya kelihatan

puncaknya sedikit tetapi sebetulnya tidak menunjukan fakta yang valid. Persoalan

KDRT banyak terjadi di keluarga, namun umumnya keluarga korban tidak

mempunyai ruang atau informasi yang jelas apakah persoalan keluarga mereka layak

untuk dibawa ke pengadilan, karena selama ini masyarakat menganggap bahwa

persoalan-persoalan KDRT adalah persoalan yang sifatnya sangat pribadi dan hanya

diselesaikan dalam lingkup rumah tangga saja.

Salah satu konsekuensi meningkatnya jumlah korban KDRT (khususnya dari

kelompok korban yang berstatus istri) sebenarnya sangat berakibat terhadap

persoalan rumah tangga mereka sendiri. Jika kasus-kasus KDRT pada akhirnya

menimbulkan dampak traumatic pada anggota keluarga yang lain dan meningkatkan

angka kriminalitas maka hal itu akan semakin menguatkan perlunya intervensi

negara melalui produk UU agar kelompok korban bisa mendapatkan keadilan dan

pelaku ataupun calon pelaku tidak semakin merajalela.

Selama ini KDRT selalu diindikasikan sebagai salah satu bentuk delik aduan.

Padahal sebenarnya apabila dilihat dalam Pasal 351 KUHP (tentang penganiayaan)

dan Pasal 356 KUHP (pemberatan) sama sekali tidak mensyaratkan adanya satu delik

aduan. Hanya saja masyarakat (khususnya aparat penegak hukum) selalu

menganggap jika suatu kasus berkaitan dengan keluarga maka selalu dinyatakan

sebagai delik aduan, padahal kasus itu sebenarnya adalah sebuah kejahatan murni.

Kalaupun misalnya di belakang hari nanti korban melakukan pencabutan aduan,

seharusnya polisi bersikap tegas dengan menganggap bahwa apa yang dilaporkan itu

memang sebagai suatu bentuk kejahatan dan harus ditindaklanjuti ke pengadilan.

Hal ini memang menjadi kendala yang sangat umum sekali dalam persoalan

KDRT, karena kelompok korban memang tidak bisa menyatakan secara berani

bahwa ini adalah sebuah kejahatan yang harus ditindaklanjuti dengan proses hukum. Ketidakberanian korban sangat berkaitan erat dengan budaya yang berlaku di

Indonesia, yaitu budaya patriarki yang sangat kental yang seringkali melihat bahwa

masalah KDRT bisa diselesaikan tanpa harus melalui jalur hukum. Ironisnya, pilihan

untuk menyelesaikan persoalan KDRT tanpa melalui jalur hukum selalu

disampaikan oleh aparat penegak hukum sendiri. Padahal aparat penegak hukum

sebetulnya sangat mengetahui bahwa persoalan KDRT adalah kejahatan yang harus

direspon dengan hukum.

KDRT memang tidak bisa dilepaskan secara murni sebagai satu bentuk

kejahatan tanpa harus disandingkan dengan satu bentuk hubungan keluarga. Hal itu

merupakan hal yang sangat dilematis dan hal itu juga disadari oleh korban,

khususnya oleh kelompok istri yang misalnya datang ke LBH APIK. Para istri yang

menjadi korban KDRT yang datang ke LBH APIK umumnya memang tidak bisa

kemudian secara gagah berani mengatakan bahwa dirinya akan melaporkan

suaminya. Hal itu membutuhkan satu proses konseling yang cukup lama. LBH APIK

pun tidak bisa memaksakan hal itu. Artinya LBH APIK memang akan

menyampaikan beberapa pilihan. Sebagai contoh, jika dia mau melakukan pelaporan

maka LBH APIK akan menyampaikan konsekuensi dari setiap tindakan tersebut.

Terkadang LBH APIK juga menyebutkan “jalur aman” menempuh jalur hukum

perdata yaitu dengan mengajukan gugatan. Umumnya para korban tersebut

memang memilih melakukan gugatan karena dianggapnya sebagai jalur yang tidak

berkonflik dibandingkan dengan jalur pidana yang dampaknya lebih jauh

(pelaku/suami korban kemungkinan akan dipidana penjara).

Secara umum RUU KDRT banyak mendapatkan dukungan dari masyarakat.

Sebagai contoh dengan adanya RPK di kepolisian secara tidak langsung menjadikan

polwan-polwan yang bertugas di RPK sangat mengetahui bagaimana kendala dan

langkah-langkah yang harus dilakukan untuk menindaklanjuti kasus KDRT. Dari

pihak kejaksaan maupun kehakiman persoalannya juga tidak jauh berbeda, yaitu

lebih kepada segi hukumnya. Terlebih lagi hakim, karena mempunyai kewenangan yang sangat luas untuk memutuskan hukuman apa yang tepat untuk pelaku. Hal yang menjadi kendala disini adalah budaya patrilineal seperti yang sudah dijelaskan

di atas, sehingga meskipun hukumnya sudah ada dan secara tegas melarang hal itu,

namun pada kenyataannya ketika sampai di pengadilan hukuman yang dijatuhkan

oleh hakim hanya hukuman percobaan. Artinya secara tidak langsung tidak ada

upaya dari aparat penegak hukum untuk menegakan hukum dengan maksimal,

meskipun diakui bahwa dalam RUU anti KDRT masalah sanksi atau penghukuman

tidak dilihat sebagai suatu balasan terhadap pelaku melainkan juga harus melihat

pada manfaat yang diberikan kepada korban, karena dalam RUU anti KDRT korban

tidak hanya sebagai objek tapi juga sebagai subjek pertimbangan dalam

penghukuman.

RUU anti KDRT membagi ruang lingkup KDRT menjadi 3 bagian hubungan,

yaitu pertama, hubungan garis keturunan darah (misalnya anak); kedua, hubungan
suami istri; ketiga, hubungan orang yang bekerja di dalam lingkup dalam keluarga

tersebut/tidak punya hubungan sama sekali. Dari hasil penelitian LBH APIK

ditemukan bahwa KDRT dapat terjadi di segala tingkatan ekonomi. Kelompok yang

rentan menjadi korban KDRT adalah istri, anak dan pembantu rumah tangga.

Secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa siapa saja bisa sangat rentan

mendapatkan kekerasan asalkan ia berjenis kelamin perempuan. Namun tidak

menutup kemungkinan suami mendapatkan perlakuan kekerasan dari istrinya.

KDRT juga mungkin saja dilakukan oleh ibu kandung terhadap anak kandungnya

sendiri. Hal itu juga telah diantisipasi dalam RUU KDRT, karena seperti telah

dijelaskan di atas, ruang lingkup KDRT adalah kekerasan domestik. Artinya

hubungan perkawinan yang tidak hanya dilihat dari segi hukum negara, tapi juga

dari hukum adat atau agama (termasuk nikah dibawah tangan dan hidup bersama).

Oleh karena itu yang dilindungi tidak hanya istri, tapi juga anak, pasangan hidup

dan pembantu rumah tangga

Dalam RUU anti KDRT kekerasan dibagi 4 macam, yaitu :



memukul dengan menggunakan alat tubuh atau alat bantu dan bisa dideteksi

dengan mudah dari hasil visum)

b. Kekerasan psikis;

c. Kekerasan ekonomi (dalam KUHP disebut penelantaran orang-orang yang wajib

ditolong);

d. Kekerasan seksual (dalam KUHP disebut delik kesusilaan, namun di KUHP tidak

dikenal kekerasan seksual terhadap istri);



RUU anti KDRT mengenal kekerasan seksual/marital rape terhadap istri. Hal

ini akan terlihat janggal karena kerangka yang dipakai adalah perkawinan sebagai

satu bentuk yang melegitimasi apapun bentuk interaksi antara suami istri. Sebagai

contoh “Apa benar dalam suatu hubungan suami istri itu ada perkosaan, karena

kalau yang namanya istri itu kan hukumnya wajib melayani suami, jadi tidak ada

yang namanya kekerasan, paksaan, karena memang harus”. Hal itulah yang

sebenarnya menarik untuk kemudian dilihat kembali karena ternyata menimbulkan

perbedaan-perbedaan.

Sedangkan untuk pembuktian, pembuktian dalam RUU anti KDRT tidak

hanya (mau) melihat pembuktian dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara

Piadana (KUHAP). Oleh sebab itu RUU anti KDRT tidak hanya mengatur hukum

materilnya saja, tapi juga mengatur hukum acaranya (kecuali jika ada hal hal

tertentu yang tidak diatur dalam RUU anti KDRT maka akan menggunakan

KUHAP). RUU anti KDRT memungkinkan satu alat bukti (keterangan sanksi atau

alat bukti lainnya) sebagai pembuktian yang dirasa cukup. Namun hal ini perlu

didiskusikan lebih lanjut karena masih mengundang perdebatan, terutama dari pihak

aparat penegak hukum. Untuk itu perlu segera dicari jalan keluar terhadap masalah

pembuktian ini di tengah keterbatasan alat bukti dengan tidak menghilangkan

kaedah-kaedah hukum yang ada.


Hal lainnya yang terdapat dalam RUU anti KDRT adalah adanya saksi

pendamping dan perintah perlindungan. Perintah perlindungan disini artinya

seorang korban bisa mendapatkan satu bentuk perlindungan sampai kemudian

pokok perkaranya atau laporannya ditindaklanjuti. Dalam perintah perlindungan

terdapat larangan-larangan yang harus ditaati oleh pelaku, misalnya larangan untuk

mendekati korban, larangan untuk menghubungi korban. Larangan-larangan itu

merupakan hal yang baru dalam khazanah hukum Indonesia.

Keberadaan RUU anti KDRT (yang nantinya diharapkan akan disahkan

menjadi sebuah UU) akan menjadi tidak efektif jika tidak didukung oleh aparat

penegak hukum, karena penegakan sebuah UU sangat tergantung dari perilaku

aparat penegak hukum. Harapannya, setelah RUU anti KDRT disahkan menjadi UU,

harus ada sosialisasi baik kepada masyarakat maupun kepada aparat penegak hukum.

Dan sosialisasi ini juga telah dimulai sejak digulirkannya isu KDRT oleh LBH APIK

dan Jangka PKTP. Sosialisasi yang telah dilaksanakan oleh LBH APIK dan Jangka

PKTP dimulai sejak tahun 1999. Sosialisasi dilakukan melalui seminar atau semiloka

(seminar-lokakarya) terbuka (tidak terbatas kepada jenis kelamin perempuan saja).

Dari seminar dan semiloka yang dihadiri oleh berbagai perwakilan kelompok yang

berdekatan dengan isu KDRT, misalnya kelompok agamawan (kelompok laki-laki

biasanya masuk dalam kelompok agamawan, karena biasanya pembenaran kelompok

laki-laki lahir dari dalil-dalil agama), kelompok aparat penegak hukum dan

kelompok korban akan lahir masukan-masukan terhadap RUU anti KDRT.

Sejak awal sosialisasi dan hingga saat ini kontroversi terhadap RUU anti

KDRT tetap ada, namun LBH APIK optimis bahwa kekuatan anti KDRT akan

semakin banyak dan RUU anti KDRT dapat menjadi sebuah UU. LBH APIK juga

menyadari bahwa akan ada kelompok-kelompok yang tidak setuju terhadap RUU

anti KDRT ini. Tapi hal itu tidak menyurutkan langkah LBH APIK, karena LBH

APIK bergerak atas kepentingan kelompok mayoritas yang memang membutuhkan.

Untuk kasus kekerasan terhadap perempuan, misalnya kasus perkosaan, maka

penangannya harus dilakukan dengan hati-hati, mengingat perkosaan merupakan

kasus yang sensitif. Sebelum melaporkan kasus perkosaan yang terjadi dalam rumah

tangga, maka terlebih dahulu harus ada pembicaraan dengan korban yang

bersangkutan. Artinya harus ada proses konseling lebih dulu. Apalagi jika perkosaan

itu telah berlangsung selama bertahun-tahun yang tentunya akan berdampak secara

psikologis kepada korban. Setelah perkosaan tersebut dilaporkan ke polisi tentu akan

ada yang namanya beban pembuktian. Polisi akan mengajukan surat untuk visum

agar korban diperiksa di Rumah Sakit untuk mengetahui apakah dengan perlakuan

yang sudah dialami korban telah mengakibatkan kerusakan pada alat vital vagina

korban. Dalam kasus-kasus kekerasan seksual, yang dilihat tidak hanya kerusakan

dari alat vital korban saja, tapi juga dampak traumatis yang ditimbulkan terhadap

korban.

Selain itu perlu juga dipikirkan keselamatan korban (terutama jika korban

tinggal satu rumah dengan pelaku). Unutk itu LBH APIK menyediakan rumah aman

atau shelter kepada korban KDRT sehingga memungkinkan si korban atau saksi

untuk sementara waktu tinggal di situ sambil melakukan konseling terus menerus.

Pendirian rumah aman atau shelter ini didasari pertimbangan bahwa ketika kasus

tersebut dilaporkan dan kemudian ditindaklanjuti sampai diputus oleh pengadilan

bagi korban umumnya akan tetap meninggalkan persoalan-persoalan yang

menyangkut psikis yang harus diselesaikan. Selain rumah aman atau shelter yang

didirikan oleh LBH APIK, sejak tahun 2000 yang lalu juga kepolisian RI juga telah

membuka unit untuk kelompok perempuan dan anak korban kekerasan berupa

Ruang Pelayanan Khusus (RPK) yang sudah terdapat di setiap tingkatan kepolisian

di 5 wilayah DKI Jakarta.

Delik, 21 April 2003
Narasumber:

Vony Reynata (Direktur LBH APIK Jakarta)








Jilid 3
CERAI GUGAT AKIBAT KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
(Studi kasus di Pengadilan AgamaSurakarta)














A. Latar Belakang Masalah












BAB I

PENDAHULUAN



Perkawinan merupakan hal yang sakral bagi manusia yang menjalaninya,

tujuan perkawinan diantaranya untuk membentuk sebuah keluarga yang harmonis

yang dapat membentuk suasana bahagia menuju terwujudnya ketenangan,

kenyamanan bagi suami isteri serta anggota keluarga. Islam dengan segala

kesempurnanya memandang perkawinan adalah suatu peristiwa penting dalam

kehidupan manusia, karena Islam memandang perkawinan merupakan kebutuhan

dasar manusia, juga merupakan ikatan tali suci atau merupakan perjanjian suci

antara laki-laki dan perempuan. Di samping itu perkawinan adalah merupakan

sarana yang terbaik untuk mewujudkan rasa kasih sayang sesama manusia dari

padanya dapat diharapkan untuk melestarikan proses historis keberadaan manusia

dalam kehidupan di dunia ini yang pada akhirnya akan melahirkan keluarga

sebagai unit kecil sebagai dari kehidupan dalam masyarakat1.

Perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia tak lepas dari

kondisi lingkungan dan budaya dalam membina dan mempertahankan jalinan

hubungan antar keluarga suami isteri. Tanpa adanya kesatuan tujuan tersebut

berakibat terjadinya hambatan-hambatan pada kehidupan keluarga, yang akhirnya

dapat menjadi perselisihan dan keretakan dalam tubuh keluarga.




1 .Djamal Latief, H. M SH , Aneka Hukum Peceraian Di Indonesia, Jakarta : Ghalia Indonesia.1982, Hal 12









Di era kemajuan sekarang ini, semakin banyak persoalan-persoalan baru

yang melanda rumah tangga, semakin banyak pula tantangan yang di hadapi

sehingga bukan saja berbagai problem yang dihadapi bahkan kebutuhan rumah

tangga semakin meningkat seiring kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Akibatnya tuntutan terhadap setiap pribadi dalam rumah tangga untuk memenuhi

kebutuhan semakin jelas dirasakan. Kebutuhan hidup yang tidak terpenuhi akan

berakibat menjadi satu pokok permasalahan dalam keluarga, semakin lama

permasalahan meruncing sehingga dapat menjadikan kearah perceraian bila tidak

ada penyelesaian yang berarti bagi pasangan suami isteri. Era globalisasi

merupakan pendukung kuat yang mempengaruhi perilaku masyarakat dan kuatnya

informasi dari barat lewat film atau media massa berpengaruh terhadap alasan

pernikahan dan perceraian. Budaya semacam ini secara tidak langsung sudah

menujukan adanya sikap masyarakat Indonesia saat ini yang memandang bahwa

sebuah perkawinan bukan hal yang sakral. Dampak dari krisis ekonomi pun turut

memicu peningkatan perceraian. Dimulai dengan kondisi masyarakat yang

semakin terbebani dengan tingginya harga kebutuhan, banyaknya kasus

pemutusan hubungan kerja oleh banyak perusahan, penurunan penghasilan

keluarga, meningkatnya kebutuhan hidup dan munculah konflik keluarga.

Kemudian kondisi ini diperparah dengan maraknya tontonan perceraian di

kalangan artis dan tokoh masyarakat, pola budaya masyarakat Indonesia yang tak

pernah lepas dari sosok penuntun atau tokoh akan semakin beranggapan bahwa

perceraian bukan hal lagi hal tabu yang selayaknya dihindari.








Perceraian pada hakekatnya adalah suatu proses dimana hubungan suami

isteri tatkala tidak ditemui lagi keharmonisan dalam perkawinan. Mengenai

definisi perceraian undang-undang perkawinan tidak mengatur secara tegas,

melainkan hanya menetukan bahwa perceraian hanyalah satu sebab dari putusnya

perkawinan, di samping sebab lain yakni kematian dan putusan pengadilan.

Soebakti SH mendefinisikan perceraian adalah

“Perceraian ialah penghapusan perkawinan karena keputusan hakim atau
tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan.”2


Dengan berlakunya UU Nomor 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum

Islam, dimana peraturan itu juga dijadikan sebagai hukum positif di Indonesia,

maka terhadap perceraian diberikan pembatasan yang ketat dan tegas baik

mengenai syarat-syarat untuk bercerai maupun tata cara mengajukan perceraian,

Hal ini di jelaskan dengan ketentuan pasal 39 UU No 1 Tahun 1974 yaitu:

1. “Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan setelah
pengadilan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak .”
2. “Untuk melakukan perceraian harus cukup alasan bahwa antara suami
isteri tidak akan dapat hidup rukun lagi sebagai suami isteri.”
3. “Tata cara di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturan sendiri.”

Ketentuan pasal 115 Kompilasi Hukum Islam yaitu :

“ Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah
Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua
belah pihak”

Jadi dari ketentuan di atas jelaslah bahwa undang-undang perkawinan

pada prinsipnya memperketat terjadinya perceraian, dimana menentukan



2 Soebekti SH. Prof, Pokok-Pokok Hukum Perdata,. Cet XX1: PT Inter Massa, 1987, hal. 247








perceraian hanya dapat dilaksanakan dihadapan sidang pengadilan, juga harus

disertai alasan-alasan tertentu untuk melakukan perceraian. Putusnya

perkawinan itu dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian

maka dari berbagi peraturan tersebut dapat di ketahui ada dua macam

perceraian yaitu cerai gugat dan cerai talak

Cerai talak hanya berlaku bagi mereka yang beragama Islam dan di ajukan

oleh pihak suami. Cerai talak adalah istilah yang khusus digunakan

dilingkungan Peradilan Agama untuk membedakan para pihak yang

mengajukan cerai. Dalam perkara talak pihak yang mengajukan adalah suami

sedangkan cerai gugat pihak yang mengajukan adalah isteri. Sebagaimana

disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 114 bahwa :

“Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi
karena talak ataupun berdasarkan gugatan perceraian.”

Sehubungan dengan latar belakang tersebut penulis berkeinginan untuk

melakukan penelitian mengenai cerai gugat akibat kekerasan dalam rumah

tangga di wilayah kota Surakarta, di mana akhir-akhir ini banyak sekali kasus

perceraian dengan alasan tersebut yang seringkali merugikan pihak dari isteri

karena tindakan dari suaminya. Pengajuan gugatan cerai dari isteri dengan

alasan kekerasan dalam rumah tangga ini di benarkan oleh Undang-undang

perkawinan yaitu di atur dalam pasal 19 huruf (d) Undang-undang No 1 Tahun

1974 Jo pasal 116 huruf (d) Kompilasi Hukum Islam dan pada dasarnya

Undang-undang perkawinan mengatur dan menentukan tentang alasan-alasan

yang dapat digunakan untuk mengajukan perceraian, yaitu :








1) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi
dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
2) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-
turut tanpa alasan yang sah atau karena alasan yang lain diluar
kemampuannya.
3) Salah satu pihak mendapat pihak mendapat hukuman penjara selama 5
(lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan
berlangsung.
4) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain.
5) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajiban sebagai suami atau istri.
6) Antara suami-istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkeran dan
tidak ada harapan lagi untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Agar penulisan ini tidak menyimpang dari skripsi maka penulis membatasi

hanya mengenai percerian yang di sebabkan karena salah satu pihak

melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak

lain. Perkawinan kadangkala tidak sesuai dengan tujuan semula, ketidak

mengertian dan kesalahpahaman masing-masing pihak tentang peran, hak dan

kewajibanya membuat perkawinan tidak harmonis lagi. Hal ini dapat memicu

pertengkaran yang terus menerus, akhirnya salah satu pihak melakukan

tindakan kekerasaan, melukai fisik atau psikis.

Korban kekerasan dalam rumah tangga umumnya adalah perempuan atau

isteri yang notabene mempunyai fisik yang lemah di bandingkan dengan

suaminya. Tetapi banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga yang tidak

melaporkan nasibnya kepada yang berwenang, salah satu sebabnya adalah

ketergantungan korban terhadap pelaku baik secara ekonomi maupun sosial.

Kekerasan dalam rumah tangga ini biasanya di sebabkan oleh faktor tidak

siapnya pasangan dalam menempuh kehidupan berumah tangga yang








kemudian di salurkan ke dalam kehidupan rumah tangga, dan seringkali yang
menjadi korban adalah dari pihak isteri dan anak-anaknya3.

Kekerasan dalam rumah tangga menurut pasal 1 ayat 1 undang-undang

No. 23 tahun 2004, tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

menyatakan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah ; “setiap perbuatan

terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya

kesengsaraan, atau penderitaan secara fisik, seksual psikologis, dan/atau

penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,

pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam

lingkup rumah tangga

Adapun bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga seperti yang disebut di atas

dapat dilakukan suami terhadap anggota keluarganya dalam bentuk : 1)

Kekerasan fisik, yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat ; 2)

Kekerasan psikis, yang mengakibatkan rasa ketakutan, hilangnya rasa percaya

diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dll.

3).Kekerasan seksual, yang berupa pemaksaan seksual dengan cara tidak

wajar, baik untuk suami maupun untuk orang lain untuk tujuan komersial, atau

tujuan tertentu ; dan 4). Penelantaran rumah tangga yang terjadi dalam lingkup

rumah tangganya, yang mana menurut hukum diwajibkan atasnya. Selain itu

penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan

ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk

bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah, sehingga korban berada di

bawah kendali orang tersebut. Sehingga dengan alasan kekerasan di dalam

3 Noelle Nelson,”Bagaimana Mengenali dan Merspon Sejak Dini Gejala Kekerasan Dalam
Rumah Tangga, : Gramedia, 2006, hal : 6








rumah tangga itu maka pihak isteri mengajukan gugatan ke pengadilan Agama

untuk memutuskan ikatan tali perkawainan tersebut.

Sejak di berlakukanya UU No. 7 tahun 1989 kemudian dirubah UU No 3

tahun 2006 tentang Peradilan Agama maka ketentuan tentang tata cara

mengajukan cerai talak dan cerai gugat bagi mereka yang beragama islam

yang dilakukan di Pengadilan Agama, telah diatur dalam Undang-undang ini.

Dimana ketentuan tersebut tercantum dalam pasal 66 sampai pasal 86, dan

dengan diberlakukanya Undang-undang Peradilan Agama tersebut berarti

mencabut ketentuan dalam pasal 63 ayat 2 UU No.1 tahun 1974 dimana isinya

menyebutkan bahwa “Setiap keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan oleh

peradilan umum.”

Dengan diberlakukan Undang-undang tentang Peradilan Agama tersebut

maka Pengadilan Agama itu mempunyai Kompetensi Absolut dan Kompetensi

Relatif, untuk memberikan pelayanan hukum dan keadilaan dalam bidang

hukum keluarga dan harta pekawinan bagi orang-orang yang beragama islam

antara lain adalah mengenai perceraian.

Perceraian yang dilakukan di muka pengadilan lebih menjamin

persesuainya dengan pedoman Islam tentang perceraian, sebab sebelum ada

keputusan terlebih dulu diadakan penelitian tentang apakah alasan-alasanya

cukup kuat untuk terjadi perceraian antara suami isteri, kecuali itu

dimungkinkan pula pengadilan bertindak sebagai hakam sebelum mengambil

keputusan bercerai antara suami isteri.








Berdasarkan hal-hal tersebut maka penulis mencoba untuk menijau lebih

jauh melalui penulisan skripsi dengan Judul “CERAI GUGAT AKIBAT

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (Studi kasus di Pengadilan

Agama Surakarta)”

B. Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah dalam penelitian ini perlu dilakukan agar

pembahasanya tidak terlalu luas dan tidak menyimpang dari pokok

permasalahan disamping itu juga untuk mempermudah melaksanakan

penelitian. Oleh sebab itu maka penulis membatasi dengan membahas

permasalahan tentang pertimbangan hakim dalam memutus perkara cerai

gugat akibat kekerasan dalam rumah tangga di Pengadilan Agama Surakarta

dan factor-faktor penyebab adanya kekerasan dalam rumah tangga.

C. Perumusan Masalah

Berangkat dari latar belakang masalah tersebut di atas maka terdapat beberapa

pokok permasalahan yang dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Faktor-Faktor Apasaja Yang Menyebabkan Salah Satu Pihak Melakukan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga ?

2. Bagaimanakah Pertimbangan Hakim Dalam Menyelesaikan Perkara Cerai

Gugat Akibat Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Pengadilan Agama

kota Surakarta.?

D. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1.Untuk mengetahui Faktor-faktor apasaja yang menyebabkan salah satu

pihak melakukan kekerasan dalam rumah tangga








2. Untuk mendiskripsikan pertimbangan hakim dalam menyelesaikan perkara

cerai gugat akibat kekerasan dalam rumah tangga di Pengadilan Agama kota

Surakarta

E. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis

Diharapakan dari penulisan skripsi ini dapat menambah konstribusi

pengetahuan tentang cerai gugat akibat kekerasan dalam rumah tangga.dan

juga pertimbangan Hakim dalam memutuskan suatu perkara cerai gugat

sekaligus memperkaya teori kepustakaan hukum khususnya hukum Islam dan

Hukum Acara Peradilan Agama.

2. Manfaat Praktis

Sebagai bahan pertimbangan dalam upaya pemecahan masalah yang di hadapi

oleh Pengadilan Agama dalam penyelesaian kasus cerai gugat karena

kekerasan dalam rumah tangga khususnya di wilayah hukum Surakarta.

F. Metode Penelitian

Untuk mengetahui dan penjelasan mengenai adanya segala sesuatu yang

berhubungan dengan pokok permasalahan di perlukan suatu pedoman penelitian

yang disebut metodologi penelitian yaitu cara melukiskan sesuatu dengan

menggunakan pikiran secara seksama untuk mencapai suatu tujuan, sedangkan

penelitian adalah suatu kegiataan untuk mencari, merumuskan dan menganalisa

sampai menyusun laporan4






4 Cholid Narbuko, Abu Achmadi, Metode Penelitian, Jakarta : Bumi Pustaka, 1997.








Dengan demikian metodologi penelitian sebagai cara yang dipakai untuk

mencari, merumuskan dan menganalisa sampai menyusun laporan guna

mencapai satu tujuan.Untuk mencapai sasaran yang tepat dalam penelitian

penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut :

1. Metode pendekatan

Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan yuridis normatif,

disebut juga penelitian hukum doktinal yaitu hukum dikonsepkan sebagai

apa yang tertulis dalam perundang-undangan atau hukum dikonsepkan

sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia

yang diangap pantas5Dalam penelitian ini yang dicari adalah putusan

pengadilan agama dalam memutuskan perkara cerai gugat akibat

kekerasan dalam rumah tangga

2. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian deskriptif ,

yaitu untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia

keadaan atau gejala lainya6. Metode deksriptif ini dimaksudkan untuk

memperoleh gambaran yang baik, jelas dan dapat memberikan data seteliti

mungkin tentang obyek yang diteliti. Dalam hal ini untuk mendikripsikan

cerai gugat akibat kekerasan dalam rumah tangga.

3. Lokasi Penelitian

Dalam penyusunan penelitian ini Di Pengadilan Agama Surakarta, dengan

pertimbangan lokasi yang mudah dijangkau dan sebagai salah satu pelaku

5 Amirudin Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT Rajagrapindo, 1995,
hal. 38
6 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : UI Pres, 1998: hal. 58








kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilaan yang beragama Islam

mengenai perkara tertentu sebagaimana diatur dalam UU No 3 tahun 2006

tentang perubahan atas UU No 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

4. Sumber Data

a.Data Primer

Merupakan data yang diperoleh langsung dari lapangan oleh sebagai

gejala lainya yang ada di lapangan dengan mengadakan penijuan

langsung pada obyek yang diteliti.

b.Data Sekunder

Merupakan data yang diperoleh melalui studi pustaka yang bertujuan

untuk memperoleh landasan teori yang berumber dari Al-Quran, Al-

Hadist, perundang-undangan, buku literatur, Yursiprudensi dan yang ada

hubunganya dengan materi yang di bahas.

5. Metode Pengumpulan Data

a.Penelitian kepustakaan

Yaitu suatu metode pengumpulan data dengan cara membaca atau

mempelajari buku peraturan perundang-undangan dan sumber

kepustakaan lainya yang berhubungan dengan obyek penelitian7

Metode ini di gunakan untuk mengumpulkan data sekunder mengenai

permasalahan yang ada relavansinya dengan obyek yang di teliti, dengan

cara menelaah atau membaca Al-Quran, Al-Hadist, buku-buku,





7 Hilman Hadikusuma, Pembuatan Kertas Kerja Skripsi Hukum, Bandung : Mandar Maji, 1991
hal. 80








peraturan perundang-undangan, maupun kumpulan literatur yang ada

hubunganya dengan masalah yang di bahas.

b. Penelitian Lapangan

Yaitu metode pengumpulan data dengan cara terjun langsung ke dalam

obyek penelitian.dalam pengumpulan data lapangan ini penulis

menggunakan yaitu:

1.Wawancara

Wawancara adalah suatu bentuk komunikasi verbal jadi semacam

percakapan untuk memperoleh informasi.8

Disini penulis mengumpulkan data dengan cara mengadakan tanya

jawab secara langsung dengan responden terutama informan yang

banyak mengetahui tentang masalah yang diteliti. Dengan ini penulis

mengadakan wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Surakarta

6.Metode Analisa Data

Setelah data di kumpulkan dengan lengkap, tahapan berikutnya adalah

tahap analisa data. Pada tahap ini data akan dimanfatkan sedemikian rupa

sehingga diperoleh kebenaran-kebenaran yang dapat dipakai untuk,

menjawab persoalaan yang diajukan dalam penelitian. Setelah jenis data

yang dikumpulkan maka analisa data dalam penuilsan ini bersifat kualitatif

Adapun metode analisa data yang dipilih adalah model analisa interaktif.

Didalam model analisa interaktif terdapat tiga komponen pokok berupa

a. Reduksi data



8 S.Nasution, Metode Resech, Jakarta : Bumi Aksara 2001 hal 25








Reduksi data adalah sajian analisa suatu bentuk analisis yang

mempertegas, memperpendek, membuat fokus, membuang hal yang tidak

penting dan mengatur sedemikian rupa sehinga kesimpulan akhir dapat

dilakukan

b. Sajian Data

Sajian data adalah suatu rakitan organisasi informasi yang memungkinkan

kesimpulan riset dapat dilakukan dengan melihat suatu penyajian data.

Penelitian akan mengerti apa yang terjadi dan memungkinkan untuk

mengerjakan sesuatu pada anailisis ataupun tindakan lain berdasarkan

pengertian tersebut,

c. Penarikan kesimpulan

Penarikan kesimpulan yaitu kesimpulan yang ditarik dari semua hal yang

terdapat dalam reduksi data dan sajian data. Pada dasarnya makna data

harus di uji validitasnya supaya kesimpulan yang diambil menjadi lebih

kokoh. Adapun proses analisisnya adalah sebagai berikut : Langkah

pertama adalah mengumpulkan data, setelah data terkumpul kemudian

data direduksi artinya diseleksi, disederhanakan, menimbang hal-hal yang

tidak relevan, kemudian diadakan penyajian data yaitu rakitan organisasi

informasi atau data sehingga memungkinkan untuk ditarik kesimpulan.

Apabila kesimpulan yang ditarik kurang mantap kekurangan data maka

penulis dapat melakukan lagi pengumpulan data. Setelah data-data

terkumpul secara lengkap kemudian diadakan penyajian data lagi yang








susunanya dibuat sistematis sehingga kesimpulan akhir dapat dilakukan

berdasarkan data tersebut .

G. Sistematika Penulisan Penelitian

Untuk memberikan gambaran yang jelas tentang arah dan tujuan penulisan

penelitian, maka secara garis besar dapat di gunakan sistematika penulisan

sebagai berikut:

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

B. Perumusan Masalah

C. Pembatasan Masalah

D. Tujuan Penelitian

E. Manfaat Penelitian

F. Metode Penelitian

G. Sisematika Penelitian

BAB II. TINJUAN PUSTAKA

A.Tinjuan Umum Mengenai Perkawinan dan cerai gugat

1. Tinjuan umum mengenai Perkawinan

a. Pengertian Perkawinan

b. Tujuan Perkawinan

c. Rukun Perkawinan

d. Syarat Sahnya Perkawinan

e. Hak dan Kewajiban Suami Isteri dalam Perkawinan








2. Tinjuan umum Mengenai cerai gugat

a. Pengertian cerai gugat

b. Alasan-alasan cerai gugat

c. Akibat-akibat hukum dari cerai gugat

d. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga

e. Faktor-Faktor Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga

e. Sanksi Hukum Pelaku Kekerasan Dalam Rumah Tangga

B. Tinjuan umum tentang Peradilan Agama

1. Kompentensi dan Asas –Asas Umum Peradilan Agama

a. Kompentensi Relatif Peradilan Agama

b. Kompentensi Absolut Peradilan Agama

c. Asas-asas umum Peradilan Agama

2.. Produk-produk Peradilan Agama dan Pelaksanaannya

a. Produk-produk Peradilan Agama

b. Pelaksanaan putusan dan penetapan

BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Salah Satu Pihak Melakukan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga

2. Pertimbangan Hakim Dalam Menyelesaikan Perkara Cerai Gugat

Akibat Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Pengadilan Agama

Kota Surakarta











B. Pembahasan

1. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Salah Satu Pihak Melakukan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga

2. Pertimbangan Hakim Dalam Menyelesaikan Perkara Cerai Gugat

Akibat Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Pengadilan Agama

Kota Surakarta

BAB IV. PENUTUP

a. Kesimpulan

b. Saran

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

Jilid 4

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DAN PENYELESAIANNYA (STUDI KASUS DI KECAMATAN KALIKOTES KABUPATEN KLATEN TAHUN 2006-2008)
Skripsi/Undergraduate Theses from digilib-uinsuka / 2009-05-25 14:40:56
By : FATCHUL JAWAD NIM: 04350084, Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Created : 2009-05-20, with 1 files

Keyword : Hukum Islam, kekerasan dalam rumah tangga, penyelesaiannya
ABSTRAK

Keluarga adalah masyarakat terkecil tempat dimulainya bimbingan individu. Ia tumbuh sejak lahir dalam lingkungan masyarakat kecil ini, sebagai karakternya terbentuk sesuai dengan karakter keluarga. Namun dalam membentuk sebuah keluarga yang baik, tidak semudah yang dibayangkan kebanyakan orang, karena dalam sebuah keluarga pasti muncul permasalahan-permasalahan yang harus diselesaikan, salah satunya adalah permasalahan dalam rumah tangga yang harus diselesaikan untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Kekerasan dalam rumah tangga disini diartikan sebagai tindak kekerasan yang secara umum dilakukan dalam kehidupan rumah tangga seperti pemukulan, penganiayaan bahkan sampai pembunuhan. Dalam penelitian ini penyusun mencoba untuk menggali lebih dalam mengenai kekerasan dalam rumah tangga, khususnya yang terjadi di wilayah Kecamatan Kalikotes Kabupaten Klaten.

Alasan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga di Kecamatan Kalikotes disebabkan karena beberapa faktor antara lain: perbedaan pemikiran antara suami istri, permasalahan ekonomi, kurangnya pemahaman agama, dan ketidak tahuan terhadap hukum. Bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi adalah penganiayaan fisik, penganiayaan psikis, dan penganiayaan seksual yang seharusnya tidak terjadi dalam kehidupan rumah tangga. Kemudian penyelesaian yang dilakukan adalah ada beberapa bentuk penyelesaian yaitu secara kekeluargaaan, secara prosedural yang dilakukan pihak kepolisian dan pengadilan. jadi, apabila sudah diketahui alasan-alasan dari kekerasan dalam rumah tangga tersebut diharapkan sebuah keluarga bisa mengendalikan diri untuk tidak melakukan tindak kekerasan, dan apabila kekerasan dalam rumah tangga bisa dihindari, maka akan terciptalah rumah tangga yang bahagia dan terbebas dari segala bentuk kekerasan.

Dengan menganalisis permasalahan di atas, penyusun menganalisis data dengan menggunakan pendekatan sosiologis, psikologis dan normatif dan melakukan interview kepada Ka-nit Sat-Reskrim Polres Klaten, staf Pengadilan Agama Klaten, dan diperkuat dengan data yang ada. Dan dalam penyelesaian tindak kekerasan dalam rumah tangga yang ada di masyarakat Kecamatan Kalikotes Kabupaten Klaten.

Setelah dilakukan penelitian di lapangan, permasalahan ideologi, ekonomi, kurangnya pemahaman terhadap ajaran agama, dan kurang sadarnya masyarakat terhadap hukum menjadi faktor utama penyebab tindak kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi di Kecamatan Kalikotes. Bentuk-bentuk kekerasan tersebut cenderung pada kekerasan fisik dari pada kekerasan psikis karena melihat korban yang mengeluh sakit badan dari pada sakit batinnya. Hal ini dikaitkan dengan tujuan hukum Islam (maqasid as-syariâۉ„¢ah) yang juga menggunakan teori-teori keilmuan sebagai bahan analisis dan konsep malahah mursalah. Dan Islam memandang penyelesaian kekerasan yang ada di Kecamatan Kalikotes tersebut tepat karena sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan Indonesia dan demi kemaslahatan bersama sehingga mendapatkan keadilan yang seadil-adilnya.

Jilid selanjutnya


















PERANAN

JARINGAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK (JPPA)

DALAM PENANGANAN TINDAK KEKERASAN TERHADAP

PEREMPUAN

DI KABUPATEN KUDUS



SKRIPSI

untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
pada Universitas Negeri Semarang





Oleh :

HENDRO WICAKSONO
NIM 3450402042






FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG SEMARANG

2006



i

































































ii







PENGESAHAN KELULUSAN



Skripsi ini telah dipertahankan didepan Sidang Panitia Ujian Skripsi Fakultas Ilmu

Sosial, Universitas Negeri Semarang pada :



Hari : Senin

Tanggal : 2 April 2007






Penguji Skripsi



Dr. Indah Sri Utari, SH, M.Hum
NIP. 132305995




Anggota I



Drs. Sutrisno, PHM, M.Hum
NIP. 130795080














Mengetahui :

Dekan,



Drs. H. Sunardi, MM
NIP. 130367998





iii




Anggota II



Rodiyah, S.Pd, M.Si
NIP. 132258661








PERNYATAAN



Saya menyatakan bahwa yang tertulis di dalam Skripsi ini benar-benar hasil karya

saya sendiri, bukan jiplakan dari karya orang lain, baik sebagian atau seluruhnya.

Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam Skripsi ini dikutip atau

dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.






Semarang, April 2007



Hendro Wicaksono
NIM. 3450402042































iv












MOTTO :







MOTTO DAN PERSEMBAHAN


• Tidak ada kata kalah dalam berjuang, jika kita selalu berusaha dan

bertawakkal kepada Sang Khaliq (H. Wicaksono Shipan)

• Emas dan permata adalah perhiasan wanita dan sebaik-baiknya perhiasan

adalah wanita shalihah (H. Wicaksono Shipan)

• Kedamaian akan terwujud selagi kita tidak menggunakan cara kekerasan

untuk menyelesaikannya melainkan cara perdamaian (H. Wicaksono Shipan)

• “Jangan Marah karena marah dapat merusak emosi jiwa, budi pekerti,

memperburuk pergaulan, menghancurkan kasih sayang dan memutuskan

silaturahmi” (Dr. Aidh bin Abdullah Al Qorni)



Skripsi penulis persembahkan kepada :

• Allah SWT penguasa kerajaan langit dan bumi, Maha
Cahaya, ArasyMu yang berkilauan menerangi hati dan
nafasku
• Nenek tersayang dan tercinta Ibu serta Mama tercinta
• Keluarga besar Ibu Hj. Sri Wahyuni beserta putra-
putrinya berikut cucu-cucunya yang lucu dan imut
• Pendamping hidupku
• Mahasiswa Hukum Angkatan 2002
• Almamaterku








v


































































vi







PRAKATA



Puji Syukur Kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat

hidayah dan inayah-Nya & Shalawat dan Salam untuk Nabi Besar kita Nabi

Muhammad SAW sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini.

Penulisan ini dapat terselesaikan berkat bantuan dari berbagai pihak. Pada

kesempatan ini penulis akan mengucapkan banyak terimakasih kepada berbagai

pihak yang telah memberikan bantuan, motivasi, semangat dan dorongan serta

bimbingan kepada penulis sehingga dapat terselesaikannya skripsi ini.

Pada kesempatan yang berharga ini, penulis menyampaikan banyak

ucapan terimakasih yang tak terhingga kepada :

1. Bapak Prof. DR. H. Sudijono Sastroatmodjo, M.Si selaku Rektor

Universitas Negeri Semarang.

2. Bapak Drs. H. Sunardi, MM selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial

Universitas Negeri Semarang.

3. Bapak Drs. Eko Handoyo, M.Si selaku Ketua Jurusan Hukum dan

Kewarganegaraan Universitas Negeri Semarang.

4. Bapak Drs. Sutrisno, PHM, M.Hum, selaku dosen pembimbing I yang

telah bersedia untuk membimbing penulis dengan penuh kesabaran dan

ketelitian sehingga terselesaikannya penulisan skripsi ini.

5. Ibu Rodiyah, S. Pd, M.Si selaku dosen pembimbing II yang telah bersedia

untuk membimbing dan memberi semangat kepada penulis sehingga

terselesaikannya penulisan skripsi ini.



vi







6. Ibu Dr. Indah Sri Utari, SH, M.Hum selaku Dosen Penguji yang telah

menyediakan waktunya untuk menguji skripsi ini.

7. Ibu Hj. Noor Hani’ah, selaku Wakil Bupati Kudus dan Ketua Jaringan

Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA) Kabupaten Kudus yang telah

memberikan izin dan kesempatan kepada penulis untuk melakukan

penelitian di JPPA.

8. Ibu Endang Erowati, SH selaku Ketua Bidang I Perlindungan Perempuan,

Ibu Dra. Hj. Fahriyah selaku Ketua Bidang III Bidang Sumber Daya

Manusia dan Mbak Evi, selaku staff kantor di JPPA Kabupaten Kudus

yang telah banyak membantu memberikan masukan, pengetahuan serta

seluk beluk tentang JPPA kepada penulis, sehingga dapat terselesaikannya

skripsi ini.

9. Bp.H.D.Djunaedi, SH, S.Pn dan Bp. Andreas Haryanto, SH, CN selaku

Ketua dan Wakil DPC IKADIN Semarang yang telah memberikan izin

kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

10. Bp. Drs. H. R. Djoko Nugroho, selaku Ketua KADIN Jawa Barat, Direktur

Utama PT. STANDART MAHKOTA SARANA, Ketua Antar Lembaga Real

Estate Indonesia (REI), PT. JABABEKA Jakarta semoga terpilih menjadi

Bupati Kudus 2008.

11. Ibu Hj. Sri Wahyuni Shipan, selaku nenek tercintaku, yang selama ini

merawat, membesarkan dan memberikan semua fasilitas baik materiil

maupun spiritual serta membuat aku jadi seperti ini.tanpa beliau aku bukan

apa2 di dunia ini.sembah sujud buat mbah uti.



vii







12. Ibu Hj. Woro Srie Hartati, S.Pd dan Ibu Dra. Hj. Retno Ekaningsih selaku

ibu yang memberikan motivasi, nasehatnya. sehingga dapat melewati liku-

liku hidup ini dengan tabah dan tawakkal.

13. Bp. H. Wahyudi, SH. MH & Keluarga, Bp. H. Budi WD, Amd selaku om

aku & Keluarga Terimakasih atas bimbingan dan nasehatnya.

14. Teman-teman kantor IKADIN Semarang, mbak Metty P, SH, mbak

Endang, SH, mbak Rinta SH. Terimakasih atas absennya.

15. Ibu Alinda, S.Pd & Bp Supri S.Pd yang telah setia membantu aku,

terimakasih atas bimbingan rohaninya dan semoga cepat dapat momongan

dan Terimakasih juga kepada Dian, SE yang juga pernah membantu aku.

16. Adek-adekku dan Kakak-Kakakku semua

17. Teman Gangger boy treo (zaenal ceplix, tira pon2) bimo Ganggerly Chiky

( nurma, niken, hanik SH thanks atas usaha kalian), Muna, ratih, Pak

Herry Abduh SH, Linda cah PuRi Pati yg pernah memberikan buku

penelitian dari jogja, temen2 Hukum Angkatan 2002. Gang preman

SMU2 wowoz, didit, bendol, gambas, ninok ratih, Kopaja dari PAPUA

sampai JAWA.

Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi

penulis khususnya dan bagi semua pihak yang berkepentingan pada umumnya.



Semarang, April 2007



Penulis



viii

































































ix







SARI

Wicaksono, Hendro.2007. Peranan Jaringan Perlindungan Perempuan dan
Anak (JPPA) Dalam Penanganan Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan di
Kabupaten Kudus. Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Semarang. 100h

Kata Kunci: Peranan, JPPA, Tindak Kekerasan, Kekerasan Terhadap
Perempuan
Peranan JPPA dalam memberikan pendampingan dan perlindungan kepada
masyarakat khususnya terhadap korban kekerasan terhadap perempuan
mempunyai tugas sebagai relawan pendamping untuk membantu menyelesaikan
persoalan-persoalan yang menyangkut tentang kekerasan terhadap perempuan
serta dalam melakukan tugasnya, JPPA melibatkan berbagai pihak dengan
bekerjasama dengan Aparat Kepolisian, LSM, Rumah Sakit, Ormas,dll.Namun,
kebenaran argumen ini perlu dibuktikan melalui kegiatan penelitian agar
mendapat jawaban yang akurat.
Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah (1) Upaya
penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan oleh JPPA Kabupaten Kudus?,
(2) Proses penanganan kasus kekerasan kekerasan terhadap perempuan oleh JPPA
Kabupaten Kudus?, (3) Kendala-kendala yang dihadapi oleh JPPA dalam
menangani kasus kekerasan terhadap perempuan?
Penelitian ini bertujuan: (1) Untuk mendiskripsikan upaya yang dilakukan
JPPA Kudus dalam usahanya menangani kasus tindak kekerasan terhadap
perempuan, (2) Untuk menunjukkan proses penanganan yang dilakukan oleh
JPPA Kudus terhadap kasus tindak kekerasan perempuan, (3) Untuk memberikan
gambaran empiris kendala-kendala yang dihadapi oleh JPPA Kudus dalam
menangani kasus tindak kekerasan terhadap perempuan.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Lokasi penelitian di Kantor
JPPA Kabupaten Kudus. Informan penelitian adalah anggota-anggota yang terkait
dengan penanganan kasus tindak kekerasan terhadap perempuan. Fokus penelitian
adalah (1) upaya yang dilakukan JPPA Kabupaten Kudus dalam menangani tindak
kekerasan terhadap perempuan, dengan indikator: pendidikan dan pelatihan, unsur
medis, penyadaran masyarakat, kerjasama dengan pihak lain, (2) Proses
penanganan yang dilakukan JPPA terhadap kasus tindak kekerasan perempuan
dengan indikator: Penerimaan laporan atau pengaduan dari korban, Pembuatan
berita acara kronologis kejadian ditangani oleh Bidang I, Bidang I membuat
laporan yang ditujukan kepada ketua umum kemudian ketua umum menerbitkan
surat tugas kepada bidang I untuk menindak lanjuti kasus tersebut, Upaya
konseling dilakukan dengan memberikan pembinaan antara pihak yang bertikai
alternatif pemecahan masalah. Alternatif yang dimaksud adalah bahwa pihak
Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA) Kabupaten Kudus akan
membantu menyelesaikan masalah baik secara kekeluargaan atau damai maupun
secara hukum, Pelimpahan perkara kepada penuntut umum dan pengembaliannya
kepada penyidik untuk disempurnakan, (3) Kendala-kendala yang menghambat
dalam upaya menangani kasus tindak kekerasan terhadap perempuan dengan


ix







indikator: kendala internal dan kendala eksternal. Alat pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara dan dokumentasi. Data yang
dikumpulkan menggunakan model analisis interaksi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Upaya yang Dilakukan oleh
Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA) Dalam Menangani Tindak
Kekerasan Terhadap Perempuan antara lain melalui :pendidikan dan pelatihan,
unsur medis, penyadaran masyarakat, kerjasama dengan pihak lain (Kepolisian,
LSM, Ormas), (2) Proses penanganan yang dilakukan JPPA terhadap kasus tindak
kekerasan perempuan secara garis besar meliputi kegiatan: Penerimaan laporan
atau pengaduan dari korban, Pembuatan berita acara kronologis kejadian ditangani
oleh Bidang I berdasarkan laporan atau pengaduan dari korban, saksi korban atau
keluarga korban, Bidang I membuat laporan yang ditujukan kepada ketua umum
kemudian ketua umum menerbitkan surat tugas kepada bidang I untuk menindak
lanjuti kasus tersebut, Upaya konseling dilakukan dengan memberikan pembinaan
antara pihak yang bertikai alternatif pemecahan masalah, Pelimpahan perkara
kepada penuntut umum dan pengembaliannya kepada penyidik untuk
disempurnakan, (3) Kendala-Kendala yang Menghambat Dalam Upaya
Penanganan Kasus Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Perempuan meliputi:
kendala internal yaitu kurangnya tenaga ahli yang profesional di dalam JPPA,
faktor keuangan mengandalkan dari dana APBD saja, Kendala eksternal yaitu
Masih ada anggapan dari masyarakat bahwa korban kekerasan terhadap
perempuan masih dianggap tabu untuk diketahui pihak luar, mendukung adanya
budaya patriakhi dan struktur budaya yang menganggap bahwa perempuan
merupakan sub ordinat (konco wingkng) mengakibatkan hak-hak perempuan
terabaikan, serta masyarakat terkadang masih menyalahkan korban sehingga
sumber atau penyebab terjadinya tindak kekerasan.
Berdasarkan hasil penelitian di JPPA Kabupaten Kudus dapat disimpulkan
bahwa peranan JPPA terhadap tindak kekerasan terhadap perempuan sudah
maksimal, hal ini dapat diamati dari penyelesaian kasus kekerasan terhadap
perempuan pada tahun 2005-tahun 2006, dari 20 kasus yang masuk, 16 kasus
terselesaikan, 4 kasus masih dalam proses penanganan.
Berdasarkan hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pihak JPPA
Kabupaten Kudus disarankan agar pihak JPPA Kabupaten Kudus lebih aktif
untuk mensosialisasikan peranannya kepada masyarakat supaya masyarakat
mengetahui jenis-jenis kekerasan maupun akibat kekerasan serta proses
penanganan terhadap tindak kekerasan terhadap perempuan, Dalam melaksanakan
tugas dan tanggungjawabnya, Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak
(JPPA) Kabupaten Kudus sebagai relawan pendamping korban kekerasan
terhadap perempuan membutuhkan dana yang cukup besar. Oleh sebab itu
Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA) Kabupaten Kudus hendaknya
mengandalkan biaya operasional selain dari dana APBD seperti donatur tetap dari
perorangan maupun kelompok., Hendaknya disediakan Rumah Aman atau Shelter
yang berfungsi khusus untuk proses konseling bagi korban tindak kekerasan
terhadap perempuan di lingkungan Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak
(JPPA) Kabupaten Kudus.



x

































































xi





DAFTAR ISI



HALAMAN JUDUL………………………………………...………………. i

PERSETUJUAN PEMBIMBING…………………………………...……… ii

PENGESAHAN KELULUSAN……………………………………………. iii

PERNYATAAN……………………………………………………………. iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN………………………………………….. v

PRAKATA…………………………………………………………….…... vi

SARI……..…………………………………………….…………………... ix

DAFTAR ISI……………………………………………………………….. xi

DAFTAR TABEL………………………………………………………… xiv

DAFTAR GAMBAR……………………………………………………... xv

DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………….. xvi

BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………. 1

A. Latar Belakang……………………………………………………. 1

B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah…………………………….. 7

C. Perumusan Masalah………………………………………………. 8

D. Tujuan Penelitian…………………………………………………. 9

E. Manfaat Penelitian………………………………………………... 9

F. Sistematika Skripsi……………………………………………… 10

BAB II KAJIAN PUSTAKA……………………………………………… 13

A. Peranan JPPA ...…………………………………………………. 13

B. Pengertian JPPA………………………………………………… 15

C. Tugas Pokok..…………………………………………………… 16


xi





D. Tindak Kekerasan……………………………………………..… 17

1. Pengertian Tindak Kekerasan...……………………...…….. 17

2. Faktor Yang Menyebabkan Tindak Kekerasan……………. 18

3. Pola-Pola Kekerasan……………………………...……..…. 20

4. Bentuk-Bentuk Kekerasan……………………………….… 21

5. Teori Kekerasan…………………………………………… 23

E. Kekerasan Terhadap Perempuan…….…………………. ………. 26

1. Pengertian Kekerasan Terhadap Perempuan……………….. 26

2. Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Terhadap

Perempuan…………………..…………………………….... 26

3. Bentuk-Bentuk Tindak Kekerasan Terhadap

Perempuan……………………………………………….… 28

4. Jenis-Jenis Kekerasan Terhadap Perempuan…………….… 30

5. Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan

Terhadap Perempuan……………………….…..………… 32

F. Kerangka Pikir……………...…………………...………………. 37

BAB III METODE PENELITIAN……………………………..………….. 40

A. Pendekatan Penelitian………………………………….……... 40

B. Lokasi Penelitian……………………………………....……… 40

C. Fokus Penelitian…………………………………………….… 40

D. Sumber Data Penelitian……………………………….….…… 41

E. Alat dan Teknik Pengumpulan Data…………………….……. 42

F. Keabsahan Data……………………………….……………… 44

G. Metode Analisis Data………………………………………… 45


xii





H. Prosedur Penelitian…………………………………………… 49

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN………………….. 51

A. Hasil Penelitian…………………………………….………… 51

B. Pembahasan……………………………………….………….. 83

BAB V PENUTUP…………………………………………………………. 97

A. Simpulan…………………………………….………………… 97

B. Saran………………………………………… ……………….. 99

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………..……. 101

LAMPIRAN-LAMPIRAN







































xiii







DAFTAR TABEL



Tabel 1: Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan……………………………. 4

Tabel 2 : Kasus Kekerasan Berbasis jender…………………………………. 5

Tabel 3 : Fokus Penelitian………………………………………………….. 50

Tabel 5 : Susunan Anggota JPPA…………………………………………… 57












































xiv







DAFTAR GAMBAR



Gambar 1 : Kerangka Pikir…………………………………………………. 38

Gambar 2 : Model Triangulasi sumber perbandingan hasil wawancara

Dengan isi suatu data………………………………..………… 46

Gambar 3 : Model Analisis Interaksi……………………………………….. 49

Gambar 4 : Proses Penanganan Kekerasan yang ditangani JPPA………….. 69










































xv







DAFTAR LAMPIRAN



Lampiran 1 : Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang PKDRT

Lampiran 2 : Berita Acara Pemeriksaan

Lampiran 4 : Pemeriksaan Visum

Lampiran 5 : Surat Perintah Penahanan

Lampiran 6 : Surat Perintah Penyidikan

Lampiran 7 : Surat Perintah Penangkapan

Lampiran 8 : Surat Perintah Penhanan

Lampiran 9 : Berkas Acara Pemeriksaan

Lampiran 11 : Logo JPPA

Lampiran 12 : Keputusan Bupati Kudus

Lampiran 13 : Form Pelaporan Kekerasan Terhadap Perempuan

Lampiran 14 : Memo Penanganan Korban

Lampiran 15 : Matrik

Lampiran 16 : Pedoman Wawancara

Lampiran 17 : Ijin Survey Pendahuluan

Lampiran 18: Ijin Penelitian

Lampiran 19 : Surat Keterangan pelaksanaan Penelitian dari JPPA













xvi
















A. Latar Belakang








BAB I

PENDAHULUAN



1

Kekerasan terhadap sesama manusia memiliki sumber atau alasan yang

bermacam-macam, seperti politik, keyakinan agama, rasisme dan ideologi gender.

Salah satu sumber kekerasan yang diyakini penyebab kekerasan dari laki-laki

terhadap perempuan adalah ideologi gender. Sejarah perbedaan gender (Gender

Differences) antara manusia jenis laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses

yang sangat panjang, oleh karena itu, terbentuknya perbedaan-perbedaan gender

disebabkan banyak hal diantaranya, dibentuk, disosialisasi, diperkuat bahkan

dikonstruksi secara sosial dan kultural baik melalui ajaran keagamaan maupun

negara. Sosialisasi gender tersebut akhirnya dianggap ketentuan Tuhan seolah-

olah bersifat biologis yang tidak bisa diubah lagi sehingga perbedaan gender

dianggap dan dipahami sebagai kodrat laki-laki dan kodrat perempuan, misalnya

masyarakat sering menganggap bahwa ‘kodrat wanita’ adalah mendidik anak,

merawat anak, dan mengelola kebersihan dan keindahan rumah tangga.

Perbedaan gender sesungguhnya tidak menjadi masalah sepanjang tidak
melahirkan ketidakadilan gender, namun yang menjadi persoalan ternyata
perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, maupun terutama
kaum perempuan. Ketidakadilan gender terwujud dalam berbagai bentuk
ketidakadian, seperti marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi
atau anggapan tidak penting dalam urusan politik, pembentukan sterotip atau
pelabelan negatif, kekerasan (Violence). Beban kerja lebih panjang dan lebih
banyak (Burden). Rika Saraswati(2006:14-15).




2




Pada kenyataanya selama lebih dari enam puluh tahun usia Republik

Indonesia, pelaksanaan penghormatan, perlindungan, atau penegakan Hak Asasi

Manusia masih jauh dari memuaskan. Hal ini tercermin dari kejadian tindak

kekerasan terhadap perempuan yang merupakan salah satu fenomena paling

krusial saat ini. Banyak perempuan korban tindak kekerasan yang tutup mulut,

tidak mau bercerita pada siapapun tentang penderitaan yang dirasakannya. Ini

dikarenakan jika mereka mengadukan apa yang mereka alami, korban justru

berpotensi untuk memperoleh kekerasan yang berikutnya, dan jika apabila kasus

tersebut terungkap, akan membawa dampak psikis karena aibnya telah diketahui

oleh banyak orang. Hal ini akan mengakibatkan korban semakin sedih dan

semakin memendam penderitaannya.

Sebenarnya perempuan itu diletakkan pada posisi yang tinggi, ungkapan-
ungkapan yang menunjukkan penghargaan terhadap perempuan sebetulnya sudah
sering kita dengar, seperti “Ibu Negara”, “Surga di telapak kaki Ibu”, “Ibu
Kota”, “Wanita tiang Negara” dan pepatah adat Jawa “Sedhumuk bathuk senyari
bumi den lakoni taker pati pecahing dada utahing ludiro” dan sebuah kenyataan
bahwa kita semua juga pernah hidup kurang lebih 9 (sembilan) bulan 10 (sepuluh)
hari dalam rahim perempuan, dengan berbagai ungkapan itu menunjukkan betapa
kita bangsa Indonesia itu sangat menghargai perempuan dengan hak-haknya, akan
tetapi pada kenyataanya perempuan direndahkan martabatnya, terjadinya
perbuatan tidak adil baik disengaja maupun tidak, menempatkan perempuan
dalam posisi tidak setara (Inequal) dalam berbagai bidang (Subarkah:2004).

Dengan adanya ketidakadilan dalam persoalan pembagian peran gender

tersebut, maka menimbulkan berbagai upaya untuk merubah bahkan

menghilangkan pembagian peran gender yang merugikan perempuan atau yang

diskriminatif itu. Diseluruh dunia terjadi perubahan, perempuan dan mereka yang

membela perempuan, akan terus bergerak meminta perubahan sampai tidak



3




terjadi lagi ketidakadilan gender, apalagi kekerasan terhadap perempuan yang

mana sebagian besar berakar pada diskriminasi ketidakadilan gender tersebut.

Wujud nyata dalam melakukan perubahan dalam menanggapi masalah

diskriminasi terhadap perempuan (kekerasan terhadap perempuan) dibuktikan

dengan adanya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang

penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Indonesia

merupakan salah satu Negara yang ikut serta dalam konvensi ini dengan

meratifikasinya melalui Undang-Undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 1984

tentang Pengesahan Konvensi PBB mengenai Penghapusan Segala Bentuk

Diskriminasi Terhadap Wanita. Keikutsertaan Indonesia dengan meratifikasi

konvensi ini mewajibkan segala unsur dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan

bermasyarakat untuk melakukan upaya penghapusan segala bentuk diskriminasi

terhadap perempuan, artinya tidak boleh ada lagi perlakuan pembedaan dan jika

sebelumnya ada, hal itu harus segera dihilangkan atau diubah menjadi tidak

diskriminatif.

Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang jaminan

perlindungan terhadap kaum perempuan belum juga membawa hasil. Hal itu

disebabkan karena belum diimplementasikan secara maksimal, bahkan akhir-

akhir ini wacana yang membahas tentang kekerasan terhadap perempuan semakin

banyak ditemukan diberbagai media, baik media massa ataupun media

elektronika. Kekerasan itu tidak hanya terjadi diluar rumah, namun kekerasan itu

terjadi di dalam rumah tangga.















































NO



4




Bentuk-bentuk kekerasan yang dialami korban berupa kekerasan

fisik,psikologis, ekonomi dan seksual. Kekerasan fisik yang dialami oleh

perempuan akibat tindak kekerasan terhadap perempuan sepeerti dipukul dan

ditampar. Kekerasan psikologis yang dilakukan suami berupa main perempuan,

suami sering mabuk, berkata-kata tidak senonoh, mengancam akan membunuh.

Sedangkan kekerasan ekonomi berupa suami tidak memberikan nafkah lahir,

merampas penghasilan istri dan menggunakannya untuk pekerjaan yang tidak

bertanggung jawab, menjual barang-barang istri, baik harta bawaan maupun harta

bersama.tanpa persetujuan istri. Sedangkan kekerasan seksual antara lain, suami

mempunyai kelainan seksual, dan perkosaan. Dengan berbagai macam jenis

tindak kekerasan terhadap perempuan yang berada di masyarakat, tetap saja pihak

perempuan yang selalu menjadi korban. Berikut ini adalah beberapa kasus tindak

kekerasan terhadap perempuan.

Tabel 1 kasus kekerasan terhadap perempuan pada November 2003-

Oktober 2004 di Jawa Tengah

JENIS KASUS JUMLAHKASUS KORBAN PELAKU MENINGGAL


1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.


Perkosaan
Kekerasan dlm RT
Kekerasan masa pacaran
Kekerasan terhadap PSK
Kekerasan terhadap TKW
Pelecahan seksual
Perdagangan manusia


181
132
108
74
44
7
6


254
198
112
944
129
7
14


269
196
116
tamu,polisi
majikan
8
15


8
22
17
1
14
-
-


Sumber: Rika Saraswati(2006:56-57).


















NO



5






Tabel 2 Kasus kekerasan berbasis jender bulan November 2004-Oktober 2005 di
Jawa Tengah


JENIS KASUS JUMLAHKASUS KORBAN PELAKU MENINGGAL

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Perkosaan
Kekerasan dlm RT
Kekerasan masa pacaran
Kekerasan terhadap PSK
Kekerasan terhadap TKW
Pelecahan seksual
Perdagangan manusia

188
134
99
87
41
8
2

274
184
134
1145
73
19
2

307
179
109
tamu, polisi
majikan,PJTKI

6
7
6
-
12
-
-


Sumber: Rika Saraswati(2006:56-57).

Penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan, dibutuhkan kerja sama

dari berbagai pihak. Pihak yang terkait dalam kasus kekerasan terhadap

perempuan meliputi aparat penegak hukum, unsur medis, masyarakat, maupun

relawan pendamping yang nantinya diharapkan mampu untuk membantu

menyelesaikan kasus terhadap perempuan.

Perempuan korban kekerasan sebagian besar memerlukan pendamping

yang bisa mengerti dan melindungi serta mampu membantu mereka dalam

menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya. Dalam melaksanakan tugasnya,

sebagai relawan pendamping untuk membantu upaya penanganan kasus

kekerasan terhadap perempuan selama ini belum menunjukkan hasil yang

maksimal dan memuaskan semua pihak, karena banyaknya kendala-kendala yang

dihadapi oleh pihak relawan pendamping. Hal tersebut merupakan permasalahan

yang perlu mendapatkan perhatian sehingga peneliti tertarik untuk mengangkat




6




dan membahasnya dalam skripsi yang berjudul : “PERANAN JARINGAN

PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK (JPPA) DALAM

PENANGANAN TINDAK KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DI

KABUPATEN KUDUS”.

Alasan dipilihnya judul tersebut secara rinci adalah sebagai berikut:

1. Tindak kekerasan terhadap perempuan merupakan masalah sosial yang harus

ditangani secara optimal melalui berbagai upaya baik secara Preventif ataupun

Represif.

2. JPPA Kabupaten Kudus sebagai wadah perlindungan perempuan korban

kekerasan sudah sepatutnya memberikan dan mengupayakan segala

kemampuan dalam tugasnya sebagai relawan pendamping untuk membantu

menyelesaikan persoalan-persoalan yang menyangkut tentang kekerasan

terhadap perempuan.

Tindak kekerasan yang terjadi terhadap perempuan harus ditangani,

ditanggulangi dan diwaspadai melalui berbagai upaya oleh JPPA Kabupaten

Kudus sebagai tenaga relawan pendamping. Sudah sepatutnya JPPA

Kabupaten Kudus dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan

melibatkan berbagai pihak dengan menjalin kerja sama dengan Aparat

Penegak Hukum (Polisi, Jaksa, Hakim), Rumah Sakit dan masyarakat luas

dalam memberikan informasi atau masukan yang bermanfaat bagi kemajuan

dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan di Kabupaten Kudus.








B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah
1. Identifikasi Masalah



7


Fenomena kasus kekerasan terhadap perempuan semakin hari semakin

memprihatinkan, dimana kaum perempuan membutuhkan perlindungan dari

pihak lain untuk membantu menyelesaikan permasalahan yang sedang

dihadapinya. Kaum perempuan korban kekerasan membutuhkan perhatian

yang lebih dari orang yang mampu mengerti dan memahami keadaannya.

Dalam membantu menyelesaikan kasus kekerasan terhadap perempuan

dibutuhkan pendamping atau relawan. Akan tetapi pada kenyataanya relawan

pendamping dalam membantu menyelesaikan masalah korban kekerasan

terhadap perempuan jauh dari memuaskan, hal ini dikarenakan banyaknya

kendala-kendala yang dihadapi oleh relawan pendamping.

Dari uraian maka identifikasi masalah penelitian ini adalah:

a. Upaya penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan oleh JPPA

Kabupaten Kudus.

b. Proses penanganan kasus kekerasan kekerasan terhadap perempuan oleh

JPPA Kabupaten Kudus.

c. Kendala-kendala yang dihadapi oleh JPPA dalam menangani kasus

kekerasan terhadap perempuan.









2. Pembatasan Masalah



8


Berdasarkan pertimbangan tersebut, menarik untuk dikaji lebih dalam

masalah upaya penanganan tindak kekerasan terhadap perempuan di JPPA

Kabupaten Kudus, akan tetapi penanganannya jauh dari memuaskan. Hal ini

dikarenakan kendala-kendala yang dihadapi pihak JPPA diantaranya:

kurangnya fasilitas, kurangnya personil dan tenaga profesional serta

tanggapan dari pihak lain yang masih minimal. Kasus terhadap perempuan di

Kota Kudus kurang mendapat perhatian dan dari tahun ketahun semakin

menunjukkan peningkatan yang sangat memprihatinkan.

Namun demikian penelitian ini hanya membatasi pada upaya-upaya

yang dilakukan oleh JPPA dalam mendampingi korban kasus kekerasan

terhadap perempuan serta kendala-kendala yang menghambat dalam upaya

dan proses penanganan tindak kekerasan terhadap perempuan.



C. Perumusan permasalahan
Bertolak dari latar belakang yang dikemukakan diatas, secara khusus

peneliti ingin menjawab beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Apakah upaya yang dilakukan oleh JPPA Kudus dalam menangani kasus

tindak kekerasan terhadap perempuan sudah sesuai dengan Keputusan

Menteri atau Surat Keputusan Bupati Kudus ?

2. Bagaimana proses penanganan yang dilakukan oleh JPPA Kudus terhadap

kasus tindak kekerasan terhadap perempuan ?




9




3. Kendala-kendala yang dihadapi oleh JPPA Kudus dalam menangani kasus

tindak kekerasan terhadap perempuan ?



D. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mendiskripsikan upaya yang dilakukan JPPA Kudus dalam usahanya

menangani kasus tindak kekerasan terhadap perempuan.

2. Untuk menunjukkan proses penanganan yang dilakukan oleh JPPA Kudus

terhadap kasus tindak kekerasan perempuan.

3. Untuk memberikan gambaran empiris kendala-kendala yang dihadapi oleh

JPPA Kudus dalam menangani kasus tindak kekerasan terhadap perempuan.



E. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan akan mempunyai manfaat yang antara lain:

1. Bersifat Teoritis

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai informasi awal bagi peneliti

lain yang akan mengadakan penelitian yang sejenis.

Memberikan sumbangan pemikiran dalam usaha mengembangkan ilmu

pengetahuan di bidang hukum pidana, khususnya mengenai penanganan JPPA

terhadap tindak kekerasan perempuan, sehingga permasalahan tersebut tidak

semakin memprihatinkan.



10




Diperoleh gambaran tentang peran yang telah dilakukan JPPA Kudus

dalam usahanya menangani kasus tindak kekerasan terhadap perempuan.

Dapat menunjukkan proses penanganan yang dilakukan oleh JPPA

Kudus terhadap kasus tindak kekerasan perempuan.

Untuk memberikan gambaran kendala-kendala yang dihadapi oleh JPPA

Kudus dalam menangani kasus tindak kekerasan terhadap perempuan

2. Bersifat Praktis

Dapat dijadikan sebagai bahan kajian dalam meningkatkan dan

memperbaiki kinerja JPPA dalam penanganan kasus tindak kekerasan

terhadap perempuan.



F. Sistematika Skripsi
Agar lebih mudah dimengerti dalam mengikuti uraian skripsi ini, maka

dibagi dalam tiga bagian dengan sistematika penulisan sebagai berikut:

1. Bagian Awal, berisi:

Halaman judul, Persetujuan Pembimbing, Pengesahan Kelulusan, Pernyataan,

Motto dan Persembahan, Prakata, Sari, Daftar Isi Daftar Lampiran.

2. Bagian Pokok terdiri dari :

Bab I: Pendahuluan

Dalam bab ini terdiri dari beberapa sub bab, yang dimulai dengan latar

belakang penelitian, Identifikasi dan Pembahasan Masalah, Perumusan



11




Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian dan Sistematika Penulisan

Skripsi.

Bab II: Kajian Pustaka dan/atau Kerangka Teoritik

Dalam bab ini penulis akan menguraikan hasil penelaahan kerangka teoritik

yang erat kaitannya dengan kekerasan terhadap perempuan dan penanganan

yang dilakukan oleh JPPA yang dimulai dari Pengertian JPPA Kudus, Tugas

Pokok JPPA, Tindak Kekerasan, Kekerasan terhadap Perempuan, serta Upaya

Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan.

Bab III: Metode Penelitian

Dalam bab ini penulis akan manjelaskan tentang Pendekatan Penelitian,

Lokasi Penelitian, Fokus Penelitian, Sumber Data, Teknik Sampling, Alat dan

Teknik Pengumpulan Data, Objektivitas dan Keabsahan data, Model Analisis

Data, Model Analisis Data dan Prosedur Penelitian.

BabIV: Hasil Penelitian dan Pembahasan

Dalam Bab ini penulis akan membahas tentang upaya-upaya yang dilakukan

oleh JPPA Kudus dalam menangani kasus tindak kekerasan terhadap

perempuan, proses penanganan terhadap kasus tindak kekerasan terhadap

perempuan serta kendala-kendala yang menghambat dalam menangani kasus

tindak kekerasan terhadap perempuan.

Bab V : Penutup

Dalam bab ini penulis akan memaparkan tentang kesimpulan dan saran.








3. Bagian akhir skripsi



12


Dalam bab ini berisi tentang daftar pustaka dan lampiran yang digunakan

acuan untuk menyusun skripsi.















A. Peranan JPPA







BAB II

KAJIAN PUSTAKA


13


Peran dapat diartikan sebagai seperangkat tingkat yang diterapkan

dimiliki oleh orang atau lembaga yang berkedudukan dalam masyarakat (Tim

Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1986:667).

Dalam kapasitasnya sebagai Jaringan Perlindungan Perempuan dan

Anak, JPPA memiliki status artinya kedudukan JPPA menyebabkan adanya

hak-hak dan kewajiban. Hak merupakan wewenang untuk berbuat sedangkan

kewajiban merupakan tugas yang harus dilaksanakan. Kedudukan merupakan

posisi tertentu didalam struktur kemasyarakatan yang terbagi menjadi 3

tingkatan:

1. Yang mungkin tinggi

2. sedang-sedang saja, dan

3. rendah (Soekanto 2004:20)

Dari kedudukan tersebut sebenarnya merupakan suatu wadah yang berisi
hak-hak serta kewajiban-kewajiban tertentu, yang menimbulkan adanya
peranan.
Peranan itu sendiri dibagi menjadi 4 yaitu:
1. Peranan yang ideal (ideal role)
2. Peranan yang seharusnya (expected role)
3. Peranan yang dianggap ole diri sendiri (perceived role)
4. Peranan yang sebenarnya dilakukan (actual role) (Soekanto 2004:20).

Bahwa peranan yang ideal dan seharusnya datang dari pihak-pihak

lain, kedua peranan tersebut dapat berfungsi apabila seseorang berhubungan

dengan pihak lain (role sector) dengan fokus utamanya adalah dinamika



14



masyarakat. Sedangkan peranan yang sebenarnya berasal dari diri pribadi.

Penggunaan perspektif peranan mempunyai keuntungan diantaranya, lebih

mudah membuat suatu proyeksi, karena pemusatan perhatian pada segi

prosesual, serta lebih memperhatikan pelaksanaan hak dan kewajiban serta

tanggung jawabnya daripada kedudukan dengan lambang-lambang yang

cenderung bersifat konsumtif.

Disini personel JPPA sebagai pemegang peranan (role occupant)

melakukan penanganan tindak kekerasan terhadap perempuan. Dalam skripsi

ini penulis hanya menggunakan peranan ideal dan peranan yang seharusnya.

Peranan ideal tercantum dalam Keputusan Menteri Pemberdayaan Perempuan

Republik Indonesia Nomor: B. 110/Mei/PP/Dep.III/2003, Tanggal 11

September 2003, Perihal : Panduan Umum Focal Point dan Pokja PUG

(Pengarus Utamaan gender). Dimana secara tegas diharapkan bahwa dalam

rangka melaksanakan Pengarus Utamaan Gender (PUG) perlu dilakukan

berbagai upaya.

Peranan yang seharusnya, tercantum dalam Surat Keputusan Bupati

Kudus No. 460/1301/2003 Tanggal 15 November 2003 tentang: Pembentukan

Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak di Kabupaten Kudus. Menurut

Surat Keputusan tersebut, tugas pokok JPPA yaitu:

1. Melakukan pengkajian dan analisa terhadap permasalahan yang

berhubungan dengan upaya perlindungan perempuan dan anak

2. Merumuskan kegiatan JPPA Kabupaten Kudus

3. Melakukan monitoring dan evaluasi atas pelaksanaan kegiatan.







B. Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA)


15


JPPA adalah singkatan dari Jaringan Perlindungan Perempuan dan

Anak. JPPA merupakan wahana paritipatif, tempat tempat berhimpunnya

mereka yang peduli dan para pemerhati permasalahan perempuan dan anak.

Yang pengurusnya terdiri dari berbagai elemen baik pemerintah, Perguruan

Tinggi, Organisasi Wanita, LSM, maupun individu untuk bersama-sama

mengkaji menganalisa permasalahan perempuan dan anak demi menegakkan

panji-panji keadilan.

Terbentuknya JPPA di Kabupaten Kudus berdasarkan Keputusan

Menteri Pemberdayaan Perempuan republik Indonesia Nomor: B.

110/Mei/PP/Dep.III/2003, Tanggal 11 September 2003, Perihal : Panduan

Umum Focal Point dan Pokja PUG (Pengarus Utamaan gender). Dimana

secara tegas diharapkan bahwa dalam rangka melaksanakan Pengarus

Utamaan Gender (PUG) perlu dilakukan berbagai upaya.

Dalam hal ini upaya yang dirintis Kabupaten Kudus adalah

membentuk Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA) dan

disyahkan melalui Surat Keputusan Bupati Kudus No. 460/1301/2003 Tanggal

15 November 2003 tentang: Pembentukan Jaringan Perlindungan Perempuan

dan Anak di Kabupaten Kudus.








C. Tugas Pokok JPPA


16


Dalam menghadapi tantangan dan peluang jangka panjang yang jauh

ke depan, maka visi program pembangunan pemberdayaan perempuan

dirumuskan sebagai berikut:

Terwujudnya kesetaraan gender (dan perlindungan anak) dalam kehidupan

berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara.

Sedangkan visi Kelembagaan Pemberdayan Perempuan adalah:

Kesetaraan dan keadilan gender, kesejahteraan dan perlindungan anak

dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Menurut Keputusan Menteri Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia

Nomor B. 110/Mei/PP/Dep.III/2003, Tanggal 11 September 2003, tugas yang

harus dilakukan sebagai berikut:

1. Peningkatan kualitas hidup perempuan dan menggalakkan sosialisasi

kesetaraan dan keadilan gender.

2. Penghapusan segala bentuk tindak kekerasan terhadap perempuan dan

menegakkan hak asasi manusia bagi perempuan.

3. Peningkatan kesejahteraan dan perlindungan anak.

4. Pemampuan dan peningkatan kemandirian lembaga dan organisasi.

5. Meningkatkan mental spiritual, pelaku hidup dengan dasar penghyatan dan

pengamalan Pancasila.

6. Meningkatkan kepedulian, kesadaran dan kepekaan masyarakat terhadap

Perlindungan Perempuan dan Anak, melalui pelayanan dan penyuluhan



17



hukum untuk memantapkan sistem perlindungan hukum bagi masyarakat

khususnya Perempuan dan Anak.

7. Meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) khususnya

Perempuan dan Anak dengan berbagai kegiatan pelatihan, penyuluhan dan

ketrampilan.

8. Meningkatkan kegiatan penelitian dan pendataan masalah yang dihadapi

dan potensi yang dimiliki Perempuan dan Anak, mengoptimalkan potensi

dan pemberdayaan Perempuan dan Anak Untuk mengatasi masalah

Perempuan dan Anak.



D. Tindak Kekerasan

1. Pengertian Tindak Kekerasan

Pengertian kekerasan secara yuridis dapat dilihat pada Pasal 89

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yaitu:

“membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan

menggunakan kekerasan.”

Yang dimaksud dengan “kekerasan” atau yang biasa

diterjemahkan dari “violence”. Violence berkaitan dengan gabungan

kata latin “vis” (daya, kekuatan) dan “lotus” (yang berasal dari ferre,

membawa) yang berarti membawa kekuatan.

Mengutip pendapat John galtung dalam I Marsana Windu (1992:64)

Kekerasan terjadi bila manusia dipengaruhi sedemikian rupa sehingga

realisasi jasmani dan mental aktualnya berada dibawah realisasi


18



potensialnya. Jadi intinya kekerasan adalah penyebab adanya perbedan

antara yang aktual dan potensial, antara apa yang mungkin dan

memang ada. Tingkat realisasi potensial ialah apa yang memang

mungkin direalisasikan sesuai dengan tingkat wawasan, sumber daya

dan kemajuan yang sudah dicapai pada jamannya. Contohnya melukai

atau membunuh yang dilakukan dengan sengaja atau tidak sengaja atau

tidak, berlangsung cepat atau lambat merupakan tindak kekerasan.

Menurut para ahli “kekerasan” yang dipergunakan sehingga
mengakibatkan terjadinya kerusakan baik fisik atau phsikis adalah
kekerasan yang bertentangan dengan hukum, oleh karena itu
merupakan kejahatan. Bertitik tolak dari definisi tersebut tampak
bahwa kekerasan (violence) menunjuk pada tingkah laku yang
pertama-tama harus bertentangan dengan UU, baik berupa ancaman
saja atau merupakan suatu tindakan nyata dan memilih akibat-akibat
kerusakan terhadap harta benda atau fisik atau bahkan sampai
mengakibatkan kematian pada seseorang (Atmasasmita 1992:55).

Mengutip pendapat Soerjono Soekanto dalam Aroma Elmina Martha

(2003:21) mendevinisikan kejahatan kekerasan/violence dengan:

Kejahatan kekerasan ialah suatu istilah yang dipergunakan bagi
terjadinya cidera mental atau fisik. Kejahatan kekerasan sebenarnya
merupakan bagian dari kekerasan, yang kadang-kadang diperbolehkan,
sehingga jarang disebut sebagai kekerasan. Masyarakat biasanya
membuat kategori-kategori tertentu mengenai tingkah laku yang
dianggap keras dan tidak. Semakin sedikit terjadinya kekerasan dalam
suatu masyarakat, semakin besar kekhawatiran yang ada bila terjadi.

2. Faktor Yang Menyebabkan Tindak Kekerasan

Mengutip pendapat Soerjono Soekanto dalam Mulyana W.

Kusumah (1990:41) menunjukkan lima sebab terjadinya kejahatan

dengan kekerasan, yaitu adanya orientasi pada benda yang

menimbulkan keinginan mendapat materi dengan jalan mudah, tidak


19



ada penyaluran kehendak serta adanya semacam tekanan mental pada

orang-seorang, keberanian mengambil resiko, kurangnya perasaan

bersalah dan adanya keteladanan yang kurang baik.

Menurut M. Wolfgang dan F. Ferracuti ( The Sub-culture of
violence, Toward An Integrated Theory in Criminology, 1967 ) dalam
menelaah kejahatan-kejahatan dengan kekerasan dapat diketengahkan
dua proposisi :
a. Norma-norma yang mengijinkan dan mendukung kekerasan
sebelumnya telah terdapat dalam lingkungan si pelanggar hukum
sendiri.
b. Banyak pelanggar hukum yang menghayati dan dipengaruhi oleh
norma-norma tersebut (Kusumah 1990:42).

Norma-norma demikian berasal dari sub-kebudayaan kekerasan

(sub-culture of violence) yang ada di dalam masyarakat sendiri atau

dengan perkataan lain, kejahatan-kejahatan dengan kekerasan adalah

bagian tidak terpisahkan dari unsure-unsur sub-kebudayaan tertentu.

Berkembangnya norma-norma yang mengijinkan dan mendukung

kekerasan merupakan bagian dari unsur-unsur sub-kebudayaan di atas,

nampaknya semakin bersemi jika ditambah oleh pengkondisian oleh

struktur-struktur dalam masyarakat.

Pola-pola hubungan social-ekonomi yang menampilkan ciri

dominasi dan ketidakadilan melalui proses-proses sosial yang kompleks

dapat menimbulkan sikap dan prilaku yang merupakan reaksi atas struktur-

struktur demikian.

Sub-kebudayaan kekerasan dapat didasari oleh struktur-struktur

serupa itu, dan pada gilirannya keseluruhan aspek dan unsur sub-


20



kebudayaan tersebut, terutama nilai-nilai dan norma-normanya, mewarnai

struktur-struktur dalam masyarakat (Kusumah 1990:42).

3. Pola-pola kekerasan

Mengenai pola-pola kekerasan, Martin R. Haskell dan Lewis

Yablonsky dalam Mulyana W Kusumah (1990:25) mengemukakan adanya

empat kategori yang mencakup hampir semua pola-pola kekerasan, yakni :

a. Kekerasan Legal
Kekerasan ini dapat berupa kekerasan yang didukung oleh
hukum, misalnya tentara yang melakukan tugas dalam peperangan,
maupun kekerasan yang dibenarkan secara legal, misalnya : sport-sport
agresif tertentu serta tindakan-tindakan tertentu untuk
mempertahankan diri.

b. Kekerasan yang secara sosial memperoleh sanksi
Suatu faktor penting dalam menganalisa kekerasan adalah tingkat
dukungan atau sanksi sosial terhadapnya. Misalnya : tindakan
kekerasan seorang suami atas pezina akan memperoleh dukungan
sosial.

c. Kekerasan rasional
Beberapa bentuk kekerasan yang tidak legal akan tetapi tak ada
sanksi sosialnya adalah kejahatan yang dipandang rasional dalam
konteks kejahatan. Mengutip Gilbert Geis tentang jenis kejahatan ini,
bahwa orang-orang yang terlibat dalam pekerjaannya pada kejahatan
terorganisasi yaitu dalam kegiatan-kegiatan seperti perjudian,
pelacuran serta lalu lintas narkotika, secara tradisional menggunakan
kekerasan untuk mencapai hasrat lebih daripada orang-orang yang ada
di lingkungan tersebut (Kusumah:1990:25).

d. Kekerasan yang tidak berperasaan (“irrational violence”)

Yang terjadi tanpa adanya provokasi terlebih dahulu, tanpa

memperlihatkan motivasi tertentu dan pada umumnya korban tidak

dikenal oleh pelakunya. Dapat digolongkan kedalamnya adalah apa

yang dinamakan “raw violence” yang merupakan ekspresi langsung

dari gangguan pshikis seseorang dalam saat tertentu kehidupannya.







4. Bentuk-bentuk Kekerasan


21


John Galtung dalam I Marsana Windu (1992:68-71) membagi menjadi

6 dimensi penting dari kekerasan :

a. Pembedaan Pertama: Kekerasan fisik dan psikologis

Dalam kekerasan fisik tubuh manusia disakiti secara jasmani
behkan bias sampai pada pembunuhan. Disini jelas bahwa kemampuan
pada diri si korban berkurang atau hilang sama sekali. Sarana
transportasi yang tidak merata, yang hanya berpusat pada orang-orang
atau tempat tertentu, hal itu bisa menyebabkan dapat membatasi gerak
dan mengurangi aktualisasi potensi jasmani. Cara-cara kekerasan
seperti memenjarakan atau merantai menyebabkan kemampuan jiwa
atau rohani berkurang. Adanya kebohongan, indoktrinasi, ancaman,
tekanan yang dimaksud mereduksi kemampuan mental atau otak
(Windu 1992:68).

b. Pembedaan Kedua: pengaruh positif dan negative

Seseorang dapat dipengaruhi tidak hanya dengan menghukum
bila ia bersalah, tetapi juga dengan memberi imbalan. Dalam system
imbalan sebenarnya terdapat ‘pengendalian’, tidak bebas, kurang
terbuka dan cenderung manipulatif, meskipun menimbulkan suatu
kenikmatan dan euphoria. Jadi pembedaan ini mengacu pada orientasi
imbalan (reward oriented) (Windu 1992:69).

c. Pembedaan Ketiga: ada obyek atau tidak

Galtung mengatakan dapatkah dikatakan suatu kekerasan terjadi
jika tidak ada obyek fisik atau biologis yang disakiti. Jawabannya
adalah dalam tindakan itu tetap ada ancaman kekerasan fisik dan
psikilogis, meskipun tidak memakan korban tetapi membatasi tindakan
manusia. Contohnya adalah penghancuran benda. Tindakan ini
menurut Galtung dianggap sebagai kekerasan pshikologis. Meskipun
tindakan itu tidak memakan korban tapi merusak atau menghancurkan
barang berarti telah menghina yang mempunyai barang dan telah
menceraikan hubungan pemilihan. Jadi meskipun tidak ada obyek
yang langsung dikenai tetap ada ancaman kekerasan baik menyangkut
orangnya atau miliknya (Windu 1992:69).

d. Pembedaan Keempat :ada subyek atau tidak

Sebuah kekerasan disebut langsung atau personal jika ada
pelakunya dan bila tidak ada pelakunya disebut struktural atau tidak



22



langsung. Dampak atau akibat kekerasan langsung dapat diketahui
pelakunya (manusia secara konkret). Tapi kekerasan struktural justru
sulit untuk menemukan pelaku menusia secara konkret (Windu
1992:70).

e. Pembedaan Kelima: Disengaja atau tidak

Pembedaan ini penting ketika orang harus mengambil keputusan
mengenai “kesalahan”, dan mengungkapkan berbagai kemencengan
pemahaman mengenai kekerasan, perdamaian serta sistem etika yang
dimaksud untuk memerangi kekerasan yang dilakukan dengan sengaja.
Pemahaman yang menekankan unsur sengaja ini tentu cukup untuk
melihat, mengatasi kekerasan struktural yang tidak disengaja. Bila
tindakan ini diarahkan untuk perdamaian, maka terlalu sedikit yang
dapat dijangkau. Dengan demikian jika tindakan itu diarahkan untuk
perdamaian artinya diarahkan untuk menentang kekerasan langsung
dan tidak langsung. Karena dilihat dari sudut korban, sengaja atau
tidak sengaja maka kekerasan tetap kekerasan (Windu 1992:71).

f. Pembedaan Keenam: Yang tampak dan tersembunyi

Kekerasan yang tampak nyata dan personal atau struktural dapat
dilihat meskipun secara tidak langsung. Sedangkan kekerasan
tersembunyi adalah sesuatu yang memang tidak kelihatan, tetapi bisa
dengan mudah meledak. Kekerasan tersembunyi akan terjadi jika
situasi menjadi begitu tidak stabil sehingga realisasi aktual dapat
menurun dengan mudah (Windu 1992:71).

Bila dikaitkan dengan enam dimensi tindak kekerasan tersebut

maka dapat dilihat bahwa John Galtung berusaha memahami konsep

kekerasan secara luas. Bentuk tindak kekerasan itu sangat kompleks dan

saling terkait, bahkan apabila seseorang mengalami satu bentuk kekerasan,

maka bisa diikuti oleh bentuk kekerasan pshikis. Contohnya seorang istri

yang sering mendapatkan makian dari pihak suami, maka jiwanya akan

merasa tertekan, sehingga menimbulkan penderitaan batin.







5. Teori Kekerasan


23


Maraknya kekerasan terhadap perempuan menjadi rangkaian kata-

kata yang cukup populer dalam beberapa tahun belakangan ini. Sangat

ironis ditengah-tengah masyarakat modern yang dibangun diatas prinsip

rasionalitas dan demokrasi yang secara teori seharusnya mampu menekan

tindak kekerasan tetapi justru budaya kekerasan justru menjadi fenomena

yang tidak terpisahkan. Dewasa ini kita banyak menyaksikan berbagai

tindak kriminalitas, kerusuhan, kerusakan moral, perkosaan, pengniayaan

yang seluruhnya ada dalam wadah kekerasan.

Menurut kacamata feminisme, kekerasan dalam rumah tangga

merupakan hasil bantuan interaksi sosial dalam masyarakat patriakhi yaitu

sistem yang didominasi dan dikuasai oleh laki-laki. Inilah yang menjadi

penyebab maraknya kekerasan terhadap perempuan termasuk dalam rumah

tangga.

Terdapat teori kekerasan untuk memahami mengapa korban

kekerasan dalam rumah tangga tetap bertahan atau berupaya

mempertahankan perkawinannya (Rifka Annisa 1998:4). Teori kekerasan

terdiri dari tiga tahap yaitu tahap munculnya ketegangan, tahap pemukulan

akut, dan tahap bulan madu.

Pada tahap munculnya ketegangan yang mungkin disebabkan oleh
percekcokan terus-menerus atau tidak saling memperhatikan atau
kombinasi keduanya dan kadang-kadang disertai dengan kekerasan kecil.
Namun semua ini biasanya dianggap sebagai “bumbu perkawinan”.
Kemudian pada tahap kedua, kekerasan mulai muncul berupa
meninju, menendang, menampar, mendorong, mencekik, atau bahkan
menyerang dengan senjata. Kekerasan ini dapat berhenti jika si perempuan



24



lari dari rumah atau si laki-laki sadar apa yang dilakukan, atau salah
seorang dibawa ke rumah sakit.
Pada tahap bulan madu, laki-laki sering menyesali tindakannya.
Penyesalannya berupa rayuan dan berjanji tidak akan melakukannya lagi.
Bahkan, tidak jarang laki-laki menunjukkan sikap mesra dan
menghadiahkan sesuatu. Kalau sudah begitu, perempuan menjadi luluh
dan memaafkannya karena dia masih berharap hal tersebut tidak akan
terjadi lagi. Itulah sebabnya mengapa perempuan tetap memilih bertahan
meski menjadi korban kekerasan karena pada tahap bulan madu ini
perempuan merasakan cinta yang paling penuh. Namun kemudian tahap
ini pudar dan ketegangan muncul lagi, terjadi tahap kedua munculnya
ketegangan dan kekerasan, selanjutnya terjadi bulan madu kembali (Rika
Saraswati, 2006:32)

Setiap tanggal 25 November, masyarakat dunia memperingati hari

Internasional penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Hal ini

disambut dengan cepat oleh pemerintahan indonesia, dengan menerbitkan

Undang-Undang no.23 Tahun 2004 yang disandarkan pada deklarasi PBB

tentang penghapusan kekerasan terhadap perempuan pada tanggal 20

Desember 1998 dan ditandatanganinya konfrensi Internasional tentang anti

kekerasan terhadap perempuan pada awal maret 2000.

Adanya Undang-Undang no.23 tahun 2004 tentang penghapusan

kekerasan terhadap kekerasan dalam rumah tangga, Pemerintah

mempunyai harapan-harapan yang antara lain:

1. Menginginkan warga negaranya mendapatkan rasa aman dan bebas

dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan

Undang-Undang Dasar 1945

2. Menginginkan penghapusan segala bentuk kekerasan terutama

kekerasan dalam rumah tangga, sebab segala bentuk kekerasan


25



merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap

martabat manusia.

3. Menginginkan semua penduduknya khususnya pada perempuan harus

mendapatkan perlindungan dari negara dan atau masyarakat agar

terhindar dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan atau

perlakuan yang merendahkan derajat manusia.

4. Menginginkan terjaminnya perlindungan untuk perlindungan untuk

korban kekerasan dalam rumah tangga dengan sistem hukum yang ada

di Indonesia.

Untuk mewujudkan apa yang diinginkan oleh pemerintah, telah

merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah

tangga, menyelenggarakan komunikasi, informasi dan edukasi tentang

kekerasan dalam rumah tangga, menyelenggarakan sosialisasi dan

advokasi tentang kekerasan dalam rumah tangga, menyelenggarakan

pendidikan dan pelatihan gender serta menetapkan standar dan akreditasi

pelayanan sensitive geender.

Realita yang terjadi di masyarakat, ternyata masih ada banyak

kasus kekerasan terhadap perempuan atau kekerasan terhadap rumah

tangga adalah karena tidak adanya perlindungan oleh negara, masyarakat

maupun keluarga. Ini adalah akibat dari tidak adanya pemahaman yang

jelas tentang hak-hak dan kewajiban negara, masyarakat, ataupun anggota

keluarga.







Kekerasan terhadap perempuan juga disebabkan oleh


26


kecenderungan perilaku yang muncul masih menganggap perempuan

sebagi “konco wingking”. Perempuan harus dalam posisi “nrimo” dalam

bentuk sikap dan perilaku pasrah yang diterimanya sebagai bentuk

pengabdiannya, termasuk pasrah jika terjadi kekerasan terhadapnya.



E. Kekerasan terhadap Perempuan

1. Pengertian Kekerasan pada Perempuan

Pada pasal 1 Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap
Perempuan disebutkan bahwa, yang dimaksud dengan kekerasan
terhadap perempuan adalah setiap perbuatan berdasarkan pembedaan
jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat sengsara atau
penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau pshikologis, termasuk
ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan atau perampokan kemerdekaan
secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau di
dalam kehidupan pribadi (Wahid 2001:32)

Berkaitan dengan kekerasan terhadap perempuan, Harkristuti

Harkrisnowo mengutip Schuler mendefinisikan kekerasan terhadap

perempuan sebagai setiap kekerasan yang diarahkan kepada perempuan

hanya karena mereka perempuan (any violent act perpetrated on women

because they are women) (Martha 2003:23).

2. Faktor-faktor yang merupakan penyebab terjadinya kekerasan

terhadap perempuan.

Berikut ini dikemukakan teori-teori yang dipergunakan dalam

mendiskripsikan penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan

yaitu:



27



a. Teori Sub Budaya yang dikemukakan oleh M. Wolfgang dan F.

Ferracuti.

Asumsi yang dikemukan Wolfgang ini berlaku pada perilaku
kejahatan kekerasan terhadap perempuan. Umumnya bentuk
kekerasan yang ditawarkan Wolfgang ini terjadi pada masyarakat
(didasarkan pada struktur dan pola hubungan sosial ekonomi) yang
menampilkan ciri dominasi dan ketidakadilan melalui proses sosial
yang kompleks, sehingga menimbulkan sikap dan prilaku yang
mendukung pada kekerasan. Pada masyarakat berbudaya tertentu ,
kekerasan terhadap perempuan secara umum disebabkan oleh
kecenderungan prilaku yang muncul dalam budaya masyarakat
tersebut yang masih menganggap perempuan sebagai “konco
wingking”. Perempuan harus dalam posisi “nrimo” dalam bentuk
sikap dan prilaku pasrah yang diterimanya sebagai bentuk
pengabdiannya, termasuk pasrah jika terjadi kekerasan
terhadapnya.

b. Teori Kontrol Sosial
Teori ini pada asasnya menjelaskan bahwa moralitas dan nilai-
nilai susila merupakan varianel yang tersebar tidak merata diantara
manusia berkaitan dengan pergaulan hidup maka akan terdapat
empat unsur pengikat yang akan dikembangkan lebih lanjut:

1) Attachment atau ikatan
Berkaitan dengan kekerasan terhadap perempuan, orang
memiliki hubungan terikat dengan lingkungan sekitar dapat
menimbulkan sinergi saling mendukung satu sama lain.
Kuatnya kontrol lingkungan akan membatasi keinginan
melakukan perbuatan menyimpang/tindak kekerasan terhadap
perempuan.

2) Commitment atau keterikatan dalam subsistem konvensional.
Asumsi yang dikemukakan pada kemampuan seseorang
untuk selalu berusaha melakukan aksi/tindakan yang terbaik.

Hal

ini

berkaitan

dengan

kesadaran

untuk

mempertimbangkan untung dan rugi dari perilaku
konfirmitis. Kejahatan kekerasan yang ditimbulkan berkaitan
dengan rendahnya subsistem konvensional seperti sekolah,
pekerjaan, organisai yang kurang optimal. Asumsinya adalah
seseorang dengan sendirinya akan memperoleh hadiah
/award, uang, pengakuan bahkan status sosial bila semua
subsistem konvensional berfungsi dengan baik. Dengan
demikian peluang untuk melakukan kekerasan semakin kecil



28



karena tingginya penghargaan terhadap dirinya sendiri yang
diwujudkan dari subsistem konvensional.

3) Involvement atau berfungsi aktif dalam subsistem
konvensional
Semakin senggang/luang waktu yang dimiliki seseorang
maka semakin tinggi kecenderungannya untuk menimbulkan
perilaku menyimpang/kekerasan. Reaksi positif lebih sering
muncul pada perilaku seseorang yang menjaga diri dengan
kualitas dan prestasi terbaik bagi dirinya. Produk yang unggul
selalu mendapat tempat dimasyarakatnya dengan kedudukan
dan penghargaan sesuai dengan tingkat keunggulannya. Hal
ini disebabkan tingginya penghargaan terhadap peluang
waktu senggang yang semakin pendek sehinnga seseorng
menyadari betapa pentingnya pemanfaatan waktu secara
optimal. Dengan demikian kemungkinan untuk melakukan
perbuatan menyimpang/kekerasan semakin rendah
frekuensinya.

4) Beliefs atau percaya pada nilai-nilai moral dari norma-norma

dan nilai-nilai

pergaulan hidup.

Perilaku

menyimpang/kekerasan terhadap perempuan tidak akan
terjadi jika seseorang dibentengi oleh nilai-nilai ritual,
ibadah, nilai-nilai kepercayaan, dan norma yang mengikat
bagi dirinya. Kepercayaan dan keyakinan yang kuat
selanjutnya dapat di pompa kedalam perilaku yang tertata
baik oleh nilai moral dan agama. Kecenderungan untuk
melakukan kekerasan semakin kecil akibat tingginya
keyakinan dan kuatnya kesadaran yang diyakini seseorang
unuk dapat melakukan perbuatan yang menyimpang.
Berdasarkan asumsi diatas penulis setuju dengan teori kontrol
sosial yang dikemukakan oleh Travis Hirschi ini. Asumsi Yang
ditawarkan relevan dan argumentatif untuk mengurangi munculnya
bentuk-bentuk perilaku kejahatan terhadap perempuan (Martha
2003:28-30).

3. Bentuk-bentuk tindak kekerasan terhadap perempuan

Menurut Harkristuti Harkrisnowo dalam Aroma Elmina Martha

(2003:35-37), Bila dilihat dari muatannya, sebenarnya tindak

kekerasan terhadap perempuan dapat dibedakan dalam berbagai

bentuk, diantaranya:








a. Kekerasan fisik


29

Kekerasan fisik terhadap perempuan dapat berupa
dorongan, cubitan, tendangan, jambangan, pukulan, cekikan,
bekapan, luka bakar, pemukulan dengan alat pemukul, kekerasan
tajam, siraman dengan zat kimia atau air panas, menenggelamkan
dan tembakan. Kadang-kadang kekerasan fisik ini diikuti dengan
kekerasan seksual, baik berupa serangan kealat-alat seksual
(payudara dan kemaluan) maupun berupa persetubuhan paksa
(pemerkosaan). Pada pemeriksaan terhadap korban akibat
kekerasan fisik, maka yang dinilai sebagai akibat penganiayaan
adalah bila didapati perlukaan bukan karena kecelakaan pada
perempuan. Bekas luka itu dapat diakibatkan oleh suatu episode
kekerasan yang tunggal atau berulang-ulang, dari yang ringan
hingga yang fatal. Banyak hal yang dapat dicermati dokter sebagai
tanda-tanda adanya kekerasan. Pengamatan tersebut tidak hanya
terdapat jenis perlukaan dan penyebab perlukaan, melainkan juga
sikap/perilaku korban (istri) dan pengantarnya (suami).

b. Kekerasan seksual
Kekerasan seksual adalah setiap penyerangan yang bersifat
seksual terhadap perempuan, baik telah terjadi peretubuhan atau
tidak, dan tanpa memperdulikan hubungan antara pelaku dan
korban. Pembedaan aspek fisik dan seksual dianggap perlu, karena
ternyata tindak kekerasan terhadap perempuan yang bernuansakan
seksual tidak sekedar melalui perilaku fisik belaka.

c. Kekerasan Psikologi
Pada kekerasan psikologis, sebenarnya dampak yang
dirasakan lebih menyakitkan daripada kekerasan secara fisik.
Bentuk tindakan ini sulit untuk dibatasi pengertiannya karena
sensitivisme emosi seseorang sangat bervariasi. Identifikasi akibat
yang timbul pada kekerasan psikis sulit diukur.

d. Kekerasan ekonomi
Misalnya suami mengontrol hak keuangan istri, memaksa
atau melarang istri bekerja untuk memenui kebutuhan sehari-hari
keluarga, serta tidak memberi uang belanja, mamakai/menghabiskn
uang istri.
Selanjutnya Deklarasi Penghapusan kekerasan terhadap
Perempuan ini juga merumuskan bentuk-bentuk kekerasan terhadap
perempuan (pasal 2) yang harus dipahami tetapi pada hal-hal sebagai
berikut:

a. Kekerasan secara fisik, seksual dan pshikologis yang terjadi dalam
keluarga, termasuk pemukulan, penyalahgunaan seksual atas
perempuan kanak-kanak dalam rumah tangga, kekerasan yang



30



berhubungan dengan mas kawin, perkosaan dalam perkawinan,
perusakan alat kelamin perempuan dan praktek-praktek kekejaman
tradisional lain terhadap perempuan, kekerasan diluar hubungan
suami istri dan kekerasan yang berhubungan dengan eksploitasi.
b. Kekerasan secara fisik, seksual dan pshikologis yang terjadi dalam
masyarakat luas termasuk perkosaan, penyalahgunaan seksual,
pelecehan dan ancaman seksual ditempat kerja, dalam lembaga-
lembaga pendidikan dan sebagainya, perdagangan perempuan dan
pelacuran paksa.
c. Kekerasan secara fisik, seksual dan pshikologis yang di lakukan
atau dibenarkan oleh negara dimanapun terjadinya kekerasan
terhadap perempuan tersebut khususnya yang termasuk kekerasan
seksual diatas telah cukup diatur dalam peraturan perundang-
undangan kita (Katjasungkana 2001:81-82).
4. Jenis-jenis Kekerasan terhadap Perempuan

Terdapat tiga kriteria yang biasa digunakan dalam membuat
kategorisasi jenis-jenis kekerasan berbasis gender, diantaranya:

a. Kriteria Pertama:
Kriteria kekerasan yang ditawarkan oleh Coomaraswany, yaitu:
1) Jenis tindak kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan
semata-mata karena seksualitas dan jender mereka, seperti
tindakan perkosaan, pembunuhan bayi perempuan dan
perdagangan perempuan serta kejahatan seksual lainnya.
Semua perbuatan kekerasan ini secara fundamental
berhubungan erat dengan konstruksi masyarakat tentang
seksualitas perempuan dan perannya dalam hirarkhi sosial.
2) Jenis tindak kekerasan yang dialami perempuan karena
pertalian hubungannya dengan seorang laki-laki. Tindak
kekerasan jenis ini dapat berupa kekerasan domestik,
kejahatan yang berdalih kehormatan. Kekerasan kategori ini
muncul akibat pemposisian perempuan sebagai pihak yang
menjadi tanggungan dan mendapat perlindungan dari seorang
pelindung laki-laki, pertama ayahnya, kemudian suaminya.
3) Jenis tindak kekerasan yang ditimpakan kepada seseorang
perempuan kerena ia warga dari suatu etnis atas ras tertentu.
Hal ini biasanya terjadi dalam perang, kerusuhan atau
pertikaian antar kelas atau kasta. Perempuan dijadikan sarana
penghinaan terhadap kelompok lain dengan cara menyakiti,
melukai ataupun memperkosa dan membunuh mereka.
Praktek ini erat kaitannya dengan persepsi bahwa perempuan
adalah milik (proverty) laki-laki menjadi musuh dari laki-laki
lain, sehingga cara yang paling efektif menohok kelemahan
lawan adalah dengan menyerang perempuan miliknya.







b. Kriteria Kedua: Kriteria tempat terjadinya kekerasan


31

Bila kriteria ini digunakan maka ada tiga wilayah utama
tempat terjadinya kekerasan terhadap perempuan, yaitu: di dalam
keluarga (domestic violence), dilingkungan komunitas dan tempat
umum serta di tempat kerja. Kekerasan berbasis jender yang terjadi
di wilayah yang disebut terakhir ini sering dikenal dengan nama
non-domestic violence.

c. Kriteria Ketiga: Kriteria pelaku kekerasan
Berdasarkan kriteria ini dibedakan dua jenis kekerasan jender
yang dilakukan oleh orang dekat yang dikenal dan yang dilakukan
oleh pihak asing (strangers). Kekerasan berbasis gender yang
dilakukan oleh negara atau pihak-pihak yang direstui oleh negara
(state violence) termasuk dalam kategori yang kedua ini (Martha
2003 25-26).

Selain ketiga kriteria di atas, jenis-jenis kekerasan terhadap

perempuan meliputi:

1) Kekerasan dalam area domestik/hubungan intim personal.
Berbagai bentuk kekerasan yang terjadi di dalam hubungan
keluarga, antara pelaku dan korbannya memiliki kedekatan
tertentu. Tercukup di sini penganiayaan terhadap istri, pada
bekas istri, tunangan, anak kandung dan anak tiri, penganiayaan
terhadap orang tua, serangan seksual atau perkosaan oleh
anggota keluarga.

2) Kekerasan dalam area publik.
Berbagai bentuk kekerasan yang terjadi diluar hubungan
keluarga atau personal lain, sehingga meliputi berbagai bentuk
kekerasan yang sangat luas, baik yang terjadi di semua
lingkungan tempat kerja (termasuk untuk kerja-kerja domestik
seperti pembantu rumah tangga), di tempat umum (bus, pasar,
restoran, lembaga-lembaga pendidikan, publikasi atau produk
dan praktek ekonomis yang meluas, misalnya pelacuran,
maupun bentuk-bentuk lain).

3) Kekerasan yang dilakukan oleh/dalam lingkup Negara
Kekerasan secara fisik, seksual dan/atau psikologis yang
dilakukan, dibenarkan atau didiamkan terjadi oleh Negara
dimanapun terjadinya. Termasuk dalam kelompok ini adalah
pelanggaran kad asasi manusia dalam pertentangan antar
kelompok, dan situasi konflik bersenjata yang berkait dengan
pembunuhan, perkosaan (sistematis), perbudakan seksual dan
kekerasan paksa (Martha 2003:24).



32





5. Upaya pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan

terhadap Perempuan

Penanganan berarti proses, perbuatan, cara, menangani,

penggarapan (Tim Penyusun Pusat Pembinaan dan Pengembangan

Bahasa, 1986:33).

Penanganan kekerasan terhadap perempuan dapat disimpulkan

sebagai suatu proses, cara menangani perbuatan-perbuatan kekerasan

yang dilakukan oleh pelaku tindak kekerasan yang tergolong

tindakan pelanggaran kaidah-kaidah, nilai-nilai maupun hukum yang

berlaku dalam kehidupan bermasyarakat.

Dalam hal kejahatan-kejahatan kekerasan disarankan untuk
membentuk komite (team) yang terintegrasi kedalam birokrasi
penegak hukum yang terdiri dari ahli-ahli dari berbagai bidang ilmu
pengetahuan (psikologi, sosiologi, sosiologi hukum, antropologi,
kriminologi, hukum pidana dan sebagainya) guna mengembangkan
pendekatan interdisipliner terhadap kejahatan-kejahatan kekerasan
dan merancang strategi pencegahan serta penanggulangannya,
khususnya dalam hal prediksi “violence chronocity”, mendisain
perangkat-perangkat violence-promotive (counter-Therapeutic) dan
violence-reducing (therapheutic). Rancangan tersebut akan
merupakan masukan bagi birokrasi penegak hukum, baik dalam
menentukan rencana atau pola dasar pencegahan kejahatan maupun
dalam operasionalnya (Kusumah 1990:39).

Secara teoritis, usaha penanggulangan dan pencegahan
kejahatan dengan kekerasan dapat diawali dengan penciptaan dan
pembinaan sistematik lingkungan, yang dapat mengurangi tahap-
tahap kekerasan dari orang-orang yang telah siap atau yang potensial
melakukan kekerasan, setidak-tidaknya untuk mengurangi jarak
antara kekerasan yang diharapkan dengan kekerasan aktual.
Mengintegrasikan kembali norma-norma yang mengijinkan
atau mendukung kekerasan ke dalam norma-norma dalam sistem-
sistem budaya kita, adalah usaha tindak lanjut yang sungguhpun
amat problematik, namun mau tidak mau harus di programkan guna
mengurangi kejahatan-kejahatan dengan kekerasan.


33



Mengfungsionalisasikan sistem peradilan pidana serta
mekanisme kerja unsur-unsurnya adalah salah satu usaha dalam
pelaksanaan program ini (Kusumah 1990:43).

Berbagai tindak kekerasan yang dialami kaum perempuan

membawa dampak pada beban fisik, psikis serta kesengsaraan bagi

korban tersebut. Maka masyarakat, aparat penegak hukum dan

pemerintah dituntut untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu

dalam upaya menangani kasus ini. Tindakan yang harus dilakukan,

antara lain:

a.Tindakan Preventif (tindakan pencegahan)

1) Mengenai sistem hukum

Ada tiga komponen yang harus diperhatikan di dalam

sistem hukum kita yakni isi/rumusan hukumnya (legal

substance), aparat penegak hukum/kelembagaan (legal culture)

serta kulture/kebiasaan (legal culture) yang hidup dalam

masyarakat kita.

Dalam praktek meski peraturan ada dan relatif cukup

baik, namun jika tidak dibarengi dengan perbaikan pada aparat

dan kelembagaanya juga tidak akan menghasilkan sesuatu yang

memuaskan. Demikian pula halnya dengan sikap dan cara

pandang masyarakat terhadap masalah kekerasan ini sangat

menentukan bagi pelaksanaan hukumnya.

Upaya untuk melakukan perubahan di tingkat

peraturannya yaitu dengan menciptakan sistem hukum yang


34



lebih sensitif gender, harus pula di barengi upaya untuk

membuat para penegak hukum responsif dan sensitif terhadap

kepentingan perempuan. Memasukkan masalah gender dan

hak-hak perempuan dalam kurikulum pendidikan khususnya

bagi para penegak hukum adalah sesuatu yang niscaya harus

dilakukan.

2) Bagi perempuan sebagai obyek tindak kekerasan

Bagi kita kaum perempuan yang terpenting adalah

perubahan pada cara kita menyikapi masalah kejahatan seksual

ini. Perubahan sikap ini adalah langkah awal yang sangat

penting bagi upaya pencegahan dan penanggulangannya.

b. Tindakan represif (penanggulangan)

Menindak secara tegas pelaku tindak kekerasan terhadap
perempuan. Di samping itu upaya yang bersifat pelayanan bagi
korban seperti misalnya pendirian Crisis Centre atau Rumah
Penampungan (Shelter) adalah sesuatu yang niscaya harus
dilakukan pula. Di sini tidak saja diperlukan solidaritas dan
empati dari semua pihak, tetapi suatu usaha konkrit yang dapat
membantu mereka yang memerlukan pertolongan akan lebih
membuka mata masyarakat bahwa masalahnya memang nyata
dan sangat sah untuk dipersoalkan. Usaha konkrit tersebut
misalnya dengan mendirikan pusat-pusat penanggulangan
(Women Crisis Centre) dan lain-lain (Katjasungkana 2001:115-
117).

Selain itu sebagai suatu usaha yang rasional untuk

menanggulangi kejahatan kekerasan terhadap perempuan dalam

lingkup rumah tangga dapat digunakan kebijakan kriminal

sebagai acuan atau dasar, dimana kebijakan kriminal menurut

Sudarto memiliki 3 arti yaitu:


35



dalam arti sempit, adalah sebagai keseluruhan asas atau
metoda yang mendasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum
yang berupa pidana. Dalam arti yang lebih luas adalah
keseluruhan dari fungsi aparatur penegak hukum termasuk
didalamnya cara kerja polisi dan pengadilan. Sedangkan dalam
arti yang paling luas adalah sebagai keseluruhan kebijakan yang
dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi
yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari
masyarakat.
Kebijakan kriminal dalam melakukan perlindungan sosial
dan penanggulangan kejahatan, hendaknya mempertimbangkan
konteks dan bentuk kejahatan yang ada di masyarakat. Kekerasan
terhadap perempuan dalam lingkup rumah tangga merupakan
kejahatan yang sedikit banyak terkait dengan konstruksi sosial-
kultural dalam masyarakat. Dalam kondisi yang demikian itu
maka diperlukan kebijakan yang aktif dari penguasa dalam arti
lebih besar intervensinya untuk melakukan upaya perlindungan
korban perempuan dari segala kriminalitas yang terjadi.
G.P. Hoefnagels mengutarakan bahwa upaya
penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan cara, a.
penerapan hukum pidana (crime law aplication), b. pencegahan
tanpa pidana (prevention without punishment), c. mempengaruhi
pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan
melalui mass media (influencing view of society on crime and
punishment/mass media).
Barda Nawawi, juga mengkonstantasi bahwa upaya
penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat dibagi 2, yitu
melalui jalur penal (hukum pidana), dan jalur non penal (bukan
hukum pidana). Butir (a) diatas merupakan jalur penal,
sedangkan butir (b) dan (c) adalah kelompok sarana non penal.
Kekerasan terhadap perempuan sebagai salah satu
kejahatan yang sangat terkait dengan masalah struktural dalam
masyarakat, maka upaya penanggulangan kekerasan terhadap
perempuan hendaknya ditempuh baik melalui sarana penal
maupun non penal, meliputi keseluruhan sistem hukum baik
komponen struktural, kultural maupun substantif.
H.L. Packer mengemukakan masih pentingnya penggunaan
sarana penal (sanksi pidana) dalam rangka menanggulangi
kejahatan dengan alasan sebagai berikut: (1). Sanksi pidana
sangatlah diperlukan, kita tidak bisa hidup sekarang atau di masa
mendatang tanpa pidana;(2). Sanksi pidana merupakan alat atau
sarana terbaik yang tersedia, yang kita miliki dalam menghadapi
kejahatan-kejahatan atau bahaya besar, serta tindakan untuk
menanggulangi kejahatan; (3). Sanksi pidana suatu ketika
merupakan “penjamin utama yang terbaik” dan suatu ketika
merupakan “pengancam yang utama” dari kebebasan manusia. Ia


36



juga merupakan penjamin apabila digunakan secara cermat dan
manusiawi dan merupakan pengancam utama apabila digunakan
secara sembarangan atau tanpa pandang bulu dan secara paksa.
Sebagai salah satu bagian dari metode penanggulangan
kejahatan, maka sarana penal bukan merupakan satu-satunya
tumpuan harapan dalam rangka menanggulangi kejahatan. Oleh
karena masalah kejahatan tidak dapat dilepaskan dari masalah
sosial dan masalah kemanusiaan. Sehubungan dengan hal
tersebut dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo sebagai berikut.
“Sekarang hukum tidak lagi dilihat sebagai suatu hal yang
otonom dan independen, melainkan dipahami secara fungsional
dan dilihat senantiasa berada dalam kaitan interdependen dengan
sub-sistem lain dalam masyarakat (Makalah dari S.
Wignjosoebroto).







F. Kerangka Pikir

Sebab-sebab tindak
kekerasan terhadap
perempuan
1. Budaya patriakhis
yang berkembang di
masyarakat
2. Pemahaman keliru
tentang ajaran
agama yang
ditafsirkan bahwa
laki-laki menguasai
perempuan









KEPUTUSAN BUPATI KUDUS
NOMOR 460/1301/2003


JPPA KUDUS


Tugas Pokok JPPA Kudus
1. Melakukan pengkajian dan
analisa terhadap
permasalahan yang
berhubungan dengan upaya
perlindungan perempuan
dan anak
2. Merumuskan kegiatan
JPPA Kabupaten Kudus
3. Melakukan monitoring dan
evaluasi atas pelaksanaan
kegiatan


Perempuan korban kekerasan


37















Faktor Internal:
1. kekurangan



Penanganan tindak kekerasan terhadap
perempuan oleh JPPA Kabupaten Kudus
1. Pendidikan dan latihan
2. Unsur medis
3. Penyadaran masyarakat
4. Kerjasama dengan aparat penegak
Hukum, LSM dan Ormas


Kendala-kendala
yang dihadapi















Faktor Eksternal:
1. Masih ada

tenaga ahli yang
professional di
dalam JPPA
2. Faktor keuangan
mengandalkan
dana dari APBD
saja


HAM
PEREMPUAN
TERLINDUNGI

anggapan dari
masyarakat bahwa
korban kekerasan
terhadap
perempuan masih
dianggap tabu
untuk diketahui
pihak luar



38



Persoalan kekerasan terhadap perempuan masih menjadi persoalan

serius di kalangan masyarakat, khususnya di Kabupaten Kudus. Hal ini

mempunyai hal-hal yang melatar belakangi yaitu budaya patriakhis yang

berkembang di masyarakat selain itu juga pemahaman keliru terhadap ajaran

agama yang ditafsirkan bahwa laki-laki menguasai perempuan menjadi

penyebab tindak kekerasan yang dialami kaum perempuan. Semua persoalan

diatas menyebabkan pemerintahan Kabupaten Kudus membentuk suatu

jaringan perlindungan bagi perempuandengan mengeluarkan Surat Keputusan

Bupati nomor 460/1301/2003 tentang pembentukan Jaringan Perlindungan

Perempuan dan Anak (JPPA) Kabupaten Kudus bahwa tugas pokok jaringan

sebagaimana dimaksud dalam Surat Keputusan tersebut yaitu melakukan

pengkajian dan analisa terhadap permasalahan yang berhubungan dengan

upaya perlindungan perempuan, merumuskan kegiatan Jaringan Perlindungan

Perempuan dan Anak (JPPA) Kabupaten Kudus, melakukan monitiring dan

evaluasi atas pelaksanaan kegiatan. Pola pikir masyarakat yang berpihak pada

laki-laki menyebabkan berbagai kebijakan dan perilaku yang mengorbankan

perempuan sebagai makhluk sub-ordinat, Banyak korban kekerasan berbasis

gender yang tutup mulut. Perempuan korban kekerasan seperti tersebut

sebenarnya sangat membutuhkan pihak lain, dimana korban bisa mengadukan

apa yang dialaminya, mengumpulkan kembali tenaganya untuk kemudian

bangkit dan berjuang merebut kembali hak-haknya. Dengan terbentuknya

JPPA, penanganan terhadap tindak kekerasan terhadap perempuan dilakukan

melalui pendidikan dan latihan, penyadaran masyarakat, kerjasama dengan


39



aparat penegak hukum, unsur medis, LSM dan Ormas. Walaupun begitu pihak

JPPA banyak sekali menghadapi kendala-kendala antara lain faktor internal

yaiu kurangnya tenaga ahli yang profesional di dalam Jaringan Perlindungan

Perempuan dan Anak (JPPA) Selain itu sumber keuangan di JPPA hanya

mengandalkan hanya dari APBD. Sedangkan faktor eksternalnya yaitu masih

ada anggapan dari masyarakat bahwa korban tindak kekerasan masih dianggap

tabu untuk diketahui pihak luar. Dengan terbentuknya Jaringan Perlindungan

Perempuan dan Anak (JPPA) di kabupaten kudus ini, menandakan bahwa para

pemerhati perempuan di dalam JPPA tersebut berupaya menangani kasus

tersebut. Hal ini terdorong oleh suatu tugas dan tanggung jawabnya yaitu

meningkatkan kesejahteraan perempuan. Dan terlindunginya Hak Asasi

Manusia bagi perempuan. Jika tugas dan tanggung jawabnya telah tecapai

berarti tugas pokok dari Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA)

sesuai Surat Keputusan Bupati nomor 460/1301/2003 tentang pembentukan

Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA) Kabupaten Kudus telah

tercapai.

Kerjasama yang dilakukan oleh Jaringan Perlindungan Perempuan dan

Anak (JPPA) dengan pihak lain dimungkinkan korban tindak kekerasan

terhadap perempuan mendapatkan perlindungan serta menindak lanjuti kasus

tersebut sampai pada tingkat Pengadilan, sehingga pelaku tindak kekerasan

terhadap perempuan dapat ditindak tegas dan dihukum seadil-adilnya sesuai

dengan kesalahannya.


40








BAB III

METODE PENELITIAN


A. Pendekatan Penelitian



40


Penelitian ini menggunakan metode penelitian dengan pendekatan

kualitatif. Menurut Bogdan dan Taylor yang dimaksud dengan penelitian

kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa

kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati

(Moleong 2002:3).

Penelitian ini menyusun desain secara terus menerus disesuaikan

dengan kenyataan di lapangan.. Dengan dasar tersebut, maka penelitian

kualitatif diharapkan mampu memberikan gambaran tentang penanganan

JPPA Kabupaten Kudus terhadap tindak kekerasan perempuan secara

profesional, sehingga dari data tertulis maupun melalui wawancara ini,

diharapkan dapat memaparkan secara lebih jelas dan berkualitas.



B. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini adalah di Jaringan Perlindungan Perempuan

dan Anak (JPPA) Jl. Diponegoro no. 31 Kudus.

C. Fokus Penelitian

Penelitian dapat dilakukan dengan adanya fokus. Penentuan fokus

suatu penelitian memiliki dua tujuan. Pertama, penetapan fokus dapat




41




membatasi studi. Jadi, dalam hal ini fokus akan membatasi bidang inkuiri.

Kedua, penetapan fokus itu berfungsi untuk memenuhi kriteria inklusi-

eksklusi atau memasukkan mengeluarkan suatu informasi yang baru diperoleh

dilapangan (Moleong 2002:62).

Dalam penelitian ini yang menjadi fokus penelitian adalah:

1. Upaya-upaya yang dilakukan JPPA dalam menangani kasus tindak

kekerasan terhadap perempuan, dengan indikator:

a. Pendidikan dan pelatihan

b. Unsur medis

c. Penyadaran masyarakat

d. Kerjasama dengan Aparat Keamanan, LSM dan Ormas

2. Proses penanganan yang dilakukan JPPA terhadap kasus tindak kekerasan

perempuan.

3. Kendala-kendala yang menghambat dalam upaya menangani kasus tindak

kekerasan terhadap perempuan.



D. Sumber Data Penelitian

Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah dengan

cara sebagai berikut:

1. Data Primer

Sumber data primer ini diperoleh langsung dari obyek penelitian atau

narasumber yang ada dilapangan yang kemudian akan dianalisis dalam



42




menemukan sumber data ini dilakukan wawancara dengan pegawai JPPA

kabupaten kudus guna mendapatkan informasi yang diperlukan dengan

jelas.

2. Data Sekunder

Sumber data sekunder ini merupakan sumber data yang diperoleh dari

penelitian kepustakaan dengan cara menelusuri atau mempelajari literatur-

literatur serta dokumen-dokumen resmi yang ada relevansinya dengan

obyek penelitian. Misal peraturan perundang-undangan, peraturan

pemerintah dan ketetapan-ketetapan lainnya.



E. Alat dan Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

metode wawancara dan dokumentasi.

1. Wawancara (Interview)

Dalam penelitian ini teknik wawancara digunakan sebagai cara

untuk mengumpulkan data. Menurut Moleong (2002:135) menjelaskan

bahwa wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan

ini dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (Interviewer) yang

mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (Intervievee) yang

memberikan jawaban atas pertanyaan. Metode ini digunakan untuk

mengungkap tentang upaya-upaya yang dilakukan JPPA Kabupaten

Kudus, proses penanganan kasus tindak kekerasan terhadap perempuan.



43




Dalam penelitian ini peneliti menggunakan alat pengumpulan data

yang berupa pedoman wawancara yaitu instrumen yang berbentuk

pertanyaan yang dianjukan secara langsung kepada informan yaitu

petugas-petugas yang terkait dengan dengan penanganan kasus tindak

kekerasan terhadap perempuan di JPPA Kabupaten Kudus.

Wawancara dilakukan bersama Ibu Sri Endang Erowati, SH yang

merupakan ketua bidang I bidang perlindungan perempuan pada tanggal

16 Desember 2006 dan 20 Desember 2006 di sekretariat Jaringan

Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA) jl Diponegoro no. 31 Kudus

sedangkan Ibu Dra. Hj. Fahriyah selaku Ketua Bidang III Bidang Sumber

Daya Manusia dan Ibu Evi Hermiati selaku sekretaris umum pada tanggal

12 Februari 2007 di sekretariat Jaringan Perlindungan Perempuan dan

Anak (JPPA) jl. Diponegoro no. 31 Kudus. Selain melakukan wawancara

dengan anggota JPPA, peneliti juga mewawancarai korban kekerasan,

yaitu Sudarwati dan Supriyanti pada tanggal 15 Februari 2007 di rumah

masing-masing korban.

2. Dokumentasi

Metode dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau

variabel yang berupa buku catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah,

prasati, natulen rapat, agenda dan sebagainya (Arikunto 2002:206).

Dibandingkan metode lain, maka metode ini agak tidak begitu sulit, dalam



44




arti apabila ada kekeliruan sumber datanya masih tetap. Dengan metode

dokumentasi yang diamati bukan benda hidup tetapi benda mati.

Jenis dokumen yang akan digunakan dalam penelitian ini antara lain

adalah dokumen resmi dari kantor JPPA Kabupaten Kudus, dengan

melihat data form identitas korban, serta data tertulis yang berada di JPPA

Kabupaten Kudus, buku tentang kekerasan terhadap perempuan dengan

berbagai pengarang, downloud dari internet dan berbagai sumber lain

yang bisa digunakan.



F. Keabsahan Data
Keabsahan data sangat mendukung dalam menentukan hasil akhir
suatu peneliti. Oleh karena itu diperlukan suatu teknik pemeriksaan data.
Teknik pemeriksaan data yang digunakan adalah teknik triangulasi.
Triangulasi adalah teknik pemeriksaan data yang memanfaatkan sesuatu yang
lain diluar data itu untuk keperluan penegakan dan perbandingan terhadap
data itu (Moleong 2002:178).

Menurut Patton (1987:331) dalam Moleong (2002:178), triangulasi
dengan sumber berarti membandingkan dan membandingkan dan mengecek
balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan
alat yang berbeda dengan metode kualitatif. Triangulasi dengan sumber dapat
dicapai dengan jalan sebagai berikut:
1. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara.
2. Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi
penelitian dengan apa yang dikatakan sepanjang waktu
3. Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa
yang dikatakan secara pribadi.
4. Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai
pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa, orang yang
berpendidikan menengah atau tinggi, orang berada, orang pemerintahan.
5. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang
berkaitan.



45




Dalam penelitian ini, digunakan teknik triangulasi sumber yang

dicapai dengan jalan: Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu

dokumen yang berkaitan.

Gambar 2.


Wawancara

Sumber Data

Dokumen





G. Metode Analisis Data
Analisis data menurut Patton (1980:268) dalam bukunya Moleong

(2002:103), adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke

dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar.

Milles dan Huberman dalam HB. Sutopo, menyajikan dua model

pokok proses analisis.

Pertama, model analisis, dimana tiga komponen analisa (reduksi
data, sajian data, penarikan kesimpulan atau verifikasi) dilakukan saling
menjalin dengan proses mengumpulkan data dan mengalir bersamaan. Kedua,
model analisis interaksi, dimana komponen reduksi data dan sajian data
dilakukan bersamaan dengan proses pengumpulan data. Setelah data
terkumpul, maka ketiga komponen analisis (reduksi data, sajian data,
penarikan kesimpulan) berinteraksi.(Rachman 1999:120).

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan model yang kedua dari

penjelasan diatas yaitu menggunakan model analisis interaksi untuk

menganalisis data hasil penelitiannya. Data yang diperoleh di lapangan berupa



46




data kualitatif dan data tersebut kemudian diolah dengan model interaktif.

Langkah-langkah dalam model analisis interaksi sebagai berikut:

1. Pengumpulan data

Adalah mencari dan mengumpulkan data yang diperlukan yang

dilakukan terhadap berbagai jenis dan bentuk data yang ada di lapangan

kemudian data tersebut dicatat.

2. Reduksi data

Hasil penelitian di lapangan sebagai bahan mentah dirangkum,

direduksi, kemudian disusun supaya lebih sistematis untuk mempermudah

peneliti di dalam mencari kembali data yang diperoleh apabila diperlukan

kembali

3. Sajian data

Sajian data adalah sekumpulan informasi tersusun yang memberi

kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan

(Milles 1992:17).

Sajian data ini membantu peneliti untuk melihat gambaran keseluruhan

atau bagian-bagian tertentu dari hasil penelitian.

4. Verifikasi data/kesimpulan

Dari data yang diperoleh dari hasil wawancara, diobservasi kemudian

peneliti mencari makna hasil penelitian. Peneliti berusaha mencari pola,

hubungan serta hal-hal yang sering timbul. Dari hasil penelitian atau data



47




yang diperoleh peneliti membuat kesimpulan-kesimpulan kemudian di

verifikasi.

Penarikan kesimpulan hanyalah sebagian dari satu kegiatan dari

konfigurasi yang utuh. Kesimpulan-kesimpulan juga diverifikasi selama

penelitian berlangsung (Milles 1992:19). Dalam penarikan kesimpulan ini

didasarkan pada reduksi data dan sajian data yang merupakan jawaban

atas masalah yang diangkat dalam penelitian.

Secara skematis proses pengumpulan data, reduksi data, sajian data,

dan verifikasi data dapat digambarkan dalam tabel dibawah ini.



Gambar 3.

Pengumpulan Data

Penyajian Data


Reduksi Data

Penarikan
Kesimpulan atau
Verifikasi



(Miles dan Hoberman 1992:20)













Tabel 3



48



FOKUS PENELITIAN

a. Upaya-upaya yang

dilakukan JPPA dalam

menangani kasus tindak

kekerasan terhadap

perempuan

b. Proses penanganan yang

dilakukan JPPA

terhadap kasus tindak

kekerasan terhadap

perempuan

c. Kendala-kendala yang

menghambat dalam

upaya menangani kasus

tindak kekerasan

terhadap perempuan

Catatan: Semua data sama

metodenya



METODE

Wawancara
















Data



INSTRUMEN

Pendekatan

dengan

wawancara











Catatan di

lapangan



ANALISIS

Mattew B. Milles dan

A. Michael Huberman









H. Prosedur Penelitian



49


Dalam penelitian ini, peneliti membagi dalam empat tahap, yaitu tahap

sebelum ke lapangan, pekerjaan lapangan, analisis data dan penulisan laporan.

Pada tahap pertama pra lapangan, peneliti mempersiapkan segala macam

yang dibutuhkan atau diperlukan peneliti sebelum terjun dalam kegiatan

penelitian, yaitu:

1. Menyusun rancangan penelitian.

2. Mempertimbangkan secara konseptual teknis serta praktis terhadap tempat

yang akan digunakan dalam penelitian.

3. Membuat surat izin penelitian.

4. Latar penelitian dan dinilai guna serta melihat dan sekaligus mengenal

unsur-unsur sosial dan fisik, situasi pada latar penelitian.

5. Menentukan informan yang akan membantu peneliti dengan syarat-syarat

peneliti.

6. Mempersiapkan perlengkapan penelitian.

7. Dalam penelitian, peneliti harus bertindak sesuai dengan etika terutama

berkaitan dengan tata cara peneliti berhubungan dengan lingkungan

terutama lembaga JPPA kudus dan harus menghormati semua nilai yang

ada didalamnya.

Pada tahap kedua yaitu pekerjaan lapangan peneliti dengan bersungguh-

sungguh dengan kemampuan yang dimiliki berusaha untuk memahami latar




50




penelitian. Dengan segala daya, usaha serta tenaga yang dimiliki oleh peneliti

dipersiapkan benar-benar dalam menghadapi lapangan penelitian.

Pada tahap ketiga yaitu analisis data. Setelah semua data yang diperoleh

dilapangan terkumpul, maka peneliti akan mereduksi dan menyajikan data

tersebut setelah ini dilakukan verivikasi data. Peneliti berusaha untuk mencari

hubungan serta hal-hal yang timbul. Setelah tahap analisis data selesai dan

telah diperoleh kesimpulan, penulis masuk tahap ke empat yaitu penulisan

laporan.

Dalam penulisan laporan, peneliti sesuai dengan hasil yang diperoleh

dilapangan (Moleong 2002:85-103).








BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


A. Hasil Penelitian

1. Profil Tentang Kota Kudus



51


Kabupaten Kudus merupakan salah satu dari 35 Kabupaten/Kota

yang ada di Provinsi Jawa Tengah. Terletak pada 110º 36'-110º-50' Bujur

Timur dan 6º 51'-7º 16' Lintang Selatan, Kabupaten Kudus berada di jalur

pantai utara (Pantura) yang menghubungkan antara Kota Surabaya dan

Kota Jakarta. Ibu Kota Provinsi Jawa Tengah ± 55 km ke arah timur

dengan luas wilayah ± 1250 ha. Dengan ketinggian rata-rata ± 55 meter

diatas permukaan laut, Kabupaten Kudus memiliki iklim tropis,

temperatur sedang curah hujan rata-rata ± 2500 mm/tahun dan ± 132

hari/tahun.

Kabupaten Kudus terdiri dari 9 Kecamatan, 124 Desa dan 7

Kelurahan, Kabupaten Kudus mempunyai batas wilayah sebelah Utara

berbatasan dengan Kabupaten Pati adapun sbelah Selatan dari Kabupaten

Kudus berbatasan dengan Kabupaten Purwodadi sedangkan sebelah Timur

Kabupaten Kudus berbatasan dengan Kabupaten Demak dan sebelah Barat

Kabupaten Kudus berbatasan dengan Kabupaten Jepara.

Kabupaten Kudus merupakan bagian dari Karisidenan Pati dan

dilewati jalur transportasi ke arah Provinsi Jawa Timur.




52




Bila mengunjungi Kabupaten Kudus dapat diawali dari Kaligawe

Semarang dengan satu setengah jam perjalanan ke arah Timur melewati

wilayah Kabupaten Demak. Sampai di perbatasan antara Kabupaten

Demak dan Kabupaten Kudus terdapat tugu perbatasan yang cukup jelas

dilihat dan ucapan selamat datang di Kabupaten Kudus. Perjalanan dari

tugu perbatasan sampai ke pusat Kota Kudus memakan waktu ± 15 menit

ke arah Utara.

Kabupaten Kudus juga merupakan Kota Religius dan Kota bersih

yang syarat dengan prestasi yang dapat dibuktikan dengan beberapa kali

memperoleh penghargaan, antara lain: ADIPURA, ADIPURA

KENCANA, PARASAMYA PURNA KARYA NUGRAHA.

2. Gambaran Tentang Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak

(JPPA)

Kabupaten Kudus memiliki organisasi perlindungan perempuan yang

cukup menonjol dalam aktifitas dan kegiatannya. Organisasi wanita ini

baik yang ada di setiap unit instansi Pemerintah/Lembaga swasta maupun

yang keberadaanya muncul secara mandiri.

Sebagai kota industri, perlu disadari bahwa di Kabupaten Kudus

mempunyai dinamika sangat tinggi. Disisi lain, Kabupaten Kudus

merupakan kota santri menjadi penyeimbang kehidupan, sekalipun

masyarakat sangat kompetitif tetapi juga diwarnai oleh kehidupan agamis

yang baik. Dinamika sebagai kota industri tidak jarang sering



53




menimbulkan permasalahan yang membawa korban, yaitu perempuan.

Apalagi dengan keterlibatannya di berbagai industri, perempuan rentan

terhadap permasalahan ketidakadilan jender.

Pemerintah Kabupaten Kudus cukup tanggap terhadap permasalahan

tersebut. Dengan lahirnya Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak

(JPPA) pada tanggal 15 November 2003 ditetapkan dengan Surat

Keputusan Bupati Nomor 460/1301/2003 dengan tugas pokok

“Melakukan pengkajian dan analisa terhadap permasalahan yang

berhubungan dengan upaya perlindungan perempuan dan anak”.

Berdirinya Jaringan Perlindungan Perlindungan Perempuan dan Anak

(JPPA) didasari oleh keinginan untuk meningkatkan kesejahteraan

perempuan dan anak melalui perlindungan hak-haknya. Jaringan

Perlindungan perempuan dan Anak (JPPA) Kabupaten Kudus

mendapatkan dukungan pembiayaan dari Anggaran Pendapatan Belanja

Daerah (APBD) Kaupaten Kudus. Selain itu secara formal didalam

susunan tata organisasi Pemerintah Kabupaten sebagai sub-bag

pemberdayaan perempuan dibawah koordinasi bagian sosial.

3. Struktur Organisasi Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak

(JPPA)

Susunan organisasi Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak

(JPPA) terdiri dari ketua umum, ketua I, ketua II, ketua III, ketua IV,

ketua V, sekretaris I, sekretaris II, bendahara I, bendahara II, ketua bidang



54




I, ketua bidang II, ketua bidang III, ketua bidang IV, ketua bidang V,

ketua bidang VI.

Setiap ketua bidang mempunyai tugas dan bidangnya sendiri-sendiri.

Bidang-bidang tersebut yaitu:

a. Ketua bidang satu (I) bertugas di bidang perlindungan perempuan

b. Ketua bidang dua (II) bertugas di bidang perlindungan anak

c. Ketua bidang tiga (III) bertugas di bidang Sumber Daya Manusia

d. Ketua bidang empat (IV) bertugas di bidang penyuluhan

e. Ketua bidang lima (V) bertugas di bidang penelitian dan

pengembangan

f. Ketua bidang enam (VI) bertugas di bidang advokasi

Dari semua bidang tersebut, memiliki masing-masing anggota yang

berdedikasi di bidangnya.













NO.



55




Tabel 5. Susunan Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA)



NAMA/JABATAN KEDUDUKAN KETERANGAN


1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

13.

14

15.

16.

17.

18.

19.

20.


Bupati Kudus

Hj. Noor Haniah

Anita Rahmawaty, M.Ag

Sudarli

Drs. Yuli Kasiyanto, M.Pd

Sri Mulyaningsih, S.Pd

Dra. Hj. Noor Aini

Arief Rubadi, BA

Suprapti

Dra. Nur Hidayah

Siti Aminah

Sri Endang Erowati, SH

Eni Mardiyanti

Masningsih

Hj. Rusdah

Indah Susilowati

Ernis Ismiyati, S. Ag

Parsono

Dra. Asiyah

Tumini


Pelindung dan Penasehat

Ketua Umum

Ketua I

Ketua II

Ketua III

Ketua IV

Ketua V

Sekretaris I

Sekretaris II

Bendahara I

Bendahara II

Ketua Bidang I

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Ketua Bidang II

Anggota

Anggota

Anggota

























Bidang Perlindungan Perempuan









Bidang Perlindungan Anak












NO.

21.

22.

23.

24.

25.

26.

27.

28.

29.

30.

31.

32.

33.

34.

35.

36.

37.

38.

39.

40.

41.











NAMA/JABATAN

Hj. Wasal

Hj. Ulyah

Dra. Hj. Fahriyah

Jaryatiningsih, SE

Lis Aminto

Istiqomah

Fatonah, S.Ag

Nunuk Kartinem, SH

dr. Alina

dr. Handaningrum

Dyah Citrawati, S.Psi

Siti Muflichah, M. Ag

Sucipto, M.Pd

Zaenal Khafidin, M. Ag

Dra. Mamik Indaryati, MS

M. Wijanarko, S.Psi

Dra. Farida Yuliani, M. Si

Suciningtyas, SH, M.Hum

Any Ismayati, SH, M.Hum

Drs. H. Abdul Karim, M.Pd

Abdul Jalil, S.Ag











KEDUDUKAN

Anggota

Anggota

Ketua Bidang III

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Ketua Bidang IV

Anggota

Anggota

Anggota

Ketua Bidang V

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Ketua Bidang VI

Anggota

Anggota

Anggota











KETERANGAN





Bidang Sumber Daya Manusia











Bidang penyuluhan







Bidang Penelitian Pengembangan









Bidang Advokasi



56



57




4. Peranan JPPA Dalam Penanganan Kasus Tindak Kekerasan

Terhadap Perempuan.

Peran Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA) sebagai

LSM masyarakat yang bergerak dalam bidang sosial, dimana JPPA

sebagai relawan pendamping ikut bertanggung jawab dalam membantu

menangani kasus tindak kekerasan terhadap perempuan dengan

melakukan tindakan sebagai berikut:

a. Upaya yang Dilakukan oleh Jaringan Perlindungan Perempuan

dan Anak (JPPA) Dalam Menangani Tindak Kekerasan Terhadap

Perempuan.

Masalah kekerasan terhadap perempuan bukan merupakan

masalah baru, namun hingga kini masih juga belum ditemukan cara

penanganannya yang efektif, karena itu masih sering terdengar

berbagai keluhan bahwa pada waktu korban melapor, ternyata kurang

mendapatkan perhatian dan pelayanan yang maksimal dan belum

mampunya memberi rasa aman.

Fenomena kenyataan yang ada, Pemerintah Kabupaten Kudus

secara sigap dan tanggap membentuk suatu ruang pelayanan yang

diawali dengan munculnya orang-orang yang berkompeten

dibidangnya yang terwadahi dalam Jaringan Perlindungan Perempuan

dan Anak (JPPA). Selain menangani kasus kekerasan terhadap

perempuan Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak juga



58




meningkatkan kesejahteraan perempuan dan anak dengan

memperhatikan keadilan dan perlindungan terhadap perempuan dan

anak.

Keterangan Ibu Sri Endang Erowati, SH yang merupakan ketua
bidang I bidang perlindungan perempuan pada tanggal 16 Desember
2006 di sekretariat Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak
(JPPA) jl. Diponegoro no. 31 Kudus bahwa, upaya Jaringan
Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA) Kabupaten Kudus dalam
menangani kasus tindak kekerasan terhadap perempuan adalah dengan
menindak tegas pelaku kekerasan terhadap perempuan dengan cara
mendampingi korban kekerasan sampai penyidikan di Kepolisian dan
akhirnya sampai ke pihak Pengadilan. Dalam menangani kasus-kasus
tindak kekerasan terhadap perempua, anggota dari Jaringan
Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA) harus benar-benar
melindungi dan terpihak pada para korban dan menetapkan pasal-pasal
dari KUHP ataupun Peraturan Perundang-undangan lain yang dapat
mendukung keadilan bagi para perempuan korban kekerasan dan
menjerat pelaku tindak kekerasan terhadap perempuan (wawancara
tanggal 16 Desember 2006).

Akan tetapi yang perlu dicermati oleh anggota Jaringan
Perlindungan Perempun dan Anak (JPPA) yaitu dalam melihat kasus
yang ditangani, apabila terhadap kasus yang tidak memenuhi unsur
pidana maka upaya penyelesaiannya melalui konseling atau kerjasama
dengan fungsi lain di Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak
(JPPA) bidang Sumber Daya Manusia (SDM) ditangani oleh Ketua
Bidang III Ibu Dra. Hj. Fahriyah, instansi terkait dan mitra kerja/LSM
lain. Dan jika kasus yang ditangani memenuhi unsur pidana maka
untuk penyelesaiannya dapat dilimpahkan ke pihak kepolisian untuk
dilakukan penyidikan dan pemeriksaan yang ditangani oleh Ketua
Bidang I Ibu Sri Endang Erowati, SH (Wawancara tanggal 16
Desember 2006).


Bentuk-bentuk kegiatan yang dilakukan Jaringan Perlindungan

Perempuan dan Anak (JPPA) dalam menunjang peranannya untuk



59




membantu menangani kasus tindak kekerasan terhadap perempuan

antara lain :

1. Pendidikan dan pelatihan bagi anggota Jaringan Perlindungan

Perempuan dan Anak (JPPA)

Sebelum anggota dari JPPA menjalankan tugas dan

fungsinya sebagai relawan pendamping, maka para anggota dari

JPPA tersebut sebelumnya dipilih oleh Ibu Hj. Noor Hani’ah

selaku Ketua Umum yang notabene Wakil Bupati Kudus. Para

Anggota tersebut dipilih berdasarkan kemampuan dan loyalitasnya

untuk meminimalisir kasus tindak kekerasan terhadap perempuan

di Kota Kudus. Anggota JPPA Kabupaten Kudus terdiri dari para

Dokter dan Dosen dari Universitas Muria Kudus (UMK) serta

anggota lain yang memiliki dedikasi yang tinggi di bidangnya.

Setelah organisasi yang dipilih oleh Ketua Umum tersebut

resmi menjadi anggota JPPA secara organisatoris atau struktural,

maka selanjutnya mereka mendapatkan pendidikan dan pelatihan.

Adapun bentuk pendidikan dan pelatihan tersebut yaitu :

Karena anggota JPPA merupakan orang-orang yang sudah
cukup ahli dan berpengalaman maka pihak JPPA hanya
memberikan pelatihan dan pengetahuan melalui seminar dan
penyuluhan-penyuluhan dengan mendatangkan tenaga ahli yang
sudah cukup lama menjadi pemerhati kasus tindak kekerasan
terhadap perempuan yaitu mendatangkan anggota dari LSM Rifka
Annisa dan Dosen dari UNDIP untuk memberikan pelatihan dan
penyuluhan kepada anggota JPPA Kabupaten Kudus (wawancara
tanggal 12 Februari 2007).








2. Unsur Medis



60


Dalam melaksanakan upaya penanganan terhadap tindak

kekerasan yang dialami pihak perempuan, Jaringan Perlindungan

Perempuan dan Anak (JPPA) yang bertugas melindungi,

mengayomi dan melayani masyarakat tidak dapat berdiri sendiri.

Dalam proses penyidikan untuk menemukan pembuktian terhadap

suatu tindak kekerasan perempuan, Polisi selaku penyidik

membutuhkan bantuan dari unsur medis. Hal ini dibutuhkan untuk

mencari bukti bahwa telah terjadi tindak kekerasan melalui visum

yang dilakukan oleh pihak rumah sakit atau yang ahli dibidangnya.

Dalam hal ini Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA)

bertugas mendampingi korban tindak kekerasan terhadap

perempuan. Dengan adanya petunjuk atau bukti telah terjadinya

tindak kekerasan melalui proses visum yang dilakukan oleh pihak

rumah sakit tersebut maka Jaringan Perlindungan Perempuan dan

Anak (JPPA) sebagai pendamping dalam hal ini adalah ketua

bidang I yang diwakili oleh Ibu Endang Sri Erowati, SH dan

anggota berhak melimpahkan kasus ini kepihak kepolisian, oleh

karena itu polisi sebagai penyidik bertugas untuk menindak lanjuti

kasus tersebut sampai tuntas, adil dan profesional. Dalam hasil

visum, Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA) Kudus

telah bekerja sama dengan Rumah Sakit Umum Daerah yang




61




beralamat di jalan dr. Lukmonohadi nomor 19 Kudus sebagai mitra

kerja dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan.

3. Penyadaran Masyarakat

Dengan meningkatnya kasus-kasus kekerasan terhadap

perempuan akhir-akhir ini membawa konsekuensi yang tinggi

terhadap kinerja dari aparat penegak hukum untuk menyikapi dan

menindak tegas terhadap pelakunya. Fenomena tersebut diatas

merupakan masalah sosial yang harus disikapi dan ditekan angka

kasusnya melalui berbagai upaya diantaranya melalui penyadaran

terhadap masyarakat luas mengenai akibat dari tindak kekerasan

terhadap perempuan tersebut. Tidak hanya orang dewasa yang

perlu penyadaran tetapi juga remaja agar kelak tidak melakukan

tindak kekerasan terhadap perempuan. Hal tersebut dapat

dilakukan melalui upaya Jaringan Perlindungan Perempuan dan

Anak (JPPA) untuk bekerjasama dengan tokoh-tokoh pemuka

Agama, dengan lembaga edukatif baik formal maupun informal.

Dalam mensosialisasikan penerapan Undang-Undang No 7 tahun

1984 tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap

perempuan, serta stratifikasi dan penerapan komitmen

internasional yang lain (Subhan 2004:62-63). Dan bahaya yang

akan dirasakan oleh masyarakat pada umumnya serta bagi

perempuan pada khususnya.



62




Berdasarkan wawancara dengan Hj. Fahriyah selaku Ketua
Bidang III mengatakan bahwa bentuk-bentuk kegiatan yang
dilakukan oleh pihak Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak
(JPPA) dalam menjembatani hubungan kerjasama dengan
masyarakat luas yaitu melalui kegiatan seminar, penyuluhan dan
kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial serta memberikan
pengetahuan-pengetahuan umum pada masyarakat dan pelajar
mulai dari SLTP sampai SMU dan yang sederajat tentang kasus
tindak kekerasan terhadap perempuan (wawancara tanggal 12
Februari 2007).

Hal ini sesuai dengan keterangan dari Ibu Sudarwati yang

mengungkapkan :

“ Saya tahu JPPA waktu ada penyuluhan di desa saya, lalu

timbul keinginan untuk melaporkan suami saya” (wawancara

tanggal 15 Februari 2007).

4. Kerjasama Dengan Pihak Lain (Kepolisian, LSM dan Organisasi

Masyarakat)

a. Kepolisian

Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, JPPA Kabupaten

Kudus membutuhkan kerjasama dari bantuan pihak lain yang

terkait terhadap penanganan kasus tindak kekerasan terhadap

perempuan. Upaya kerjasama tersebut diantaranya kerjasama

dengan pihak Kepolisian.

Kepolisian sebagai aparatur penegak hukum membantu

tugas JPPA Kabupaten Kudus menangani kasus kekerasan

terhadap perempuan yang memenuhi unsur pidana, karena hal ini



63




sesuai dengan tugas aparatur sebagai penyidik yang nantinya

akan membantu membuat terang tentang terjadinya tindak pidana

kekerasan terhadap perempuan melalui pengumpulan bukti-bukti

yang ada.

Berdasarkan wawancara dengan Supriyanti seorang korban

kekerasan mengatakan :

“Waktu itu saya disuruh keluarga saya ke JPPA untuk
melaporkan suami saya dan keluarga saya meminta agar JPPA
membantu masalah saya sampai di pengadilan” (Wawancara
tanggal 15 Februari 2007).

Hal tersebut dilakukan untuk membantu korban

kekerasan agar mendapatkan perlindungan dan keadilan hukum

serta bagi pelaku dapat dijerat dengan hukuman yang sesuai

dengan apa yang diperbuatnya. Dalam membantu pelaksanaan

tugas dan fungsinya sebagai pendamping korban, JPPA menjalin

kerjasama dengan instansi aparat penegak hukum, dalam hal ini

RPK yang berada di bawah naungan struktur organisasi dari

POLRES Kudus (Sumber: Keterangan Ibu Endang Erowati, SH)

b. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)

Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA)

merupakan organisasi perempuan yang secara formal berada

didalam susunan organisasi Pemerintah Kabupaten Kudus

sebagai sub bagian pemberdayaan perempuan di bawah



64




koordinasi bagian sosial. Tugas dan Fungsi dari JPPA yaitu

melakukan pengkajian dan perlindungan terhadap fenomena

permasalahan kasus kekerasan perempuan dan anak di

Kabupaten Kudus.

Dalam membantu menjalankan tugas dan fungsinya

tersebut, selain bekerjasama dengan aparat penegak hukum,

JPPA juga membutuhkan LSM lain dalam menjalankan tugasnya

untuk melakukan pengkajian dan analisa terhadap permasalahan

yang berhubungan dengan upaya perlindungan terhadap

perempuan. Meskipun hubungan JPPA dengan LSM lain tidak

secara langsungdalam arti struktural, akan tetapi kerjasama

tersebut sangat diperlukan oleh JPPA untuk berinteraksi dalam

memberikan informasi kasus dan memberikan masukan-masukan

yang berhubungan dengan penanganan kasus tindak kekerasan

terhadap perempuan. Dengan adanya hubungan kerjasama

dengan LSM ini baik ditingkat regional maupun nasional

diharapkan akan membantu dampak positif bagi perkembangan

informasi mengenai arti penting perlindungan terhadap

perempuan, sehingga kasus tindak kekerasan terhadap

perempuan tersebut bisa diminimalisir (Sumber: Keterangan Ibu

Endang Erowati, SH).








c. Organisasi Kemasyarakatan (ORMAS) Aisiyah



65


Upaya kerjasama dengan Ormas oleh JPPA Kabupaten

Kudus merupakan usaha yang baik, dimana ormas merupakan

organisasi masyarakat yang bersifat sosial, yang nantinya bisa

membantu JPPA dalam melaksanakan tugasnya dalam

memberikan penyuluhan dalam rangka menyadarkan

masyarakat, khususnya kaum perempuan tentang bentuk-bentuk

kekerasan terhadap perempuan beserta akibatnya sehingga

kekerasan terhadap perempuan dapat diminimalisir bahkan

dihilangkan.

Kerjasama antara Jaringan Perlindungan Perempuan dan

Anak (JPPA) dengan Organisasi Kemasyarakatan (ORMAS) ini

selain bisa menjadi output melalui penyuluhan yang dilakukan

oleh JPPA, kerjasama ini juga bisa dijadikan sebagai input bagi

JPPA dalam hal menggalang dana dari donatur-donatur anggota

ormas tersebut yang mau membantu JPPA dalam upayanya

menjalankan tugas dan fungsinya membantu para korban

kekerasan.




66




b. Proses Penanganan Kasus Tindak Kekerasan Terhadap

Perempuan yang Dilakukan Oleh Bidang I Jaringan Perlindungan

Perempuan dan Anak (JPPA)

Proses penanganan terhadap kasus tindak kekerasan terhadap

perempuan berdasarkan keterangan dari Sri Endang Erowati, SH pada

tanggal 16 Desember 2006 di Kantor sekretariat Jaringan Perlindungan

Perempuan dan Anak (JPPA) Kabupaten Kudus yang beralamat di

jalan Diponegoro nomor 31 Kudus, dalam menangani kasus tindak

kekerasan terhadap perempuan secara prosedural tahapan-tahapan

proses penanganan kasus tindak kekerasan terhadap perempuan secara

garis besar adalah sebagai berikut:

1. Penerimaan laporan atau pengaduan dari korban, saksi korban atau

keluarga korban kekerasan. Laporan tersebut dibuat di sekretariat

Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA).

2. Pembuatan berita acara kronologis kejadian ditangani oleh Bidang

I berdasarkan laporan atau pengaduan dari korban, saksi korban

atau keluarga korban

3. Bidang I membuat laporan yang ditujukan kepada ketua umum

kemudian ketua umum menerbitkan surat tugas kepada bidang I

untuk menindak lanjuti kasus tersebut

4. Upaya konseling dilakukan dengan memberikan pembinaan antara

pihak yang bertikai alternatif pemecahan masalah. Alternatif yang



67




dimaksud adalah bahwa pihak Jaringan Perlindungan Perempuan

dan Anak (JPPA) Kabupaten Kudus akan membantu

menyelesaikan masalah baik secara kekeluargaan atau damai

maupun secara hukum.

5. Pelimpahan perkara kepada penuntut umum dan pengembaliannya

kepada penyidik untuk disempurnakan (wawancara tanggal 20

Desember 2006).

Dari keterangan diatas dapat digambarkan alur proses penanganan

pihak Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA) Kabupaten

Kudus terhadap tindak kekerasan terhadap perempuan sebagai berikut:








Gambar 4.















Upaya
Damai








Berita Acara
Pemeriksaan
Saksi











Laporan
Pengaduan



Bidang I




Konseling








Kepolisian

















Ketua Umum
JPPA






Upaya Hukum









Visum Et
Repertum



68





Penyidikan & Penyelidikan



Pra Penuntutan



Mengingat bahwa anggota JPPA merupakan relawan

pendamping bagi korban tindak kekerasan terhadap perempuan, maka

dalam membantu penyelesaian kasus tindak kekerasan terhadap

perempuan yang memenuhi unsur tindak pidana maka anggota JPPA




69




tersebut mendampingi korban sejak masuknya laporan pengaduan dari

korban sampai pada penyelesaian tingkat akhir (putusan pengadilan).

Dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan Jaringan

Perelindungan Perempuan dan Anak (JPPA) Kudus selalu dibantu oleh

anggota-anggota bidang lain dalam menjalankan tugasnya. Hal ini

mengingat keterbatasan jumlah personil, profesionalitas serta situasi

dan kondisi dari para anggota bidang I yang mengampu bidang

perlindungan perempuan. Akan tetapi mengingat tugas dari anggota

bidang I juga sebagai ibu rumah tangga yang juga harus mengurus

keluarga dan kegiatan yang lain, maka secara operasional untuk

berjaga dua puluh empat jam anggota Jaringan Perlindungan

Perempuan dan Anak (JPPA) bidang I diatur dengan sistem “on call”

dimana apabila ada kasus yang harus ditangani pada malam hari yang

tidak memungkinkan anggota dari bidang I untuk bersiaga malam

maka dengan bantuan satpam yang bertugas siaga pada malam hari

dapat segera menghubungi salah satu anggota dari bidang I yang

membidangi perlindungan perempuan untuk segera menangani korban

kekerasan tersebut.

Apabila pelapor dalam hal ini korban kekerasan tersebut datang

ke sekretariat Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA)

Kudus sesuai jam kerja petugas, maka permasalahannya bisa langsung

ditangani di sekretariat tersebut, maka anggota bidang I membuat



70




laporan pengaduan dan laporan tersebut bersifat sangat rahasia.

Anggota bidang I yang bertugas saat itu menyerahkan laporan tersebut

kepada ketua bidang I untuk diproses lebih lanjut. Ketua bidang I

meneruskan laporan tersebut kepada ketua umum untuk mendapatkan

surat tugas penanganan (lihat model lampiran 1). Setelah mendapatkan

surat tugas dari ketua umum, ketua bidang I bersama anggotanya

berhak menindak lanjuti kasus tersebut. Laporan pengaduan tersebut

dipelajari oleh anggota bidang I dengan pelapor dan dihadapkan

kepada ketua bidang I untuk melakukan pemeriksaan awal atau upaya

konseling kepada korban. Dalam hal anggota JPPA memberikan

alternatif penyelesaian kepada korban dengan cara meminta pendapat

maupun persetujuan korban, apakah kasusnya dapat diselesaikan

secara kekeluargaan atau diproses secara hukum yang berlaku. Upaya

konseling tersebut dilakukan oleh anggota bidang I untuk mencermati

setiap kasus yang sedang ditangani yaitu dengan cara mendengarkan

dan mempelajari latar belakang kejadian atau peristiwa dari keterangan

korban atau pelapor sehingga apabila kasus yang ditangani mempunyai

unsur tindak pidana maka penyelesaiannya harus melalui jalur hukum

dengan melimpahkan kasus tersebut kepada pihak kepolisian sesuai

ketentuan yang berlaku, tetapi apabila kasus tersebut tidak memenuhi

unsur tindak pidana, maka penyelesaiannya dapat dilakukan dengan

cara upaya damai atau kekeluargaan. Upaya konseling tersebut sangat



71




diperlukan karena sangat berpengaruh bagi pemeriksaan nasib korban

maupun tersangka, sehingga anggota bidang I Jaringan Perlindungan

Perempuan dan Anak (JPPA) tidak salah dalam mengambil keputusan

dan tindakan, karena hal ini akan berpengaruh bagi kinerja Jaringan

Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA) sebagai LSM yang

melindungi perempuan selain itu berpengaruh pula kepada aparat

penegak hukum dalam memberikan perlindungan perlindungan,

pengayoman dan pelayanan pada masyarakat pada umumnya dan

korban pada khususnya. Setelah mendapatkan persetujuan dari korban

kekerasan bahwa korban meminta agar kasusnya diselesaikan secara

hukum maka selanjutnya ketua bidang I mendampingi korban untuk

melimpahkan kasus tersebut kepada pihak kepolisian agar segera

dibuatkan berita acara pemeriksaan (BAP) saksi (lihat lampiran 2).

Setelah berita acara pemeriksaan saksi dibuat, maka pihak

kepolisian membuatkan surat untuk dilakukan visum di Rumah Sakit

Umum Daerah Kabupaten Kudus yang ditandatangani oleh Kasatserse

(lihat lampiran 4) sampai visum selesai dan dilakukan proses

selanjutnya. Sedangkan pihak Jaringan Perlindungan Perempuan dan

Anak (JPPA) sendiri hanya berhak mendampingi korban kekerasan

tersebut.

Dengan adanya bukti tindak kekerasan terhadap korban melalui

visum dari Rumah Sakit dan keterangan korban, maka pihak



72




kepolisian segera mengeluarkan surat perintah untuk melakukan

penyidikan (lihat lampiran 5) guna pengumpulan barang bukti. dan

menangkap pelaku melalui proses pemanggilan tersangka untuk

didengar keterangannya dalam peristiwa tindak pidana kekerasan

terhadap perempuan tersebut (lihat lampiran 6). Dengan tertangkapnya

tersangka, selaku penyidik pihak kepolisian menahan tersangka guna

kepentingan penyidikan lebih lanjut. Tersangka lalu ditahan di Polres

Kudus dua puluh hari sejak surat perintah penahanan dikeluarkan oleh

serse (lihat lampiran 8).

Di Polres Kudus, tersangka diperiksa mengenai kasus tindak

pidana yang disangkakan kepadanya dengan memperlihatkan barang

bukti yang disita oleh petugas berupa benda-benda yang diduga

digunakan tersangka untuk melakukan tindak kekerasan terhadap

korban yang diambil dari tempat kejadian perkara maupun yang

diperoleh dari bekas luka di tubuh korban berdasarkan visum dan hasil

keterangan dari laporan pengaduan korban melalui penyelidikan,

penyidikan oleh penyidik. Dan tersangka mengakui telah melakukan

tindak pidana yang disangkakan, semua keterangan tersangka

dituangkan dalam berita acara pemeriksaan tersangka (lihat lampiran

9).








Sesuai dengan ketentuan dalam pasal 109 KUHAP



73


“Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu

peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan

hal itu kepada penuntut umum”. Dengan telah dimulainya penyidikan

tindak pidana kekerasan terhadap perempuan penyidik

memberitahukan kepada Kepala Kejaksaan Negeri Kudus dan dengan

adanya pemberitahuan tersebut, maka Kepala Kejaksaan menunjuk

Jaksa Penuntut Umum untuk mengikuti perkembangan dan meneliti

hasil penyidikan.

Setelah penyidik merasa semua sudah lengkap dan memenuhi

semua persyaratan, maka semua tindakan yang sudah dilakukan

dituangkan kedalam berita acara secara tertulis untuk selanjutnya

dibuat dalam satu bendel berkas perkara yang berisi: sampul berkas

perkara, resume, laporan polisi, surat perintah penyidikan, surat

pemberitahuan dimulainya penyidikan ,Berkas Acara Pemeriksaan,

surat kuasa, surat perintah tugas, surat penggeledahan rumah, surat-

surat, daftar saksi, daftar tersangka, serta daftar barang bukti.

Berkas perkara yang dibuat oleh penyidik dalam hal ini anggota

Ruang Pelayanan Khusus (RPK) POLRES Kudus, telah selesai dan

dianggap lengkap sesuai keterangan diatas, maka berkas perkara

tersebut kemudian dilimpahkan kepada penuntut umum yang telah

ditunjuk oleh Kejaksaan Negeri Kudus untuk menangani kasus




74




tersebut. Penuntut Umum dalam waktu tujuh hari setelah memperoleh

berkas perkara dari penyidik, penyidik wajib memberitahukan apakah

hasil penyelidikan sudah lengkap atau belum.

Menanggapi pemberitahuan telah lengkapnya penyidikan dari

penuntut umum, maka penyidik segera mengirimkan dan menyerahkan

tersangka beserta barang bukti beserta barang bukti kepada Penuntut

Umum. Dengan telah diserahkannya berkas perkara oleh penyidik

kepada Penuntut Umum, maka tanggungan jawab dalam proses

penyidikan tindak pidana kekerasan terhadap perempuan telah selesai

dan berakhir. Tapi bagi pihak Jaringan Perlindungan Perempuan dan

Anak (JPPA) tanggung jawab untuk mendampingi korban belum

selesai. Tugas dan tanggung jawab ini akan selesai dan berakhir

setelah ada keputusan dari pihak Pengadilan untuk tersangka tindak

pidana kekerasan terhadap perempuan.

Dalam penelitian ini peneliti hanya memfokuskan pada kasus

tindak pidana kekerasan terhadap perempuan dari dua puluh kasus

yang ditangani oleh bidang I dari Jaringan Perlindungan Perempuan

dan Anak (JPPA) Kudus, dimana angka kasusnya sampai pada bulan

Desember 2006 mencapai dua puluh kasus yang diantaranya kasus

tindak pidana percobaan pemerkosaan dan penganiayaan, penghinaan,

pengrusakan dan pengancaman, pencemaran nama baik, perkosaan,

perbuatan tidak menyenangkan, perzinahan, perselingkuhan, serta



75




pencabulan dengan perempuan yang tidak berdaya. Dari dua puluh

kasus yang ditangani pihak Jaringan Perlindungan Perempuan dan

Anak (JPPA) Kudus sebagian kecil korbannya masih tergolong

dibawah umur. Hal ini sangat memprihatinkan dan perlu diupayakan

penanganannya secara maksimal demi terciptanya penegakan hukum.

Dari hasil wawancara dengan Ketua Bidang I Perlindungan

Perempuan, menyatakan bahwa kasus-kasus tindak kekerasan terhadap

perempuan yang ditangani oleh bidang I Jaringan Perlindungan

Perempuan dan Anak (JPPA) Kudus, enam belas kasus diantaranya

terselesaikan dan empat kasus masih dalam proses penanganan. Akan

tetapi pihak Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA)

Kudus hanya memberikan informasi bahwa hanya tujuh kasus yang

dapat diambil sebagai data observasi karena menyangkut kode etik

Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA) Kudus (lihat tabel

matrik observasi)

Berdasarkan wawancara dengan Ibu Sudarwati seorang korban

kekerasan mengatakan bahwa:

“Masalah saya ditangani JPPA, saya dipertemukan dengan suami
saya dan keluarga. Waktu itu saya menerima lagi dan memaafkan
suami saya karena dia berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya
lagi. Saya tidak membayar untuk menyelesaikan masalah saya, tetapi
saya hanya memberikan perangko balasan bersama dengan surat saya
ke JPPA” (wawancara tanggal 15 Februari 2007).



76




Dari enam belas kasus yang teselesaikan, sepuluh kasus

diantaranya telah terselesaikan secara damai atau kekeluargaan dimana

pihak pelapor telah mencabut pengaduannya kepada pihak Jaringan

Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA) bidang I dan enam kasus

terselesaikan melalui jalur hukum.

Berdasarkan dari data tersebut, menurut keterangan Sri Endang
Erowati, SH dapat dijelaskan bahwa kasus-kasus yang belum
terselesaikan yang ditangani oleh bidang I dikarenakan banyaknya
jumlah kasus tindak pidana yang masuk ke JPPA Kabupaten Kudus
dengan jumlah personil yang ada belum mencukupi, selain itu juga
dalam menangani kasus tindak pidana kekerasan terhadap perempuan
banyak menemui kendala-kendala yang sampai sekarang belum
terpecahkan solusinya, yang antara lain sarana dan prasarana,
keterbatasan dana yang dimiliki. Akan tetapi Jaringan Perlindungan
Perempuan dan Anak (JPPA) Kabupaten Kudus selalu berupaya untuk
menyelesaikan setiap kasus-kasus yang ditangani secara maksimal dan
bertindak profesional (wawancara pada tanggal 16 desember 2006).

5. Kendala-Kendala yang Menghambat Dalam Upaya Penanganan

Kasus Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Perempuan

Kendala-kendala yang menghambat Jaringan Perlindungan

Perempuan dan Anak (JPPA) Kabupaten Kudus dalam upaya

menangani kasus tindak kekerasan terhadap perempuan berdasarkan

ketentuan dari Ibu Sri Endang Erowati, SH (wawancara tanggal 20

Desember 2006).

a. Faktor Internal

Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA)

Kabupaten Kudus merupakan sebuah Lembaga Swadaya



77




Masyarakat (LSM) yang bernaung dibawah pemerintahan

Kabupaten Kudus dengan pelindung dan penasehat adalah Bupati

Kudus, mengingat peran Jaringan Perlindungan Perempuan dan

Anak (JPPA) di Kudus ini sangat vital dalam menangani kasus-

kasus kekerasan terhadap perempuan, maka Jaringan Perlindungan

Perempuan dan Anak (JPPA) Kudus dituntut mampu untuk

menanggapi maupun secara empati dalam melaksanakan tugas dan

tanggung jawabnya kepada korban. Karena korban adalah kaum

perempuan yang memiliki kepekaan dan sensitifitas sehingga

dibutuhkan suatu pelayanan khusus yang mampu mengerti dan

memahami keadaan korban. Oleh karena alasan tersebut, maka

anggota dari bidang I yang membidangi perlindungan perempuan

adalah wanita. Dalam bidang ini wanita-wanita tersebut dianggap

mampu menjalankan tugas yang dibebankan di pundak mereka

dalam ruang lingkup Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak

(JPPA) khususnya melayani kasus-kasus yang berhubungan

dengan perempuan karena mereka sama-sama memiliki perasaan

yang mampu mengerti keadaan serta kekurangan dari sesama

jenisnya yaitu kaum perempuan.

Akan tetapi mengingat kasus-kasus mengenai kekerasan

terhadap perempuan mengalami banyak peningkatan sehingga

pihak Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA) banyak



78




menemui kendala dalam hal ini yang berkaitan dengan kendala

struktural diantaranya mengenai segi kuantitas maupun kualitas

dari personel anggota bidang I masih kurang, sehingga terkadang

dalam melakukan proses penanganan sebuah kasus tindak

kekerasan terhadap perempuan memerlukan bantuan dari anggota

bidang lain, dan dari segi kualitas yaitu agar anggota bidang I

mempunyai anggota yang berkualifikasi maka diharapkan anggota

dari bidang I memiliki keahlian yang berkaitan dengan

profesionalitas dan keahlian di bidangnya yang diperoleh dari

pendidikan formal. Anggota bidang I dari Jaringan Perlindungan

Perempuan dan Anak (JPPA) Kudus yang profesional adalah

anggota dari bidang I yang mampu melakukan tugasnya sesuai

dengan kapasitas pendidikan yang diterimanya sekaligus mampu

menggunakan instrumen-instrumen hasil pengembangan ilmu

pengetahuan. Di dalam bidang I, anggotanya yang berpendidikan

tinggi hanya beberapa orang saja dan yang lain diambil

berdasarkan kualifikasi serta pelatihan yang mereka terima dalam

melayani dan menangani kasus yang berkaitan dengan perempuan

selama bertugas di Jaringan Perlindungan Perempusn dan Anak

(JPPA) Kabupaten Kudus.

Hambatan dari segi keterbatasan anggaran dana yang

tersedia untuk kepentingan dalam melakukan proses penanganan



79




terhadap suatu kasus yang membutuhkan dana cukup besar masih

dirasakan oleh pihak Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak

(JPPA) Kudus, hal ini dikarenakan dana yang tersedia belum

memenuhi standar karena sumber dana yang diperoleh Jaringan

Perlindungan perempuan dan Anak (JPPA) hanya dari Anggaran

Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Kudus saja.

Dalam melakukan tugas penanganan suatu kasus mereka

menggunakan dana dari APBD tetapi uang kas tersebut belum

mencukupi anggota dari pihak Jaringan Perlindungan Perempuan

dan Anak (JPPA) Kudus, sehingga terkadang mereka dengan

sukarela menggunakan dana pribadi sebagai wujud dari kepedulian

sosial. Selain kendala dari segi pendanaan ada juga kendala dari

segi sarana dan prasarana sehingga terkadang anggota Bidang I

masih menggunakan sarana pribadi dan masih meminta bantuan

dari bidang lain dalam penanganan suatu kasus.

b. Faktor Eksternal

Mengingat bahwa di Indonesia belum ada perundang-

undangan khusus yang mengakomodasikan masalah kekerasan

terhadap perempuan sehingga korban sering kali kesulitan

memperoleh keadilan. Hal ini terjadi sebelum adanya Undang-

Undang no. 23 Tahun 1994 tentang Penghapusan Kekerasan

Dalam Rumah Tangga (PKDRT). Walaupun sudah ada Undang-



80




Undang yang mengakomodasikan masalah kekerasan terhadap

perempuan tetapsaja bagi anggota bidang I mengalami kesulitan

untuk melaksanakan tugasnya. Ini terjadi setelah laporan tersebut

masuk ke pihak kepolisian karena pihak kepolisian kesulitan

menentukan pasal-pasal yang akan didakwakan kepada tersangka

dalam kasus kekerasan tindak pidana tersebut. Pihak kepolisian

masih menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP) untuk digunakan sebagai acuan atau dasar untuk

memberikan dakwaan terhadap tersangka sesuai dengan perbuatan

yang telah dilakukannya.

Selain itu juga belum ada program perlindungan bagi korban

dan saksi ataupun bagi pekerja kemanusiaan yang mendampingi

korban sehingga korban hanya mendapatkan perlindungan

sementara dari pihak Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak

(JPPA) maupun pihak kepolisian sampai proses penanganan kasus

tersebut selesai. Perlu kita sadari bahwa korban kekerasan tidak

hanya membutuhkan bantuan berbentuk materiil saja akan tetapi

juga berbentuk spiritual untuk membangkitkan gairah hidupnya

agar kesedihannya tidak berlarut-larut karena perjalanan

kehidupannya masih panjang.

Tidak dapat kita pungkiri bahwa masih terlihat penanganan

hukum yang masih lemah, hal ini dapat kita cermati dari indikator



81




bahwa pada kenyataanya masih terjadi didalam kehidupan sehari-

hari dimana fakta menunjukkan masih ada yaitu sering kali

hubungan yang seharusnya bersifat resmi dianggap sebagai

hubungan yang bersifat pribadi, hal semacam inilah yang

mengakibatkan penanganan hukum masih lemah dalam kehidupan

sehari-hari.

Mengingat masyarakat Kudus masih beranggapan bahwa

korban kekerasan terhadap perempuan masih dianggap tabu untuk

diketahui pihak luar serta mendukung adanya budaya patriakhi dan

struktur budaya yang menganggap bahwa perempuan merupakan

sub ordinat (konco wingkng) mengakibatkan hak-hak perempuan

terabaikan, serta masyarakat terkadang masih menyalahkan korban

sehingga sumber atau penyebab terjadinya tindak kekerasan

merupakan hambatan yang sulit untuk dihadapi sehingga

diperlukan adanya upaya penyadaran kepada masyarakat mengenai

kasus tindak kekerasan terhadap perempuan sehingga nantinya bisa

di minimalisir angka kasusnya.

Berdasarkan keterangan Ibu Sudarwati, seorang korban

kekerasan mengatakan bahwa:

“Sebenarnya saya malu membuka aib ini kepada orang

lain, tetapi saya terpaksa minta bantuan JPPA agar masalah saya

cepat selesai”(Wawancara tanggal 15 Februari 2007).



82




Dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan

pihak Jaringan Perlindungan Perlindungan Perempuan dan Anak

(JPPA) terlihat jelas bahwa dalam menyelesaikan kasus yang

ditangani masih mengupayakan penyelesaian dengan jalan damai

atau secara kekeluargaan, akan tetapi upaya tersebut diambil

berdasarkan kesepakatan antara kedua belah pihak (korban dan

pelaku) dengan cara mempertemukan di sekretariat JPPA Kudus di

jalan Diponegoro no. 31 Kudus, upaya tersebut diambil mengingat

kasus tersebut tergolong ringan seperti kasus pencemaran nama

baik, pengrusakan, perbuatan tidak menyenangkan, dan

sebagainya. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan kasus-kasus

tergolong berat seperti perkosaan, perzinahan. Upaya damai bisa

diambil oleh anggota bidang I sebagai penyelesaian akhir, hal

tersebut bisa dilakukan apabila korban mau menerima dan

keputusan yang diambil oleh anggota bidang I tersebut tidak

bersifat memaksa. Upaya ini hanya merupakan jalan alternatif,

akan tetapi apabila korban menghendaki bahwa penyelesaian

masalahnya melalui jalur hukum, maka anggota bidang I akan

melimpahkan kasus tersebut kepihak kepolisian untuk diproses

sesuai dengan prosedur hukum yang ada.








B. Pembahasan



83


Peran ideal dan peran seharusnya JPPA dalam mencegah dan

menanggulangi kekerasan terhadap perempuan ditemukan dalam Keputusan

Menteri Pemberdayaan Perempuan nomor B. 110/Mei/PP/Dep.III/2003,

Tanggal 11 September 2003, Perihal : Panduan Umum Focal Point dan Pokja

PUG (Pengarus Utamaan gender) dan Surat Keputusan Bupati nomor

460/1301/2003 Tanggal 15 November 2003 tentang: Pembentukan Jaringan

Perlindungan Perempuan dan Anak di Kabupaten Kudus. Hal inilah yang

menjadi dasar pijakan JPPA dalam melaksanakan tugasnya.

Untuk mewujudkan peran ideal dan peran yang seharusnya, Jaringan

Perlindungan perempuan dan Anak (JPPA) melaksanakan berbagai upaya

perlindungan dan proses penanganan kekerasan terhadap perempuan

Melihat jenis kegiatan dalam upaya yang dilakukan JPPA dalam

mencegah dan menanggulangi kekerasan terhadap perempuan sudah sesuai

dengan harapan Keputusan Menteri Pemberdayaan Perempuan nomor B.

110/Mei/PP/Dep.III/2003, Tanggal 11 September 2003, Perihal : Panduan

Umum Focal Point dan Pokja PUG (Pengarus Utamaan gender) dan Surat

Keputusan Bupati nomor 460/1301/2003 Tanggal 15 November 2003 tentang:

Pembentukan Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak di Kabupaten

Kudus




84




1. Upaya yang Dilakukan Oleh Jaringan Perlindungan Perempuan dan

Anak (JPPA) Dalam Menangani Kasus Tindak Kekerasan Terhadap

Perempuan.

Berdasarkan hasil penelitian di Jaringan Perlindungan Perempuan

dan Anak (JPPA) Kudus dalam melaksanakan penanganan kasus

kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di Kabupaten Kudus telah

didirikan Sembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang khusus melayani

masalah-masalah kasus tindak pidana yang berkaitan dengan perempuan

yaitu Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA) yang bernaung

dibawah pemerintahan Kabupaten Kudus. Kasus-kasus yang ditangani

oleh bidang I kebanyakan mengenai kasus-kasus seperti pemerkosaan,

perzinahan, penganiayaan disertai pengrusakan, pencabulan perbuatan

tidak menyenangkan dan perselingkuhan.

G.P. Hoefnagels mengutarakan bahwa upaya penanggulangan
kejahatan dapat ditempuh dengan cara, a. penerapan hukum pidana (crime
law aplication), b. pencegahan tanpa pidana (prevention without
punishment), c. mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai
kejahatan dan pemidanaan melalui mass media (influencing view of
society on crime and punishment/mass media) (Makalah dari S.
Wignjosoebroto).

Bentuk- bentuk upaya yang dilakukan JPPA dalam menunjang

peranannya untuk membantu menangani kasus tindak kekerasan terhadap

perempuan antara lain:

a. Pendidikan dan pelatihan bagi anggota Jaringan Perlindungan

Perempuan dan Anak (JPPA)



85




Anggota JPPA merupakan orang-orang yang sudah cukup ahli

dan berpengalaman maka pihak JPPA hanya memberikan pelatihan

dan pengetahuan melalui seminar dan penyuluhan-penyuluhan dengan

mendatangkan tenaga ahli yang sudah cukup lama menjadi pemerhati

kasus tindak kekerasan terhadap perempuan yaitu mendatangkan

anggota dari LSM Rifka Annisa dan Dosen dari UNDIP untuk

memberikan pelatihan dan penyuluhan kepada anggota JPPA

Kabupaten Kudus.

Hal ini berarti, JPPA termasuk salah satu team/komite yang

terintegrasi kedalam birokrasi untuk mencegah dan memberantas

kejahatan sebagaimana yang dikemukakan oleh Kusumah sbb:

“Dalam hal kejahatan-kejahatan kekerasan disarankan untuk
membentuk komite (team) yang terintegrasi kedalam birokrasi penegak
hukum yang terdiri dari ahli-ahli dari berbagai bidang ilmu pengetahuan
(psikologi, sosiologi, sosiologi hukum, antropologi, kriminologi, hukum
pidana dan sebagainya) guna mengembangkan pendekatan
interdisipliner terhadap kejahatan-kejahatan kekerasan dan merancang
strategi pencegahan serta penanggulangannya, khususnya dalam hal
prediksi “violence chronocity”, mendisain perangkat-perangkat
violence-promotive (counter-Therapeutic) dan violence-reducing
(therapheutic). Rancangan tersebut akan merupakan masukan bagi
birokrasi penegak hukum, baik dalam menentukan rencana atau pola
dasar pencegahan kejahatan maupun dalam operasionalnya” (Kusumah
1990:39).

b. Unsur Medis

Dengan adanya petunjuk atau bukti telah terjadinya tindak

kekerasan melalui proses visum yang dilakukan oleh pihak rumah

sakit tersebut maka Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak



86




(JPPA) sebagai pendamping dalam hal ini adalah ketua bidang I yang

diwakili oleh Ibu Endang Sri Erowati, SH dan anggota berhak

melimpahkan kasus ini kepihak kepolisian, oleh karena itu polisi

sebagai penyidik bertugas untuk menindak lanjuti kasus tersebut

sampai tuntas, adil dan profesional.

Agar dapat diproses secara hukum, maka harus terdapat tanda-

tanda kekerasan yang diteliti secara medis berupa visum dari rumah

sakit. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Harkristuti

Harkrisnowo dalam Aroma Elmina Martha (2003:35-37) berikut:

“Banyak hal yang dapat dicermati dokter sebagai tanda-tanda adanya

kekerasan. Pengamatan tersebut tidak hanya terdapat jenis perlukaan

dan penyebab perlukaan, melainkan juga sikap/perilaku korban (istri)

dan pengantarnya (suami)”.

c. Penyadaran Masyarakat

Berbagai tindak kekerasan yang dialami kaum perempuan

membawa dampak pada beban fisik, psikis serta kesengsaraan bagi

korban tersebut. Maka masyarakat, aparat penegak hukum dan

pemerintah dituntut untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu dalam

upaya menangani kasus ini, khususnya dengan melakukan pembinaan

atau penyadaran masyarakat.



87




Sebagaimana dikemukakan oleh Kusumah (1990:43) berikut:

“Secara teoritis, usaha penanggulangan dan pencegahan kejahatan
dengan kekerasan dapat diawali dengan penciptaan dan pembinaan
sistematik lingkungan, yang dapat mengurangi tahap-tahap kekerasan
dari orang-orang yang telah siap atau yang potensial melakukan
kekerasan, setidak-tidaknya untuk mengurangi jarak antara kekerasan
yang diharapkan dengan kekerasan aktual”.

d. Kerjasama dengan Pihak Lain

Jaringan Perlindungan Perempuan dan anak (JPPA) Kudus

melakukan hubungan kerjasama dengan Rumah sakit Umum Daerah

Kabupaten Kudus sebagai mitra kerja dalam menangani kasus tindak

kekerasan terhadap perempuan.

Selain itu Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA)

bekerjasama dengan POLRES Kudus sebagai penyidik. Oleh karena

itu penyidikan tidak akan berjalan tanpa adanya kerjasama antara

kepolisian dan rumah sakit dalam hal saksi ahli seperti dokter maupun

psikolog dalam menangani korban kekerasan terhadap perempuan

seperti perkosaan, penganiayaan seta memungkinkan kasus-kasus lain

yang mengakibatkan kerusakan fisik dan psikis korban.

Hal ini dibutuhkan oleh pihak Jaringan Perlindungan

Perempuan dan Anak (JPPA) dan kepolisian untuk membuktikan

bahwa korban telah mengalami kekerasan sehingga pihak Jaringan

Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA) secara langsung dapat



88




melimpahkan kasus tersebut kepada kepolisian untuk ditindak lanjuti

dan diproses hingga sampai pada penyidikan berakhir.

Mengingat bahwa hasil penyelidikan yang dilakukan oleh

polisi harus profesional dan membutuhkan pihak lain untuk membantu

menyelesaikan tugas dan tanggung jawabnya itu. Sampai saat ini pihak

Polres Kudus telah secara resmi bekerjasama dengan Jaringan

perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA) sebagai LSM yang

menjadi mitra kerjasama. Ini membuktikan bahwa Jaringan

Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA) mampu bekerjasama

dengan kepolisian serta dapat mensosialisasikan kepada masyarakat

tentang akibat tindak kekerasan terhadap perempuan melalui seminar

yang diadakan oleh Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak

(JPPA) bekerjasama dengan lembaga edukatif mulai dari tingkat SLTP

sampai Perguruan Tinggi.

Wujud nyata dari pihak Jaringan Perlindungan Perempuan dan

Anak (JPPA) dalam bekerjasama dengan tokoh agama, Organisasi

Masyarakat maupun masyarakat luas telah terlaksana secara maksimal.

Kerjasama yang dilakukan pihak lain adalah dalam rangka

pengendalian sosial khususnya untuk mencegah terjadinya tindak

kekerasan terhadap perempuan maupun menanggulangi terjadinya

tindak kekerasan terhadap perempuan. Sebagaimana dikemukakan

oleh Katjasungkana berikut:



89




Menindak secara tegas pelaku tindak kekerasan terhadap
perempuan. Di samping itu upaya yang bersifat pelayanan bagi
korban seperti misalnya pendirian Crisis Centre atau Rumah
Penampungan (Shelter) adalah sesuatu yang niscaya harus dilakukan
pula. Di sini tidak saja diperlukan solidaritas dan empati dari semua
pihak, tetapi suatu usaha konkrit yang dapat membantu mereka yang
memerlukan pertolongan akan lebih membuka mata masyarakat
bahwa masalahnya memang nyata dan sangat sah untuk
dipersoalkan. Usaha konkrit tersebut misalnya dengan mendirikan
pusat-pusat penanggulangan (Women Crisis Centre) dan lain-lain
(Katjasungkana 2001:115-117).

Dengan terbentuknya Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak

(JPPA) di Kabupaten Kudus sebagai pusat layanan bagi korban kekerasan

terhadap perempuan menunjukkan bahwa tingkat kepedulian dari

Pemerintah Kabupaten Kudus untuk memperjuangkan hak-hak perempuan

semakin meningkat. Kemajuan ini harus disikapi secara positif, akan

tetapi keberadaan Jaringan perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA)

tersebut tidak lepas dari kekurangan-kekurangan yang perlu dibenahi dan

dikembangkan kinerjanya.

Sebagai sebuah LSM, Jaringan Perlindungan Perempuan danAnak

(JPPA) yang notabene masih memerlukan perbaikan-perbaikan di segala

bidang baik dari segi fisik maupun non fisik. Terlihat dari hasil penelitian

yang diperoleh di kantor Jaringan Perlindungan Perlindungan Perempuan

dan Anak (JPPA) bahwa dari segi fisik bangunan serta sarana

prasarananya yang dimiliki belum memenuhi standar sebagai LSM yang

berfungsi untuk membantu korban kekerasan karena sarana seperti shelter

(rumah aman) belum tersedia secara khusus, akan tetapi di JPPA



90




disediakan ruang khusus untuk konseling dan apabila dibutuhkan, tidak

menutup kemungkinan ruangan tersebut bisa dijadikan tempat istirahat

sementara bagi korban kekerasan.

2. Proses Penanganan Kasus Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan

yang Dilakukan Oleh Bidang I Jaringan Perlindungan Perempuan

dan Anak (JPPA)

Proses penanganan kasus sejak pertama sampai dengan

dijatuhkannya hukuman belum sepadan jika dibandingkan dengan akibat

yang diderita korban tindak kekerasan. Hal ini dapat diamati dari hasil

data yang diperoleh menunjukkan bahwa jumlah kasus kekerasan terhadap

perempuan yang ditangani oleh Jaringan Perlindungan Perempuan dan

Anak (JPPA) bidang I dari tahun ke tahun mengalami peningkatan.

Dimana selama Tahun 2005-Tahun 2006 berjumlah dua puluh

kasus yang mana kasus tersebut merupakan kasus tindak pidana yang

berhubungan dengan perempuan. Dengan demikian menunjukkan bahwa

di salah satu sisi persoalan ketimpangan jender masih menjadi pesoalan

serius di masyarakat dan disisi lain bahwa dengan banyaknya kasus yang

masuk ke Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA) bidang I

menandakan bahwa perempuan korban kekerasan sudah mulai

memberanikan diri untuk melapor dan bercerita tentang penderitaan yang

dialaminya serta berjuang untuk merebut kembali hak-haknya guna



91




memperoleh keadilan sebagai perempuan yang patut dihargai dan

dihormati keberadaanya.

Kenyataan yang ada maka Jaringan Perlindungan Perempuan dan

Anak (JPPA) sebagai suatu LSM yang membantu menyelesaikan masalah

kekerasan terhadap perempuan sudah selayaknya untuk menjalankan

tugasnya sebagaimana tertuang didalam Surat Keputusan Bupati

Kabupaten Kudus Nomor 460/1301/2003 yaitu tentang pembentukan

Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA) di Kabupaten Kudus

yang didalamya memuat tugas pokok yaitu melakukan pengkajian dan

analisa terhadap permasalahan yang berhubungan dengan upaya

perlindungan perempuan dan anak, merumuskan rencana kegiatan

Jaringan Perlindungan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA)

Kabupaten Kudus, melakukan monitoring dan evaluasi atas pelaksanaan

kegiatan.

Dalam mewujudkan tugas pokok sebagai alat negara yang

berperan dalam memelihara keamanan dan ketentraman masyarakat serta

menegakkan hukum, maka didalam upaya menangani masalah-masalah

kekerasan terhadap perempuan, Jaringan Perlindungan Perempuan dan

Anak (JPPA) sebagai pendamping korban sampai proses penyidikan

berakhir berupaya secara maksimal untuk menindak tegas pelaku dan

menyelesaikan kasusnya secara tuntas serta membawa pelaku ke

Pengadilan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, hal ini



92




merupakan prinsip dan kinerja dari bidang I dalam melaksanakan tugas

dan tanggung jawabnya dalam menangani kasus kekerasan terhadap

perempuan yang dihadapi secara maksimal.

Upaya tersebut bukan hanya angan-angan saja akan tetapi dapat

berupa wujud nyata dilihat dari kinerja bidang I dalam menangani kasus

kekerasan terhadap perempuan serta kualitas dari para anggota bidang I

yang bertugas mereka merupakan orang-orang pilihan yang dianggap

mampu berdedikasi tinggi terhadap tugas dan tanggung jawabnya serta

mampu untuk menghadapi korban dengan penuh rasa empati dan simpati.

Unsur tersebut merupakan modal utama bagi anggota bidang I yang

mempunyai kualifikasi dalam menggunakan keahliannya untuk

memecahkan suatu kasus.

Guna mewujudkan tugas pokok Jaringan Perlindungan Perempuan

dan Anak (JPPA), dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan

anggota bidang I bersikap simpati, empati dan memberi rasa aman kepada

pihak yang dilayani dengan sikap santun luwes dan ramah.

Hal tersebut tidak hanya berlaku pada korban tindak kekerasn

terhadap perempuan akan tetapi juga berlaku pada tersangka atau

terdakwa kasus tindak kekerasan terhadap perempuan tersebut dimana hal

itu dilakukan hanya semata-mata untuk membantu menyelesaikan masalah

atau kasus yang sedang dihadapi dan memberikan hukuman yang setimpal

bagi pelaku tindak kekerasan terhadap perempuan.



93




Barda Nawawi, juga mengkonstantasi bahwa upaya
penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat dibagi 2, yitu
melalui jalur penal (hukum pidana), dan jalur non penal (bukan
hukum pidana). Butir (a) diatas merupakan jalur penal, sedangkan
butir (b) dan (c) adalah kelompok sarana non penal.
Kekerasan terhadap perempuan sebagai salah satu kejahatan
yang sangat terkait dengan masalah struktural dalam masyarakat,
maka upaya penanggulangan kekerasan terhadap perempuan
hendaknya ditempuh baik melalui sarana penal maupun non penal,
meliputi keseluruhan sistem hukum baik komponen struktural,
kultural maupun substantif (Makalah dari S. Wignjosoebroto).

Secara prosedural tahapan-tahapan proses penanganan kasus tindak

kekerasan terhadap perempuan secara garis besar adalah sebagai berikut:

a. Penerimaan laporan atau pengaduan dari korban, saksi korban atau

keluarga korban kekerasan. Laporan tersebut dibuat di sekretariat

Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA).

b. Pembuatan berita acara kronologis kejadian ditangani oleh Bidang I

berdasarkan laporan atau pengaduan dari korban, saksi korban atau

keluarga korban

c. Bidang I membuat laporan yang ditujukan kepada ketua umum

kemudian ketua umum menerbitkan surat tugas kepada bidang I untuk

menindak lanjuti kasus tersebut

d. Upaya konseling dilakukan dengan memberikan pembinaan antara

pihak yang bertikai alternatif pemecahan masalah. Alternatif yang

dimaksud adalah bahwa pihak Jaringan Perlindungan Perempuan dan

Anak (JPPA) Kabupaten Kudus akan membantu menyelesaikan

masalah baik secara kekeluargaan atau damai maupun secara hukum.



94




e. Pelimpahan perkara kepada penuntut umum dan pengembaliannya

kepada penyidik untuk disempurnakan.

Penanganan kasus tindak kekerasan terhadap perempuan oleh

pihak kepolisian berlaku dengan sistem peradilan pidana di Indonesia

yaitu penyidikan, penuntutan dan peradilan. Selama hal di atas

berlangsung, bidang I hanya sebagai pendamping korban . Dalam

menangani kasus kekerasan terhadap perempuan apabila dibutuhkan maka

bidang-bidang yang lain di bawah Jaringan Perlindungan Perempuan dan

Anak (JPPA) dapat membantu misalnya bidang II (perlindungan anak),

bidang III (SDM), bidang IV (penyuluhan), bidang V (penelitian &

pengembangan), bidang VI (advokasi).

Adanya kerjasama diantara bidang-bidang dalam tubuh Jaringan

Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA) menandakan bahwa dalam

menangani kasus kekerasan terhadap perempuan pihak JPPA

membutuhkan banyak tenaga serta tekhnik khusus yang diperlukan dalam

melakukan penanganan kasus untuk menemukan titik terang telah terjadi

tindak pidana kekerasan terhadap perempuan sehingga pihak Jaringan

Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA) bisa segera melimpahkan

kasus tersebut ke pihak kepolisian dan dapat segera menyeret pelakunya

ke meja hijau atau Pengadilan.



95




3. Kendala-Kendala yang Menghambat Dalam Upaya Penanganan

Kasus Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Perempuan

a. Kendala Internal

Dalam menangani suatu kasus kekerasan terhadap perempuan

pihak JPPA mengalami hambatan yang tidak jarang sulit dihindari

serta mengalami kendala-kendala yang bersifat internal, yaitu

kurangnya tenaga ahli yang profesional di dalam Jaringan

Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA) dan kendala yang cukup

menyita perhatian masyarakat luas adalah bahwa di negara kita

walaupun sudah ada Undang-Undang yang mengatur tentang

perlindungan perempuan tetapi masih banyak masyarakat yang belum

mengetahui, hal ini dimungkinkan karena kurangnya sosialisasi dari

Pemerintah sehingga hanya KUHP yang digunakan untuk menjerat

pelaku tindak kekerasn terhadap perempuan.

Hambatan dari segi keterbatasan anggaran dana yang tersedia

untuk kepentingan dalam melakukan proses penanganan terhadap

suatu kasus yang membutuhkan dana cukup besar masih dirasakan

oleh pihak Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA)

Kudus, hal ini dikarenakan dana yang tersedia belum memenuhi

standar karena sumber dana yang diperoleh Jaringan Perlindungan

perempuan dan Anak (JPPA) hanya dari Anggaran Pendapatan Belanja

Daerah (APBD) Kabupaten Kudus saja.



96




Dalam melakukan tugas penanganan suatu kasus mereka

menggunakan dana dari APBD tetapi uang kas tersebut belum

mencukupi anggota dari pihak Jaringan Perlindungan Perempuan dan

Anak (JPPA) Kudus, sehingga terkadang mereka dengan sukarela

menggunakan dana pribadi sebagai wujud dari kepedulian sosial.

b. Kendala Eksternal

Fenomena memprihatinkan yang terjadi di masyarakat sampai

saat ini adalah makin maraknya kasus tindak kekerasan terhadap

perempuan, dimana banyak perempuan korban tindak kekerasan yang

tutup mulut atau tidak mau bercerita kepada siapapun tentang

penderitaan yang dialaminya serta tidak dapat dipungkiri bahwa

struktur sosial, persepsi masyarakat tentang perempuan dan nilai

masyarakat yang selalu ingin tampak harmonis.

Oleh karena itu sulit untuk mengakui akan adanya masalah

dalam rumah tangga apapun resikonya.

Hal inilah yang menjadi salah satu faktor pendorong

meningkatnya kasus kekerasan terhadap perempuan tidak dapat

dilepaskan dari lemahnya penegakan hukum dan lemahnya ancaman

hukuman serta didukung oleh struktur budaya yang menganggap

bahwa perempuan merupakan sub ordinat (konco wingking).



97



98















A. Simpulan







BAB V

PENUTUP


97


Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA) Kabupaten Kudus

sebagai relawan pendamping dituntut secara profesional memiliki dedikasi

yang tinggi dalam menangani kasus tindak kekerasan terhadap perempuan.

1. Upaya-upaya yang dilakukan oleh JPPA dalam menangani kasus

tindak kekerasan terhadap perempuan dilakukan melalui :

a. Pendidikan dan Pelatihan

Meliputi Seminar dan Mengadakan Penyuluhan

b. Melalui kerjasama dengan Organisasi atau Instansi lain

Kerjasama dengan Aparat Penegak Hukum dalam hal ini ditangani

oleh Polres Kudus, Lembaga Swadaya Masayarakat (LSM) dan

Organisasi Masyarakat (Ormas) lain.

c. Unsur Medis yang dilakukan bertujuan untuk menemukan

keakuratan data secara medis terhadap tindak kekerasan terhadap

perempuan melalui visum yang dilakukan oleh pihak Rumah Sakit

Umum Daerah Kudus (RSUD)

d. Penyadaran Masyarakat dilakukan dengan bekerja sama dengan

tokoh-tokoh pemuka agama, tokoh masyarakat untuk bersama-

sama dengan pihak JPPA memberikan penyadaran tentang akibat

tindak kekerasan terhadap perempuan.



98



2. Proses penanganan yang dilakukan JPPA menggunakan cara

prosedural melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:

a. Pembuatan berita acara oleh Ketua Bidang I Perlindungan

Perempuan

b. Pembuatan berita acara oleh Ketua Bidang I Perlindungan

Perempuan

c. Bidang I mengajukan laporan pengaduan korban kepada Ketua

Umum JPPA, kemudian Ketua Umum menerbitkan surat tugas

kepada Ketua Bidang I untuk menindak lanjuti kasus tersebut.

d. Upaya konseling dilakukan oleh pihak JPPA dengan memberikan

alternatif pemecahan masalah baik secara kekeluargaan maupun

secara hukum.

e. Jika proses penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan

dilakukan dengan upaya damai atau kekeluargaan maka

penanganan hanya melibatkan pihak JPPA, korban, pelaku dan

keluarga yang bersangkutan. Jika dilakukan melalui proses jalur

hukum maka kasus tersebut dilimpahkan kepada pihak kepolisian

(Polres Kudus), tetapi JPPA tetap melakukan pendampingan

terhadap korban sampai proses hukumnya tuntas.

3. Pada dasarnya tugas dan kewajiban yang dilakukan oleh Jaringan

Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA) sudah sesuai dengan Surat

keputusan Bupati Kudus nomor 640/1301/2003 Tanggal 15 November

2003 tentang: Pembentukan Jaringan Perlindungan Perempuan dan


99



Anak di Kabupaten Kudus, akan tetapi dalam menjalankan tugas dan

kewajiban yang dilakukan oleh pihak JPPA masih mengalami berbagai

kendala. Kendala-Kendala tersebut meliputi:

a. Faktor Internal

Kurangnya tenaga-tenaga ahli yang profesional dan keuangan

hanya mengandalkan anggaran dana dari APBD Kabupaten Kudus

saja.

b. Faktor Eksternal

Masih ada anggapan dari masyarakat bahwa korban kekerasan

terhadap perempuan masih dianggap tabu untuk diketahui pihak

luar.

B. Saran

1. Peningkatan kerjasama antar pihak terkait tentang penanganan

kekerasan terhadap perempuan, terutama dengan Kepolisian, LSM dan

Ormas.

2. Setiap tindak kekerasan, perlu adanya data akurat dari rekan medis

berupa visum.

3. Perlu adanya peningkatan kerjasama dengan pihak terkait untuk

mensosialisasikan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam

Rumah Tangga.

4. Setiap proses penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan harus

menggunakan tahap-tahap yang tetap yang dilakukan secara konsisten


100



untuk menghindari kesalahan penangananyang berakibat merugikan

korban.

5. Hendaknya pihak Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA)

Kabupaten Kudus lebih aktif untuk mensosialisasikan peranannya

kepada masyarakat supaya masyarakat mengetahui jenis-jenis

kekerasan maupun akibat kekerasan serta proses penanganan terhadap

tindak kekerasan terhadap perempuan.

6. Perlu pihak pendamping terhadap korban kekerasan terhadap

perempuan yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait (Polisi, LSM dan

Ormas).

7. Pihak JPPA hendaknya menyediakan pos khusus yang membiayai

proses penanganan tindak kekerasan terhadap perempuan.

















.


101







DAFTAR PUSTAKA

Annisa, Rifka. 1998. Mengenal Rifka Annisa. Jogjakarta


101


Anny, Tarigan. Dkk. 2001. Perlindungan Terhadap Perempuan dan Anak Yang

Menjadi Korban Kekerasan. Jakarta: Gugus Grafis

Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek.

Jakarta: Rineka Cipta

Atasasmita, Romli. 1992. Teori Kapita Selekta Kriminologi. Bandung. PT Eresco

Huberman, Michel dan Milles, B. Mattew. 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta:

Universitas Indonesia Press

Katjasungkana, Nursyahbani, Lukman. Soetrisno, dan Afan. Gaffar. 2001. Potret

Perempuan. Yogyakarta: Kerjasama PSW UMY dengan Pustaka Pelajar.

Keputusan Bupati Kudus nomor 460/1301/2003. Pembentukan Jaringan

Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA) di Kabupaten Kudus. Kudus.

Kusumah, Mulyana W. 1990. Analisa Kriminologi Tentang Kejahatan-Kejahatan

Kekerasan. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Martha, Aroma Elmina. 2003. Perempuan Kekerasan dan Hukum. Jogjakarta: UII

Press Jogjakarta.

Moleong, Lexy. J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja

Rosda Karya

Saraswati, Rika. 2006. Perempuan dan Penyelesaian Kekerasan Dalam Rumah

Tangga. Bandung: PT Citra Aditya Bhakti

Subarkah. 2004. Pemberdayaan Hak-Hak Perempuan. Kudus.



102



Subhan, Zaitunah. 2003. Kekerasan Terhadap Perempuan. Yogyakarta: PT LkiS

Pelangi Aksara

Soekanto, Soerjono. 2004. Faktor-Faktor yang menyebabkan terjadinya

Penegakan Hukum.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1986:

Jakarta:

UU Nomor 23 Tahun 2003. Tentang Penghapusan dan Kekerasan Dalam Rumah

Tangga.

Windhu, I. Marshana. 1992. Kekuasaan dan Kekerasan Menurut Johan

Galtung.Yogyakarta: Kanisius